-- Heru Kurniawan
ISTILAH "bacaan liar" pernah booming pada 1948 seiring dengan berdirinya Komisi Bacaan Rakyat (kemudian menjadi Balai Pustaka), yang melalui Nota Rinkes, Balai Pustaka memberi penilaian dan aturan terhadap buku-buku yang layak terbit dan dibaca masyarakat.
Isi Nota Rinkes mensyaratkan bahwa buku-buku yang diterbitkan Balai Pustaka diharuskan untuk netral dari keagamaan, memenuhi syarat budi pekerti yang baik, menjaga ketertiban, dan tidak boleh berpolitik melawan pemerintah.
Nota Rinkes pada masa Balai Pustaka inilah yang menjadi standar penilai baik dan buruknya sebuah buku pada masa itu.
Aturan ini menyebabkan buku-buku yang tidak patuh pada kebijakan pemerintah Belanda ini mendapat cap "bacaan liar", yaitu bacaan yang tidak patuh pada Nota Rinkes. Standar ini memang terkesan politis, tetapi jelas menunjukkan suatu sikap adanya kepedulian pemerintah Belanda terhadap standar buku bacaan.
Namun, persoalannya, karena standar itu untuk semua buku bacaan, standar ini terkesan hanya untuk kepentingan politik saja karena digunakan untuk menilai seluruh jenis buku, termasuk bacaan sastra.
Sastra Anak Sekarang
Persoalannya adalah bagaimana dengan bacaan sastra anak-anak sekarang, apakah perlu untuk membuat aturan yang bertujuan menertibkan bacaan sastra anak-anak? Menurut saya, seharusnya “ya”!
Asumsinya, jika pemerintah melalui Pusat Kurikulum dan Pebukuan Nasional memiliki standar penilian berkaitan dengan mutu keilmu-pengetahuan buku-buku mata pelajaran, kenapa tidak dengan bacaan sastra anak-anak.
Harus dipahami anak-anak adalah pembaca yang istimewa. Pembaca yang harus mendapat perlakuan khusus karena dengan kemampuan perkembangannya, anak-anak memiliki kecenderungan untuk menerima informasi, bahasa, dan pengetahuan apa adanya.
Dan celakanya, penulis bacaan sastra anak yang mayoritas orang dewasa sering berbuat seenaknya dalam menulis bacaan sastra anak-anak. Sekalipun yang ditulisnya dunia anak-anak, tetapi dari aspek bahasa, isi, informasi, dan logika berpikir tidak sesuai dengan dunia anak-anak.
Kasus yang baru-baru ini mengagetkan masyarakat adalah ditemukannya kata "istri simpanan" pada cerita anak untuk siswa Sekolah Dasar (SD) di Jakarta dan kata "penanggalan KB" sebagai "alat kontrasepsi" agar untuk menghindari kehamilan pada cerita anak untuk siswa Sekolah Dasar (SD) di Kebumen dan Purworejo. Ini menunjukkan tidak adanya kepedulian dan tanggung jawab penulis orang dewasa dalam menulis cerita untuk anak-anak. Dan itu pun baru pada persoalan istilah-bahasa yang terdapat dalam buku-buku pengayaan yang ditulis dengan moral orang dewasa bukan anak-anak.
Bisa dibayangkan bagaimana dengan persoalan isi, fantasi, pengetahuan, dan nilai moralnya dalam buku-buku bacaan sastra anak-anak yang lainnya, terutama yang komersial dan yang terdapat di majalah dan media massa, pasti lebih banyak lagi. Padahal, setiap harinya bacaan-bacaan itu dikonsumsi oleh anak-anak. Tentu saja masih banyak dijumpai bacaan sastra anak-anak yang penuh dengan kekerasan, bias gender, minim nilai moral, berbahasa sarkas dan sangat dewasa, serta mengangkat persoalan orang dewasa.
Jika sudah demikian, istilah "bacaan liar" bisa dilekatkan pada bacaan sastra anak-anak yang tidak sesuai dengan perkembangan anak.
Norton (1989) menyebut bahwa bacaan anak adalah bacaan yang ditulis berdasarkan sudut pandang anak, yang isinya, menurut Lukens (2003), harus memberikan hiburan dan pemahaman nilai, ini adalah keharusan mutlak. Bacaan sastra anak-anak bukanlah eksplorasi ideologi yang bebas seperti halnya sastra dewasa.
Sastra anak-anak adalah sastra yang beretik-estetik yang sesuai dengan perkembangan anak. Maka, jika ada bacaan sastra anak-anak keluar dari jalur ini, bacaan tersebut dapat disebut "bacaan liar", yaitu bacaan sastra anak-anak yang jelas tidak sesuai dengan perkembangan anak, dan justru merusak dunia anak-anak. Ini jelas harus dihindari karena jika dibiarkan, bacaan sastra anak-anak bisa liar. Tidak memberi hiburan dan pendidikan yang sesuai dengan dunia anak-anak.
Kebijakan dan Kehati-hatian
Hal ini menjadikan perlunya suatu kebijakan yang serius dari pemerintah dalam menangani bacaan anak-anak, misalnya sastra anak-anak.
Pemerintah, melalui institusi terkait, memang tidak bisa mengontrol seluruh perkembangan bacaan anak-anak, tetapi pemerintah mempunyai hak untuk menindak tegas, misalnya, penerbit dan penulis yang mempublikasikan bacaan-bacaan yang tidak etis untuk anak-anak.
Ini akan membuat penulis tidak asal menulis dan penerbit tidak asal mencetak bacaan anak-anak yang tidak beretik-estetik sesuai dengan dunia anak. Standar bermutu tinggi pun akan diterapkan oleh penerbit-penerbit dalam mencetak bacaan anak yang sesuai dengan dunia anak-anak.
Bagi orang tua, jelas harus memiliki kehati-hatian ekstra dalam memilih bacaan sastra anak-anak untuk anak-anaknya. Tidak semua bacaan sastra anak-anak itu baik. Maka, pemilihan bacaan sastra anak-anak untuk anak harus mempertimbangkan aspek didaktik-estetik, usia anak, minat anak, dan perkembangan anak.
Kehati-hatian ini bertujuan agar jangan sampai anak-anak membaca bacaan sastra anak-anak yang tidak sesuai dengan perkembangannya. Pemahaman umum tentang semua buku baik harus mulai dibongkar.
Menumbuhkan minat dan kebiasaan membaca anak memang penting, tetapi haruslah anak-anak belajar membaca dari sastra anak-anak yang memang sesuai dengan perkembangannya.
Dengan kebijakan dan kehati-hatian ini, paling tidak, bisa menekan dan meminimalkan bacaan liar sastra anak-anak. Sehingga penulis dan penerbit anak-anak yang “nakal”, yang hanya berorientasi pada kapital saja, tidak bisa berkembang. Ini membutuhkan peran pemerintah dan masyarakat.
Bagi saya, bisa jadi tertinggalnya sastra anak-anak kita, selain karena miskin teoritikus dan kritikus sastra anak-anak, juga terjadi karena bacaan sastra anak-anak kita yang begitu-begitu saja dan masih banyak yang liar, tidak sesuai dengan dunia anak-anak.
Heru Kurniawan, Penulis Cerita Anak dan Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Juli 2012
ISTILAH "bacaan liar" pernah booming pada 1948 seiring dengan berdirinya Komisi Bacaan Rakyat (kemudian menjadi Balai Pustaka), yang melalui Nota Rinkes, Balai Pustaka memberi penilaian dan aturan terhadap buku-buku yang layak terbit dan dibaca masyarakat.
Isi Nota Rinkes mensyaratkan bahwa buku-buku yang diterbitkan Balai Pustaka diharuskan untuk netral dari keagamaan, memenuhi syarat budi pekerti yang baik, menjaga ketertiban, dan tidak boleh berpolitik melawan pemerintah.
Nota Rinkes pada masa Balai Pustaka inilah yang menjadi standar penilai baik dan buruknya sebuah buku pada masa itu.
Aturan ini menyebabkan buku-buku yang tidak patuh pada kebijakan pemerintah Belanda ini mendapat cap "bacaan liar", yaitu bacaan yang tidak patuh pada Nota Rinkes. Standar ini memang terkesan politis, tetapi jelas menunjukkan suatu sikap adanya kepedulian pemerintah Belanda terhadap standar buku bacaan.
Namun, persoalannya, karena standar itu untuk semua buku bacaan, standar ini terkesan hanya untuk kepentingan politik saja karena digunakan untuk menilai seluruh jenis buku, termasuk bacaan sastra.
Sastra Anak Sekarang
Persoalannya adalah bagaimana dengan bacaan sastra anak-anak sekarang, apakah perlu untuk membuat aturan yang bertujuan menertibkan bacaan sastra anak-anak? Menurut saya, seharusnya “ya”!
Asumsinya, jika pemerintah melalui Pusat Kurikulum dan Pebukuan Nasional memiliki standar penilian berkaitan dengan mutu keilmu-pengetahuan buku-buku mata pelajaran, kenapa tidak dengan bacaan sastra anak-anak.
Harus dipahami anak-anak adalah pembaca yang istimewa. Pembaca yang harus mendapat perlakuan khusus karena dengan kemampuan perkembangannya, anak-anak memiliki kecenderungan untuk menerima informasi, bahasa, dan pengetahuan apa adanya.
Dan celakanya, penulis bacaan sastra anak yang mayoritas orang dewasa sering berbuat seenaknya dalam menulis bacaan sastra anak-anak. Sekalipun yang ditulisnya dunia anak-anak, tetapi dari aspek bahasa, isi, informasi, dan logika berpikir tidak sesuai dengan dunia anak-anak.
Kasus yang baru-baru ini mengagetkan masyarakat adalah ditemukannya kata "istri simpanan" pada cerita anak untuk siswa Sekolah Dasar (SD) di Jakarta dan kata "penanggalan KB" sebagai "alat kontrasepsi" agar untuk menghindari kehamilan pada cerita anak untuk siswa Sekolah Dasar (SD) di Kebumen dan Purworejo. Ini menunjukkan tidak adanya kepedulian dan tanggung jawab penulis orang dewasa dalam menulis cerita untuk anak-anak. Dan itu pun baru pada persoalan istilah-bahasa yang terdapat dalam buku-buku pengayaan yang ditulis dengan moral orang dewasa bukan anak-anak.
Bisa dibayangkan bagaimana dengan persoalan isi, fantasi, pengetahuan, dan nilai moralnya dalam buku-buku bacaan sastra anak-anak yang lainnya, terutama yang komersial dan yang terdapat di majalah dan media massa, pasti lebih banyak lagi. Padahal, setiap harinya bacaan-bacaan itu dikonsumsi oleh anak-anak. Tentu saja masih banyak dijumpai bacaan sastra anak-anak yang penuh dengan kekerasan, bias gender, minim nilai moral, berbahasa sarkas dan sangat dewasa, serta mengangkat persoalan orang dewasa.
Jika sudah demikian, istilah "bacaan liar" bisa dilekatkan pada bacaan sastra anak-anak yang tidak sesuai dengan perkembangan anak.
Norton (1989) menyebut bahwa bacaan anak adalah bacaan yang ditulis berdasarkan sudut pandang anak, yang isinya, menurut Lukens (2003), harus memberikan hiburan dan pemahaman nilai, ini adalah keharusan mutlak. Bacaan sastra anak-anak bukanlah eksplorasi ideologi yang bebas seperti halnya sastra dewasa.
Sastra anak-anak adalah sastra yang beretik-estetik yang sesuai dengan perkembangan anak. Maka, jika ada bacaan sastra anak-anak keluar dari jalur ini, bacaan tersebut dapat disebut "bacaan liar", yaitu bacaan sastra anak-anak yang jelas tidak sesuai dengan perkembangan anak, dan justru merusak dunia anak-anak. Ini jelas harus dihindari karena jika dibiarkan, bacaan sastra anak-anak bisa liar. Tidak memberi hiburan dan pendidikan yang sesuai dengan dunia anak-anak.
Kebijakan dan Kehati-hatian
Hal ini menjadikan perlunya suatu kebijakan yang serius dari pemerintah dalam menangani bacaan anak-anak, misalnya sastra anak-anak.
Pemerintah, melalui institusi terkait, memang tidak bisa mengontrol seluruh perkembangan bacaan anak-anak, tetapi pemerintah mempunyai hak untuk menindak tegas, misalnya, penerbit dan penulis yang mempublikasikan bacaan-bacaan yang tidak etis untuk anak-anak.
Ini akan membuat penulis tidak asal menulis dan penerbit tidak asal mencetak bacaan anak-anak yang tidak beretik-estetik sesuai dengan dunia anak. Standar bermutu tinggi pun akan diterapkan oleh penerbit-penerbit dalam mencetak bacaan anak yang sesuai dengan dunia anak-anak.
Bagi orang tua, jelas harus memiliki kehati-hatian ekstra dalam memilih bacaan sastra anak-anak untuk anak-anaknya. Tidak semua bacaan sastra anak-anak itu baik. Maka, pemilihan bacaan sastra anak-anak untuk anak harus mempertimbangkan aspek didaktik-estetik, usia anak, minat anak, dan perkembangan anak.
Kehati-hatian ini bertujuan agar jangan sampai anak-anak membaca bacaan sastra anak-anak yang tidak sesuai dengan perkembangannya. Pemahaman umum tentang semua buku baik harus mulai dibongkar.
Menumbuhkan minat dan kebiasaan membaca anak memang penting, tetapi haruslah anak-anak belajar membaca dari sastra anak-anak yang memang sesuai dengan perkembangannya.
Dengan kebijakan dan kehati-hatian ini, paling tidak, bisa menekan dan meminimalkan bacaan liar sastra anak-anak. Sehingga penulis dan penerbit anak-anak yang “nakal”, yang hanya berorientasi pada kapital saja, tidak bisa berkembang. Ini membutuhkan peran pemerintah dan masyarakat.
Bagi saya, bisa jadi tertinggalnya sastra anak-anak kita, selain karena miskin teoritikus dan kritikus sastra anak-anak, juga terjadi karena bacaan sastra anak-anak kita yang begitu-begitu saja dan masih banyak yang liar, tidak sesuai dengan dunia anak-anak.
Heru Kurniawan, Penulis Cerita Anak dan Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Juli 2012
No comments:
Post a Comment