-- Radhar Panca Dahana
SEJARAH kebudayaan suku-suku bangsa Indonesia tidak mudah ditakluk kan kebudayaan asing.
Penaklukan kolonialis pada mulanya tidak berhasil, kecuali dalam pengertian fisikal dan ekonomi, tapi kemudian ia menunjukkan hasil (sekurangnya akhir abad ke-19) pada tingkat intelektual.
Ahli-ahli hukum adat dan tradisi bermunculan di kalangan sarjana yang menjadi penasihat pemerintahan kolonial, tumbuhnya intelektualisme yang berorientasi pada logika Barat/kontinental, ditambah lahirnya kelompok-kelompok intelektual semacam teosofi di Jawa, menjadi kecambah bagi penaklukan intelektual itu.
Pemikiran “baru” dari kebudayaan kontinental yang disokong kekuatan ekonomi, politik, dan militer menindas kerja dan produk intelektual lokal/tradisional.
Pada masa berikutnya perlahan-lahan kekuatan rasionalisme Eropa yang materialistik dan dominatif itu menaklukkan kultural, terutama (pada awalnya) di kalangan masyarakat kota (urban). Ketika kemajuan teknologi informasi dan transportasi terjadi begitu masif dan revolusioner, penaklukan itu seperti mendapatkan momentum desisifnya.
Teknologi itu menjadi wahana ampuh untuk mengangkut ide-ide kultural yang termuat dalam konsep filosofis, demokrasi, kapitalisme, liberalisme, dan lain-lain, yang menjadi penumpang gelap dalam gerakan supermasif bernama globalisme.
Pada masa yang disebut banyak kalangan sebagai “kolonialisme baru” itu, pertahanan kebudayaan kita di tingkat pribadi hingga komunal menjadi rapuh, bahkan hingga pada tingkat terdominasi penuh.
Modus eksistensial yang secara tradisional dan primordial kita bangun selama ribuan tahun terekspresi secara kasar dan ganas oleh globalisme, sebuah topeng kolonial yang geraknya didukung kekuatan politik, ekonomi, hingga praktik militer dan intelijen negara/bangsa kolonial.
Sebagian masyarakat kita saat ini harus diakui telah menempatkan kebudayaan baru, yang postmodern itu, sebagai acuan tunggal dalam menegakkan eksistensi kontemporernya.
Masyarakat itu merasa dirinya eksis bila menggunakan simbol-simbol kebudayaan penakluk itu. Penaklukan simbolik itu semacam representasi dari takluknya pemikiran, ide, tradisi, bahkan ruang imajinasi kita sebagai pribadi dan bangsa.
Dalam kultur baru itu, hal-hal yang sifatnya pragmatik dan hedonistik–sebagai produk adab yang materialistik–menjadi standar bagi status atau simbol sosial pada umumnya. Dalam kultur ini pula bemunculan titik api yang menciptakan konflik di berbagai dimensi dan lapisan masyarakat.
Hidup yang dihela oleh kebutuhan material yang hiper-pragmatik dan hedonistik menciptakan kompetisi yang hanya sehat di atas kertas, tapi jahat dan destruktif di tingkat praktisnya.
Dengan asas yang dijumput dari kapitalisme, liberalisme hingga hak asasi manusia, sebagian dari kita mengejar kebutuhan materialistik itu dengan berbagai cara, termasuk mengkhianati dan membungkam nurani, adat, dan kearifan tradisinya.
Solusi Kebudayaan
Dari argumen singkat di atas, kita sudah bisa menemukan penyebab dari berbagai krisis negeri ini, yakni ketika kita menolak kenyataan eksistensial yang menjadi inti jati diri kita semua.
Maka solusinya pun menjadi jelas, untuk menjadi manusia yang beradab luhur (apa pun bentuk/kemajuan kebudayaannya), kita harus menimbang kembali dengan cara jujur, saksama, dan cerdas kebijaksanaan dan pengetahuan tradisi yang sejak ribuan tahun lalu diproduksi, dipelihara, dan dikembangkan oleh nenek moyang kita.
Sebuah perjalanan kebudayaan yang sama sekali bukan omong kosong dan jauh lebih panjang prosesnya ketimbang bangsa-bangsa yang menganggap dirinya maju, seperti bangsa-bangsa Eropa apalagi Amerika.
Dengan kebijaksanaan dan pengetahuan yang saat ini dianggap kuno, lampau, kaku, mistik, dan beku itu sebenarnya kita dapat menemukan jalan keluar dengan melakukan perubahan sikap (mindset juga attitude). Kita dengan sendirinya akan menemukan acuan hidup yang lebih dekat dengan jati diri kita sendiri, lebih komprehensif dalam melihat persoalan dan lebih praktis dalam pelaksanaan.
Jadi bila–katakanlah–orang Sunda menjadi Sunda yang sejati, dalam arti menggunakan kearifan primordialnya sebagai acuan untuk bereksistensi dan bermasyarakat, bisa dipastikan ia tidak akan tenggelam dalam konflik dengan warga lainnya baik sesama maupun dengan yang berbeda etnik.
Dengan begitu manusia Indonesia tidak akan menjadi korban dari gerak globalisasi kebudayaan saat ini, sekuat apa pun gerak itu.
Bahkan seharusnya dengan kapasitas dan kualitas kultural masing-masing etnik, kita dapat memerah atau “menunggangi” kuda peradaban postmodernisme yang berlari sangat kencang itu, mengambil saripatinya untuk memperkuat dan kian mendewasakan kebudayaan kita sendiri, sebagaimana dilakukan nenek moyang kita di masa lalu.
Kita adalah bangsa yang adaptif dalam arti memiliki kemampuan luar biasa lebih dari bangsa mana pun, dalam menyerap kebudayaan asing menjadi asupan positif bagi perkembangan jati diri dan kebudayaan kita sendiri.
Dalam prosesnya yang normal, sehat, dan egaliter, sejarah kebudayaan suku-suku bangsa Indonesia tidaklah mudah untuk ditaklukkan kebudayaan asing.
Kita adalah bangsa yang ramah, sopan, dan penuh hormat saat menerima kehadiran tamu, walau tentu saja kita bukan bangsa yang lunak dan melempem ketika tamu itu memiliki maksud untuk menguasai, apalagi merendahkan atau menghina martabat kita sebagai tuan rumah. I
tu berlaku untuk semua suku bangsa: rasa hormat dan martabat adalah hal yang bagi siapa pun dari kita siap mengorbankan apa pun, termasuk nyawa, untuk membelanya.
Membutuhkan “Updating”
Sesungguhnya nilai-nilai dan moralitas dasar dari kebudayaan di atas secara jenial telah dirumuskan–walau mungkin belum sempurna–oleh bapak-ibu bangsa (founding fathers-mothers) kita di masa lalu.
Melalui pergumulan ide yang dilandasi oleh visi dan spirit kebangsaan primordial, mereka akhirnya menyepakati nilai-nilai dasar dari keberadaan kita sebagai sebuah bangsa terangkum dalam sebuah rumusan bernama Pancasila. Namun betapa pun luhur dan jenialnya Pancasila, mesti jujur kita akui, itu adalah produk dari kerja manusia yang tidak abadi seperti kitab suci.
Ia membutuhkan updating untuk masalah-masalah baru, data-data, pemahaman, dan tujuan atau bahkan visi baru. Itulah tugas dari generasi baru terutama para anggota pemerintahan baru yang silih datang dan pergi.
Pada tingkat praktis, sebenarnya Pancasila adalah cara dan acuan yang niscaya dalam peri-hidup bangsa Indonesia sejak dulu kala. Apa yang dilakukan pendiri bangsa ini adalah menciptakan kristal-kristal kebudayaan dari praktik Pancasila di kalangan rakyat jelata itu.
Soekarno dkk tidak menciptakan ide baru untuk mengatasi hidup yang baru. Namun itulah tugas dan tanggung jawab generasi baru, generasi kita, untuk terus membuat Pancasila hidup dengan cara melakukan updating tadi.
Semacam panduan yang berakar dari perkembangan kebudayaan dan pengetahuan adat dan tradisi dalam upaya merespons kenyataan baru yang melesat dengan cepat. Panduan dan acuan yang harusnya bermula dari perubahan radikal para penguasa dan pengambil kebijaksanaan secara khusus dan kaum elite pada umumnya.
Rakyat jelata adalah pihak terakhir yang akan menyempurnakan panduan-panduan hidup di atas. Rakyat jelatalah yang sebenarnya menjadi pelaku utama ketika kebudayaan itu berkembang dan memperbarui diri.
Maka bila harus ada perubahan yang substansial, tidak terelakkan ia harus terjadi dan dilaksanakan rakyat jelata pada muaranya. Awal dari semua itu adalah munculnya elite yang memiliki kesadaran bersama untuk mengubah mindset dan attitude-nya sesuai dengan realitas eksistensial kita.
Persoalannya kini menjadi lebih terang: bagaimana elite menjalankan peran dan tanggung jawab historik dan tradisionalnya itu, sementara saat ini mereka dalam keadaan mabuk karena alkohol globalisme, candu liberalisme, nafsu kapitalisme, dan penghambaan pada individualisme. Untuk penjelasan dan jawaban bagi pertanyaan kritis ini, kita membutuhkan kertas yang lebih panjang.
Radhar Panca Dahana, budayawan.
Sumber: Sinar Harapan, Kamis, 19 Juli 2012
SEJARAH kebudayaan suku-suku bangsa Indonesia tidak mudah ditakluk kan kebudayaan asing.
Penaklukan kolonialis pada mulanya tidak berhasil, kecuali dalam pengertian fisikal dan ekonomi, tapi kemudian ia menunjukkan hasil (sekurangnya akhir abad ke-19) pada tingkat intelektual.
Ahli-ahli hukum adat dan tradisi bermunculan di kalangan sarjana yang menjadi penasihat pemerintahan kolonial, tumbuhnya intelektualisme yang berorientasi pada logika Barat/kontinental, ditambah lahirnya kelompok-kelompok intelektual semacam teosofi di Jawa, menjadi kecambah bagi penaklukan intelektual itu.
Pemikiran “baru” dari kebudayaan kontinental yang disokong kekuatan ekonomi, politik, dan militer menindas kerja dan produk intelektual lokal/tradisional.
Pada masa berikutnya perlahan-lahan kekuatan rasionalisme Eropa yang materialistik dan dominatif itu menaklukkan kultural, terutama (pada awalnya) di kalangan masyarakat kota (urban). Ketika kemajuan teknologi informasi dan transportasi terjadi begitu masif dan revolusioner, penaklukan itu seperti mendapatkan momentum desisifnya.
Teknologi itu menjadi wahana ampuh untuk mengangkut ide-ide kultural yang termuat dalam konsep filosofis, demokrasi, kapitalisme, liberalisme, dan lain-lain, yang menjadi penumpang gelap dalam gerakan supermasif bernama globalisme.
Pada masa yang disebut banyak kalangan sebagai “kolonialisme baru” itu, pertahanan kebudayaan kita di tingkat pribadi hingga komunal menjadi rapuh, bahkan hingga pada tingkat terdominasi penuh.
Modus eksistensial yang secara tradisional dan primordial kita bangun selama ribuan tahun terekspresi secara kasar dan ganas oleh globalisme, sebuah topeng kolonial yang geraknya didukung kekuatan politik, ekonomi, hingga praktik militer dan intelijen negara/bangsa kolonial.
Sebagian masyarakat kita saat ini harus diakui telah menempatkan kebudayaan baru, yang postmodern itu, sebagai acuan tunggal dalam menegakkan eksistensi kontemporernya.
Masyarakat itu merasa dirinya eksis bila menggunakan simbol-simbol kebudayaan penakluk itu. Penaklukan simbolik itu semacam representasi dari takluknya pemikiran, ide, tradisi, bahkan ruang imajinasi kita sebagai pribadi dan bangsa.
Dalam kultur baru itu, hal-hal yang sifatnya pragmatik dan hedonistik–sebagai produk adab yang materialistik–menjadi standar bagi status atau simbol sosial pada umumnya. Dalam kultur ini pula bemunculan titik api yang menciptakan konflik di berbagai dimensi dan lapisan masyarakat.
Hidup yang dihela oleh kebutuhan material yang hiper-pragmatik dan hedonistik menciptakan kompetisi yang hanya sehat di atas kertas, tapi jahat dan destruktif di tingkat praktisnya.
Dengan asas yang dijumput dari kapitalisme, liberalisme hingga hak asasi manusia, sebagian dari kita mengejar kebutuhan materialistik itu dengan berbagai cara, termasuk mengkhianati dan membungkam nurani, adat, dan kearifan tradisinya.
Solusi Kebudayaan
Dari argumen singkat di atas, kita sudah bisa menemukan penyebab dari berbagai krisis negeri ini, yakni ketika kita menolak kenyataan eksistensial yang menjadi inti jati diri kita semua.
Maka solusinya pun menjadi jelas, untuk menjadi manusia yang beradab luhur (apa pun bentuk/kemajuan kebudayaannya), kita harus menimbang kembali dengan cara jujur, saksama, dan cerdas kebijaksanaan dan pengetahuan tradisi yang sejak ribuan tahun lalu diproduksi, dipelihara, dan dikembangkan oleh nenek moyang kita.
Sebuah perjalanan kebudayaan yang sama sekali bukan omong kosong dan jauh lebih panjang prosesnya ketimbang bangsa-bangsa yang menganggap dirinya maju, seperti bangsa-bangsa Eropa apalagi Amerika.
Dengan kebijaksanaan dan pengetahuan yang saat ini dianggap kuno, lampau, kaku, mistik, dan beku itu sebenarnya kita dapat menemukan jalan keluar dengan melakukan perubahan sikap (mindset juga attitude). Kita dengan sendirinya akan menemukan acuan hidup yang lebih dekat dengan jati diri kita sendiri, lebih komprehensif dalam melihat persoalan dan lebih praktis dalam pelaksanaan.
Jadi bila–katakanlah–orang Sunda menjadi Sunda yang sejati, dalam arti menggunakan kearifan primordialnya sebagai acuan untuk bereksistensi dan bermasyarakat, bisa dipastikan ia tidak akan tenggelam dalam konflik dengan warga lainnya baik sesama maupun dengan yang berbeda etnik.
Dengan begitu manusia Indonesia tidak akan menjadi korban dari gerak globalisasi kebudayaan saat ini, sekuat apa pun gerak itu.
Bahkan seharusnya dengan kapasitas dan kualitas kultural masing-masing etnik, kita dapat memerah atau “menunggangi” kuda peradaban postmodernisme yang berlari sangat kencang itu, mengambil saripatinya untuk memperkuat dan kian mendewasakan kebudayaan kita sendiri, sebagaimana dilakukan nenek moyang kita di masa lalu.
Kita adalah bangsa yang adaptif dalam arti memiliki kemampuan luar biasa lebih dari bangsa mana pun, dalam menyerap kebudayaan asing menjadi asupan positif bagi perkembangan jati diri dan kebudayaan kita sendiri.
Dalam prosesnya yang normal, sehat, dan egaliter, sejarah kebudayaan suku-suku bangsa Indonesia tidaklah mudah untuk ditaklukkan kebudayaan asing.
Kita adalah bangsa yang ramah, sopan, dan penuh hormat saat menerima kehadiran tamu, walau tentu saja kita bukan bangsa yang lunak dan melempem ketika tamu itu memiliki maksud untuk menguasai, apalagi merendahkan atau menghina martabat kita sebagai tuan rumah. I
tu berlaku untuk semua suku bangsa: rasa hormat dan martabat adalah hal yang bagi siapa pun dari kita siap mengorbankan apa pun, termasuk nyawa, untuk membelanya.
Membutuhkan “Updating”
Sesungguhnya nilai-nilai dan moralitas dasar dari kebudayaan di atas secara jenial telah dirumuskan–walau mungkin belum sempurna–oleh bapak-ibu bangsa (founding fathers-mothers) kita di masa lalu.
Melalui pergumulan ide yang dilandasi oleh visi dan spirit kebangsaan primordial, mereka akhirnya menyepakati nilai-nilai dasar dari keberadaan kita sebagai sebuah bangsa terangkum dalam sebuah rumusan bernama Pancasila. Namun betapa pun luhur dan jenialnya Pancasila, mesti jujur kita akui, itu adalah produk dari kerja manusia yang tidak abadi seperti kitab suci.
Ia membutuhkan updating untuk masalah-masalah baru, data-data, pemahaman, dan tujuan atau bahkan visi baru. Itulah tugas dari generasi baru terutama para anggota pemerintahan baru yang silih datang dan pergi.
Pada tingkat praktis, sebenarnya Pancasila adalah cara dan acuan yang niscaya dalam peri-hidup bangsa Indonesia sejak dulu kala. Apa yang dilakukan pendiri bangsa ini adalah menciptakan kristal-kristal kebudayaan dari praktik Pancasila di kalangan rakyat jelata itu.
Soekarno dkk tidak menciptakan ide baru untuk mengatasi hidup yang baru. Namun itulah tugas dan tanggung jawab generasi baru, generasi kita, untuk terus membuat Pancasila hidup dengan cara melakukan updating tadi.
Semacam panduan yang berakar dari perkembangan kebudayaan dan pengetahuan adat dan tradisi dalam upaya merespons kenyataan baru yang melesat dengan cepat. Panduan dan acuan yang harusnya bermula dari perubahan radikal para penguasa dan pengambil kebijaksanaan secara khusus dan kaum elite pada umumnya.
Rakyat jelata adalah pihak terakhir yang akan menyempurnakan panduan-panduan hidup di atas. Rakyat jelatalah yang sebenarnya menjadi pelaku utama ketika kebudayaan itu berkembang dan memperbarui diri.
Maka bila harus ada perubahan yang substansial, tidak terelakkan ia harus terjadi dan dilaksanakan rakyat jelata pada muaranya. Awal dari semua itu adalah munculnya elite yang memiliki kesadaran bersama untuk mengubah mindset dan attitude-nya sesuai dengan realitas eksistensial kita.
Persoalannya kini menjadi lebih terang: bagaimana elite menjalankan peran dan tanggung jawab historik dan tradisionalnya itu, sementara saat ini mereka dalam keadaan mabuk karena alkohol globalisme, candu liberalisme, nafsu kapitalisme, dan penghambaan pada individualisme. Untuk penjelasan dan jawaban bagi pertanyaan kritis ini, kita membutuhkan kertas yang lebih panjang.
Radhar Panca Dahana, budayawan.
Sumber: Sinar Harapan, Kamis, 19 Juli 2012
No comments:
Post a Comment