Sunday, July 01, 2012

[Jejak] “Hamzah Fansuri” Modern Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka)

PROF Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada usia 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik. Ia baru dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia setelah dikeluarkannya Keppres No 113/TK/Tahun 2011 pada 9 November 2011.

Hamka merupakan salah satu orang Indonesia yang paling banyak menulis dan menerbitkan buku. Karenanya ia dijuluki sebagai ‘Hamzah Fansuri’ di era modern. Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang Minangkabau yang berasal dari kata Abi atau Abuya dalam bahasa Arab yang berarti Ayahku atau seseorang yang dihormati. Ayahnya adalah Haji Abdul Karim bin Amrullah, pendiri Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Sementara ibunya adalah Siti Shafiyah Tanjung. Dalam silsilah Minangkabau, ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya.

Buya Hamka juga merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada 1932, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.

Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti.

Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain seperti novel dan cerpen. Pada 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul Si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional.

Pada 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Cairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof Dr Moestopo.

Hamka meninggal dunia pada 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun dan dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Jasanya tidak hanya diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan di negara negara berpenduduk muslim di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Thailand Selatan, Brunei, Filipina Selatan, dan beberapa negara Arab.

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama di Padang Panjang pada 1927. Kemudian ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Padang Panjang dan mengetuai cabang Muhammadiyah tersebut pada 1928. Pada 1931, ia diundang ke Bengkalis untuk kembali mendirikan cabang Muhammadiyah. Dari sana ia melanjutkan perjalanan ke Bagansiapiapi, Labuhan Bilik, Medan, dan Tebing Tinggi, sebagai mubaligh Muhammadiyah. Pada 1932 ia dipercayai oleh pimpinan Muhammadiyah sebagai mubaligh ke Makassar, Sulawesi Selatan.

Ketika di Makassar, sambil melaksanakan tugasnya sebagai seorang mubaligh Muhammadiyah, ia memanfaatkan masa baktinya dengan sebaik-baiknya, terutama dalam mengembangkan lebih jauh minat sejarahnya. Ia mencoba melacak beberapa manuskrip sejarawan muslim lokal. Bahkan ia menjadi peneliti pribumi pertama yang mengungkap secara luas riwayat ulama besar Sulawesi Selatan, Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari. Bukan itu saja, ketika di Makassar ia juga mencoba menerbitkan majalah pengetahuan Islam yang terbit sekali sebulan. Majalah tersebut diberi nama al-Mahdi.

Pada 1934, Hamka meninggalkan Makassar dan kembali ke Padang Panjang, kemudian berangkat ke Medan. Di Medan, bersama M Yunan Nasution, ia mendapat tawaran dari Haji Asbiran Ya’kub, dan Mohammad Rasami (mantan sekretaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat. Pada majalah ini untuk pertama kali ia memperkenalkan nama pena Hamka, melalui rubrik Tasawuf modern, tulisannya telah mengikat hati para pembacanya, baik masyarakat awam maupun kaum intelektual, untuk senantiasa menantikan dan membaca setiap terbitan Pedoman Masyarakat.(fed)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 1 Juli 2012

No comments: