Sunday, July 15, 2012

Menyamar dalam Teater

-- Delvi Yandra

APA yang kita lakukan? Ingatkah kalian, dalam drama karya Ostrovski, The Forest (Hutan), bagaimana Peter menjelaskan kepada Aksyusha cara bersandiwara supaya mereka tidak dikenali dalam pelarian mereka? Peter berkata kepada Aksyusha, ‘’Katupkan sebelah matamu, nah, kau jadi orang bermata satu!’’ (Constantin Stanislavski-Membangun Tokoh, 2008)

***

Tak mudah mengelola sebuah penggarapan teater dengan pemain pemula atau pemain yang notabenenya bukan pemain teater. Barangkali tidak bagi Tantri Kusrianto, penggagas Sanggar Padepokan Bambu yang kerap mengelola para karyawan perusahaan untuk bermain teater dalam pementasan “Alam Barzah” awal Maret lalu di Dumai.

Demikian juga halnya dengan Komunitas Seni Intro di Payakumbuh yang pernah mementaskan naskah karya dan sutradara Della Nasution, “Menimbang Lapuk” beberapa waktu lalu di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat, Padang, dari usia anak-anak hingga dewasa juga ikut dalam garapan tersebut.

Tapi apakah mampu aktor itu membentuk kepribadian yang tidak biasa ke dalam dirinya saat dia harus mengemban karakter tertentu di atas panggung? Inilah yang dimaksud dengan menyamar dalam teater. Proses latihan yang cepat dalam waktu yang terbatas dan tuntutan pementasan ‘memaksa’ sutradara berani mengolah tubuh aktor dengan lebih maksimal sehingga menjadi tubuh teater yang dapat membangun tokoh dengan baik, berikut melakukan penyamaran yang sempurna sehingga aktor tak dikenali lagi kepribadian sehari-harinya.

Mengolah dan mengelola aktor di antara kesibukan mereka sebagai masyarakat yang jauh dari semesta teater tentu menjadi tantangan tersendiri bagi si sutradara, tak cukup hanya semangat. Referensi dan riset di lapangan juga perlu dilakukan agar aktor memahami peran yang akan dimainkan, termasuk memperbanyak diskusi.

Memberikan pengertian dan penjelasan tentang dasar-dasar seni peran menjadi tugas yang secara kontinyu harus dilakukan sutradara terhadap aktornya. Mulai dari menjelaskan bagaimana dunia keaktoran di Indonesia, proses kerja sama dalam lingkup teater, pendekatan-pendekatan dalam berakting, kemampuan berekspresi terutama aktor terhadap dirinya dan aktor terhadap lingkungannya sampai pada bagaimana mencapai relaksasi dan konsentrasi dengan baik.

Selain itu, aktor juga dituntut mampu menganalisa terutama melakukan pembacaan terhadap naskah secara menyeluruh. Menganalisa ritme, melodi dan struktur adegan yang memang juga sangat penting dalam proses latihan teater.

Barangkali, tak begitu sulit bagi aktor yang terbiasa dengan rutinitas teater dan ikut dalam pelbagai garapan pertunjukan. Aktor juga mesti mampu bertransformasi seperti bagaimana aktor melakukan aksi dan pilihan pada situasi-situasi tertentu di atas panggung, aksi aktor dengan aktivitasnya yang terarah sekaligus karakter, imajinasi dan emosi terutama dalam hubungannya dengan pernapasan.

Sementara karakterisasi, bila disertai perubahan besar-besaran atau bahkan pembalikan ke dalam kepribadian asli si aktor adalah sesuatu yang hebat. Karena aktor dituntut menciptakan suatu citraan ketika dia berada di atas panggung maka ini menjadi suatu keharusan bagi si aktor. Tentu saja, memungkinkan dia menjadi ‘jelmaan’ dalam melaksanakan pemeranan.

Pola-pola Pencapaian
Tiga tiang utama yang menjadi satu aspek yang sangat penting dalam persiapan seorang aktor yakni: pikiran, kehendak, perasaan. Sutradara mesti teliti dalam memperhatikan etika dan estetika aktor terutama hal-hal yang berkaitan dengan pemeranan di atas panggung. Mau tak mau, pertunjukan yang baik mestilah dapat dipahami dan ditangkap oleh penonton simbol dan tanda yang disampaikan aktor-aktor melalui pola tubuh aktor yang berpindah dan bergerak di sekitar panggung.

Pemahaman masing-masing penonton dalam menangkap adegan tentu berbeda-beda, apalagi yang berkaitan dengan isu-isu politik dan sosial. Isu-isu politik sering muncul pada teater di Indonesia. Memang, motivasi awal teater adalah politik karena teater yang lari dari isu-isu politik akan menurun mutunya. Tapi teater yang tak melakukan pengolahan watak, apalagi yang memotret kekuasaan secara stereotip, akan terjerumus pada kemegahan dan sloganistis seperti yang umum terjadi di Indonesia. Teater kita miskin penggarapan watak dalam varian-varian tematis.

Sejak bagaimana orang Troya berhadapan dengan pasukan yang menyeludup ke sebuah kota, hingga bagaimana Julius Caesar dibunuh saudara angkatnya yang tolol, Brutus, dunia politik tetap jadi sumber yang tak pernah kering dari teater. Namun Rendra pernah menguraikan keterlibatannya dalam teater yang bukanlah sesuatu yang pantas untuk dicemaskan oleh pihak penguasa, karena ia sama sekali tak dikaruniai naluri politik.

Sekarang tinggal bagaimana membentuk semacam karakter di atas panggung dengan rapi dan sempurna. Misalnya membentuk tokoh penguasa, pejabat atau seorang hamba. Pola-pola penyamaran yang diciptakan aktor seyogianya dilakukan bertahap dan melalui pencarian karakter yang serius sehingga aktor tak hanya berusaha membangun tokoh tapi juga menciptakan sisi lain dalam dirinya yang kasat mata. Barangkali karakter itu nanti yang akan terbawa oleh si aktor dalam kehidupan sehari-harinya.

Karakter berkaitan dengan pakaian sebagai simbol dan riasan wajah yang penuh dengan alasan. Kita tak dapat menempatkan garis atau kerutan di wajah aktor tanpa suatu alasan yang jelas karena ini adalah faktor dalam proses penghayatan peran sekaligus faktor dalam ‘membungkus’ peran sebagai ketubuhan. Itu nanti yang akan jadi cikal bakal pesona lahiriah panggung. Namun, tak cukup hanya dengan riasan dan pakaian yang membungkus tubuh untuk membentuk karakter. Tanpa mengalami dan menghayati peran, takkan nada seni di dalamnya.

Kerap terjadi, aktor memiliki perasaan yang tajam, subtil dan dalam yang diperlukan perannya tapi itu terpiuh tanpa sepengetahuannya karena disampaikan dengan metode fisik yang mentah dan kasar. Ketika tubuh tak menyampaikan perasaan tokoh maupun penghayatan atas perasaan itu, yang lalu terlihat adalah nada-nada sumbang musik yang dimainkan oleh pemusik bagus yang dengan terpaksa dimainkan. Malangnya lagi, aktor itu berusaha dengan sangat keras untuk menyampaikan nuansa perasaannya di atas panggung.

Dengan pola-pola yang baik dan runut, akan menciptakan nuansa perasaan dan karakter yang sungguh-sungguh. Tentunya penyamaran yang sempurna terletak pada kepiawaian aktor dalam memahami dan menghayati perannya.

Aktor Menjadi
Banyak aktor berusaha ‘menjelma’ tapi tak banyak yang berhasil ‘menjadi’. Perilaku alternatif dalam kehidupan sehari-hari dapat membantu aktor dalam perannya. Pemberdayaan aktor dalam proses teater perlu dilakukan: tubuh, imajinasi, kehendak, pikiran dan perilaku sosial.

Teater untuk pemberdayaan, bagi sebagian kalangan, tentu dirancang untuk memicu kreatifitas masyarakat dalam upaya menanggapi kondisi sosial terkini di lingkungan mereka. Teater dapat jadi medium yang tepat, karena bisa meresap dan menyatukan semua kreatifitas yang muncul.

Keterlibatan aktor dalam menentukan tema, isu-isu yang ingin diangkat sampai persoalan sosial yang sedang hangat dibicarakan, tentu saja akan berdampak positif bagi kehidupan sosial si aktor itu sendiri. Dan sudah pasti, teater untuk pemberdayaan berbeda dengan teater biasa.

Augusto Boal, seorang sutradara teater dari Brazil percaya bahwa dengan terlibatnya masyarakat, teater bisa menemukan perilaku alternatif dan solusi bagi permasalahan yang terjadi. Teater dapat bermotivasi politik di daerah miskin di mana seseorang bekerja sehingga dari usahanya, dia dapat menginspirasi orang-orang yang tinggal di daerah miskin atau ‘kumuh’ untuk bangkit melawan ketidakadilan rasial dan kelas yang dihambat oleh latar belakang ras dan kelas. Boal mencoba berkaca dari kemiskinan, dari kemungkinan yang ada dalam lingkungan terkecil dan terburuk di masyarakat.

Teater seperti cermin yang memantulkan kebajikan dan cacat yang sama, di mana orang bisa mencapai dalam mengubah kenyataan yang ada di sekitarnya menjadi lebih baik, sekaligus mengubah kenyataan yang ada dalam dirinya.

Delvi Yandra
, Penggiat teater di Teater Rumah Teduh dan Teater Studio Merah di Padang.

Sumber: Riau Pos, 15 Juli 2012

No comments: