Sunday, July 29, 2012

Sisi Teguh Masyarakat Melayu (Riau) dalam Cerpen ’’Ongkak’’ dan ’’Kemarau Airmata’’

-- Riki Utomi

MEMBINCANGKAN Melayu dalam konteks kekinian tak dapat lepas dari segala problematika yang melingkupinya. Hal ini dalam konteks Melayu (Riau). Melayu Riau sebagai salah satu wahana yang telah memberi andil besar bagi kekayaan budaya Indonesia sudah mesti diberi apresiasi tinggi. Khasanah Melayu Riau, bukan hanya kaya dari segi budaya tapi juga pemikiran (intelektual) masyarakatnya.

Sejak dulu, Riau telah banyak menyumbangkan ide dan gagasan brilian dari sejumlah tokoh besarnya. Dari satu sisi, hal ini dapat mencerminkan bahwa masyarakat Riau secara luas memiliki pengertian yang jauh tentang adat resam yang melatarbelakangi kehidupannya.

Dalam cerpen ‘’Ongkak” dan “Kemarau Airmata’’ karya Seniman Pemangku Negeri (SPN) Fakhrunnas MA Jabbar ini, sedikit-banyak memberi gambaran riil tentang potret Riau dalam hal kekinian. Riau sudah sejak dulu selalu disoroti oleh banyak mata asing untuk mendapatkan hasil buminya. Dalam hal ini masalah hutan, banyak menjadi realitas yang selalu mencuat dalam berbagai berita. Pembalakan liar dan pembakaran hutan banyak terjadi di Riau. Fakhrunnas dalam hal ini sangat cermat mengemas dan meneropong masalah itu. Maka, cerpen-cerpennya sangat sarat menyuarakan tentang ketertindasan, keterpurukan dan ketimpangan sosial pribumi yang tak dapat berbuat lebih jauh akan tanah-tanahnya dan hutan-hutannya yang telah di-‘sewenang-wenangkan’ penguasa.

Tapi dari satu sisi, hal yang digambarkan Fakhrunnas tak semata-mata tentang ketertindasan, yang biasanya berujung pada sikap menyerah tanpa mau bernafas lagi yang lebih panjang untuk dapat membela citra marwah bangsanya. Tapi, Fakhrunnas, melewati sisi lain, dengan bahasa-bahasa samarnya tapi lugas turut mengangkat citra marwah tanah airnya, membangun kekuatan puaknya untuk meyakinkan bahwa ‘’kita masih dapat berbuat sesuatu di tanah sendiri’’. Masih ada harapan-harapan yang akan menyertai meski sulit dan berat tantangan yang dihadapi, karena menurut hemat saya, masyarakat Melayu Riau yang tertindas di tanahnya sendiri ibarat ‘’sudah jatuh tertimpa tangga’’. Masyarakat yang ditindas oleh kalangan atas (Pemda sendiri) yang telah membuat kebijakan atas kerja samanya dengan pihak asing (luar Riau atau luar negeri).

Kedua cerpen yang akan dikupas ini terhimpun dalam kumpulan cerpen Ongkak karya Fakhrunnas, cetakan pertama Oktober 2010, yang diterbitkan Aneuk Mulieng Publishing dan Rumah Komunikasi, Banda Aceh. Kumpulan cerpen ini telah disambut baik oleh kalangan pejabat seperti Gubernur Riau HM Rusli Zainal sebagai pemberi kata pengantar, juga sambutan hangat dari banyaknya pengakuan dari berbagai tokoh terkenal, seperti Andy F Noya (host “Kick Andy”), Maman S Mahayana (kritikus sastra UI), Darman Moenir (sastrawan senior Indonesia), Ahmadun Yosi Herfanda (Ketua Komunitas Cerpen Indonesia), Agus Noor (sastrawan) dan masih banyak lagi. Ini menunjukkan, Fakhrunnas memiliki cerpen-cerpen yang bernyawa dan dapat menyuarakan nilai-nilai humanisme bagi kehidupan puak Melayu (Riau).

Mengawali kupasan pertama di cerpen “Ongkak”, mengisahkan tentang seorang istri yang sedang hamil. Dalam hamilnya dia mengidam untuk mengikuti suaminya kerja di hutan sebagai pekerja kayu balak. Ada sisi absurd yang dapat dirasakan, yaitu sesuatu yang dinilai tak lazim bagi seorang perempuan yang sedang hamil untuk bertandang ke dalam hutan apalagi sampai ikut memegang juga mendorong kayu balak saat orang-orang itu bekerja.

‘’Memang, Kanah sejak bulan pertama kehamilannya selalu minta ikut menyaksikan Sudir membalak. Kanah memang sedang mengidam sesuatu yang aneh. Apalagi hal ini terjadi untuk kehamilan anak ketiga pula.’’ (“Ongkak”, hlm: 16).

Dalam “Ongkak”, Fakhrunnas menggambarkan realita kehidupan para penebang kayu balak. Mereka seperti tak memiliki pilihan lain untuk bekerja di hutan. Gambaran tragis pada tokoh-tokohnya seperti mengisyaratkan tentang kondisi Riau itu sendiri yang tertindas oleh tangan-tangan penguasa. Tapi, Fakhrunnas tak semata-mata larut pada gambaran penindasan, kemelaratan dan suka-duka. Satu sisi, nada-nada optimis tampak disuarakan oleh tokoh-tokohnya dengan motivasi-motivasi baik secara langsung atau tidak, atau secara sadar atau tidak, memotivasi untuk membangun (baca: berubah) itu tetap ada dan mempengaruhi pada alam pikiran tokoh dan perbuatannya.

‘’Sudir pun mengajak serta beberapa kawannya untuk memasuki kawasan rimba raya itu. Sebelumnya ia telah memberikan pemahaman pada mereka betapa rimba raya tak boleh dirusaki sembarangan...’’ (“Ongkak”, hlm: 21).

‘’Sudir dan kawan-kawannya menghancurkan ongkak-ongkak yang melintang di kawasan rimba itu. Paku-paku besinya dicabuti. Galangan kayunya dipatahkan. Sudir hanya ingin membebaskan rimba raya itu dari jamahan orang-orang yang ingin merusaknya.’’ (“Ongkak”, hlm: 22).

Selain itu, sisi teguh Sudir untuk mau mengerti pada pelestarian hutan cukup beralasan. Ini karena Sudir telah ditimpa musibah yaitu istrinya yang sedang hamil tertimpa kayu balak, juga lantaran ia telah beristighfar karena teringat kembali pada nasihat-nasihat datuk-neneknya bahwa sebagai orang tempatan harus dapat menjaga dan melestarikan hutan.

‘’Kawan-kawan, tak elok membabat hutan rimba ini suka-suka kita. Bila rimba dirasuki maka banyak mudharat yang akan muncul. Lebih baik, kita menyesali diri dari sekarang....’’ (“Ongkak”, hlm: 22).

Cerpen kedua berjudul “Kemarau Airmata”. Memiliki kesan yang mengajak untuk kita tetap bersabar, mawas diri dan teguh pada pendirian sikap tokoh Aku. Tokoh Aku sebagai seorang suami yang memiliki kesabaran dalam menghadapi persoalan yang melanda kampungnya. Persoalan yang melibatkan semua penduduk kampung itu adalah karena akan didirikannya sebuah pembangunan PLTA raksasa dan tanah rakyat banyak yang harus dikorbankan, rakyat harus rela menjual tanahnya pada pemerintah untuk pembangunan itu dengan diberi harapan janji ganti rugi yang besar. Tapi tokoh Aku memiliki firasat kuat kalau pembangunan PLTA itu tak berjalan baik karena ia telah lama merasakan penderitaan akibat pembangunan-pembangunan seperti itu.

‘’Wabah kolera dan muntaber mulai merajalela. Musibah barupun muncul. Ada kematian yang tiba-tiba datangnya. Aku pun merasakan deraan kematian itu ketika Hasyim, anak bungsu kami juga meninggal dunia setelah muntah mencret selama sehari semalam.’’ (“Kemarau Airmata”, hlm: 37).

Seperti masyarakat kecil pada umumnya yang selalu tertindas oleh tangan dan kaki penguasa. Tokoh Aku makin merasakan penderitaannya. Ganti rugi yang tak terealisasi dengan lancar dan terkatung-katung hingga menimbulkan dampak buruk bagi kelangsungan hidup masyarakat tempatan yang telah rela menjualkan tanahnya ke pemerintah.

Pada kenyataannya, dalam konteks Riau, hal ini memang banyak terjadi dan lambat laun jadi polemik yang tajam. Pertentangan bahkan pertikaian yang terjadi antara masyarakat tempatan dengan perintah dapat menimbulkan tragedi kemanusiaan yang merisaukan kita.

‘’Aku terpancing juga akhirnya. Kuambil fotocopy daftar ganti rugi harta benda dan tanah yang dicanang oleh pemerintah. Daftar ini ditandatangani oleh Bupati dan Pimpinan Proyek Listrik yang akan melaksanakan pembangunan PLTA di kampung kami. Kami merasa hanya menerima akibat buruk saja dari pembangunan itu. Soalnya, sungai Turip kini pun airnya sudah sangat dangkal, karena didera oleh kemarau dan akan dibendung pula. Oleh sebab itu, bila pembendungan itu berjalan maka kampung-kampung di kawasan aliran sungai itu akan ditenggelamkan.’’ (“Kemarau Airmata”, hlm: 33-34).

Secara umum digambarkan kondisi riil pada sebuah masyrakat kecil yang tak mampu berbuat apa-apa. Mereka hanya menerima akibat dari pembangunan yang belum tentu berujung pada kemaslahatan hidup rakyat kecil. Mungkin secara tak langsung, tanah rakyat ‘dirampas’ oleh oknum-oknum di atas naungan nama pemerintahan dengan bekerja sama pada pihak-pihak asing yang jelas meraih untung sebesar-besarnya. Akibatnya, rakyat kecil makin merasa rugi juga dibohongi dan dapat berujung tak adanya lagi rasa percaya rakyat pada pemimpin, karena pemimpin pun kini lebih banyak tak adil pada rakyat dan tak bijaksana dalam mengayomi dan memperhatikan kehidupan rakyat. Ini tentu saja tak sesuai kaidah kepemimpinan dalam adat resam Melayu.

Tapi di satu sisi, Fakhrunnas kembali menyuarakan keteguhan pendirian pada diri tokoh-tokohnya. Tokoh-tokohnya tak hanya terlena dan menyerah, tapi tetap memiliki pandangan ke depan untuk dapat bertahan, meski mereka rakyat kecil.

‘’Aku memang selalu bersikap bagai mewakili orang kebanyakan. Itulah sebabnya bayangan pikiranku selalu mengatasnamakan penduduk di sini. Aku lebih senang berbicara dengan menyebut ‘kami’ daripada ‘aku’. Sebab ke ‘aku’ anku memang ada di dalam ke’ kami’ an kami.’’ (“Kemarau Airmata”, hlm: 36).

Sisi teguh dalam keyakinan bahwa hanya kekuasaan Tuhan yang besar di alam ini juga tampak melandasi pikiran tokoh Aku. Tokoh Aku tetap berpendirian besar untuk dapat bertahan meski kampungnya telah porak-poranda akibat proses pembangunan PLTA yang berdampak pada kerugian material itu. Tokoh Aku yakin dan teguh bahwa kekuasaan Tuhanlah yang pantas dipuja-puji, bukan kekuasaan manusia.

‘’Orang-orang ahli seperti perencanaan proyek PLTA itu boleh saja membuat perkiraan-perkiraan tentang jumlah air sungai yang siap menopang pembangkit listrik itu. Tapi kekuasaan Tuhan? Tidak seorang pun dapat mendahuluinya. Inilah keyakinanku.’’ (“Kemarau Airmata”, hlm: 38).

Pembangunan proyek PLTA yang banyak merugikan masyarakat itu akhirnya mengalami kegagalan. Ada benang merah yang dapat kita lihat bahwa pembangunan yang tak dilandasi dengan baik akan merugikan pembangunan itu sendiri. Dalam hal ini, pemerintah juga turut rugi karena dia juga secara tik langsung telah merugikan rakyatnya sendiri. Salah satunya, dengan tak seriusnya pembayaran ganti rugi tanah yang telah mereka beli dari masyarakat itu. Pemerintah juga tak serius memperhatikan kesejahteraan rakyatnya dari dampak negatif pembangunan PLTA yang macet dan gagal itu.

Akibat kegagalan pembangunan itu juga karena tewasnya kontraktor proyek itu yang bunuh diri karena malu akibat perkiraan yang dibuatnya bersama perencana lain meleset sama sekali. Tapi sekali lagi, keteguhan tokoh Aku tetap ada dan tak membuatnya larut dalam penderitaan.

‘’Kampung kami dan beberapa kampung lain yang dicadangkan akan tenggelam benar-benar heboh. Sebagian penduduk mulai terbakar semangatnya untuk unjuk rasa. Aku pun diajak untuk meramaikan unjuk rasa itu. Sekedar mengingatkan pihak yang berkehendak bahwa semestinya pembangunan jangan sampai merugikan rakyat kecil seperti kami dan penduduk di sini.’’ (“Kemarau Airmata”, hlm: 39).

Pembangunan yang tak memerhatikan nasib rakyat akan membawa dampak buruk yang besar. Rakyat (masyarakat tempatan) yang telah dirampas haknya tentu takkan terima dalam pembangunan itu. Tentu saja ini berujung tak jujurnya hubungan antara pemerintah dengan rakyat. Fakhrunnas secara tak langsung memberi gambaran realita itu pada kita. Mengajak untuk merenung dan berpikir arif demi sebuah kehidupan yang selaras.

Memang, konteks pembangunan Riau saat ini telah banyak kemajuan dari segi fisik, tapi kita masih dituntut lebih bersikap arif dan cermat dalam melihat kondisi dimana segala sesuatu akan berdampak besar bila tak mengendalikan nafsu dan nurani. Karena nurani (rakyat) sangat jauh dalam dan menjadi teror mental apabila diusik terus-menerus. n

Selatpanjang, Juni 2012


Riki Utomi, Alumni Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UIR. Pernah berproses di FLP Riau. Menulis puisi, cerpen, esai di sejumlah media dan terangkum dalam sejumlah antologi. Juga sesekali naskah drama. Kini mengajar di sebuah sekolah kejuruan di Kepulauan Meranti. Tinggal di Selatpanjang.

Sumber: Riau Pos, Minggu,29 Juli 2012

No comments: