Semakin meningkatnya tuntutan globalisasi membuat anak-anak saat ini lebih dipersiapkan menggunakan bahasa Inggris. Terkadang mereka sulit berbicara bahasa Indonesia.
TUBUH mungil Ryufath Alief Adhyaksa bergerak lincah keluar dari kolam renang yang padat orang di Club Taman Sari Perumahan Pesona Bali, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten. Ia bergegas menghampiri ibunya, Sri Utami Dewi atau akrab dipanggil Uta, dan ayahnya, Marcel Pryadarshi, di pinggir kolam.
"Mom, can I go take a shower now?" tanya Ryu yang menginjak kelas III sekolah dasar itu kepada ibunya, yang disambut Uta dengan senyum dan anggukan lalu menjawab singkat, "Of course, go with daddy okay." Marcel pun beranjak sambil menggenggam tangan mungil Ryu. "Okay after shower we pick your sister at home and take a lunch outside," ujarnya.
Percakapan itu seperti obrolan keluarga biasa hanya dengan bahasa Inggris sebagai pengantarnya. Ryu, 8, dari kecil sudah lancar berbahasa Inggris, tanpa kursus. "Sama dengan adik perempuannya, Reischya, yang baru empat tahun. Mungkin pengaruh dari pola komunikasi saya dan suami yang sering ngobrol dengan bahasa Inggris," papar Uta.
Ia berkaca dari pengalamannya ketika studi asuransi di Melbourne University, Australia. Saat itu Uta mengalami kendala bahasa. Ia harus menghabiskan waktu untuk belajar bahasa terlebih dahulu. Karena itu, ia tidak ingin hal yang sama terjadi pada anaknya.
"Sebisa mungkin sejak awal Ryu dan adiknya kami ajarkan bahasa Inggris agar cepat fasih saat dewasa nanti. Terlebih bahasa ini penting dalam menghadapi tantangan globalisasi ke depan dan sudah banyak orang Indonesia yang menguasai," jelas Marcel.
Uta mengakui anaknya mengalami kesulitan dalam bergaul dengan anak yang tidak memiliki kemampuan bahasa seperti Ryu. Termasuk dengan guru mengaji atau pelatih kursus renang. Ia mengaku tetap mengajarkan bahasa Indonesia kepada anaknya di rumah. Uta tidak khawatir anaknya cenderung berbahasa asing ketimbang bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia, menurut Uta, juga telah diajarkan dan dapat dipelajari seiring waktu. Selain itu, pola komunikasi pada era globalisasi ini menurutnya mengharuskan generasi muda sudah harus menguasai bahasa pergaulan internasional.
Berbahasa yang baik
Sastrawan Sapardi Djoko Damono memandang fenomena peralihan ini sebagai sebuah hal yang sangat mengancam budaya berbahasa yang baik. "Bahasa sudah dirusak," ucapnya tegas.
Sastrawan yang terkenal dengan sajak Aku Ingin tersebut merasa miris dengan pilihan pengguna bahasa Inggris yang tidak betul-betul melafalkan bahasa internasional itu dengan baik. "Kemampuan bahasa Indonesia saja masih kurang baik. Ditambah lagi menggunakan bahasa Inggris. Indonesianya yo jadi salah kabeh," ucapnya dengan logat Jawa yang masih kental.
Baginya, setiap individu perlu bertindak lebih bijak dalam menghadapi pentingnya menguasai bahasa asing, dengan tetap memelihara bahasa sendiri. Salah satu caranya ialah menggunakan bahasa Indonesia dan Inggris dengan baik dan benar. "Bahasa itu kan logika. Jadi, logikanya, jika masyarakat bisa berbahasa Inggris dengan baik, bahasa Indonesia juga harus sudah baik.".
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 15 Juli 2012
TUBUH mungil Ryufath Alief Adhyaksa bergerak lincah keluar dari kolam renang yang padat orang di Club Taman Sari Perumahan Pesona Bali, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten. Ia bergegas menghampiri ibunya, Sri Utami Dewi atau akrab dipanggil Uta, dan ayahnya, Marcel Pryadarshi, di pinggir kolam.
"Mom, can I go take a shower now?" tanya Ryu yang menginjak kelas III sekolah dasar itu kepada ibunya, yang disambut Uta dengan senyum dan anggukan lalu menjawab singkat, "Of course, go with daddy okay." Marcel pun beranjak sambil menggenggam tangan mungil Ryu. "Okay after shower we pick your sister at home and take a lunch outside," ujarnya.
Percakapan itu seperti obrolan keluarga biasa hanya dengan bahasa Inggris sebagai pengantarnya. Ryu, 8, dari kecil sudah lancar berbahasa Inggris, tanpa kursus. "Sama dengan adik perempuannya, Reischya, yang baru empat tahun. Mungkin pengaruh dari pola komunikasi saya dan suami yang sering ngobrol dengan bahasa Inggris," papar Uta.
Ia berkaca dari pengalamannya ketika studi asuransi di Melbourne University, Australia. Saat itu Uta mengalami kendala bahasa. Ia harus menghabiskan waktu untuk belajar bahasa terlebih dahulu. Karena itu, ia tidak ingin hal yang sama terjadi pada anaknya.
"Sebisa mungkin sejak awal Ryu dan adiknya kami ajarkan bahasa Inggris agar cepat fasih saat dewasa nanti. Terlebih bahasa ini penting dalam menghadapi tantangan globalisasi ke depan dan sudah banyak orang Indonesia yang menguasai," jelas Marcel.
Uta mengakui anaknya mengalami kesulitan dalam bergaul dengan anak yang tidak memiliki kemampuan bahasa seperti Ryu. Termasuk dengan guru mengaji atau pelatih kursus renang. Ia mengaku tetap mengajarkan bahasa Indonesia kepada anaknya di rumah. Uta tidak khawatir anaknya cenderung berbahasa asing ketimbang bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia, menurut Uta, juga telah diajarkan dan dapat dipelajari seiring waktu. Selain itu, pola komunikasi pada era globalisasi ini menurutnya mengharuskan generasi muda sudah harus menguasai bahasa pergaulan internasional.
Berbahasa yang baik
Sastrawan Sapardi Djoko Damono memandang fenomena peralihan ini sebagai sebuah hal yang sangat mengancam budaya berbahasa yang baik. "Bahasa sudah dirusak," ucapnya tegas.
Sastrawan yang terkenal dengan sajak Aku Ingin tersebut merasa miris dengan pilihan pengguna bahasa Inggris yang tidak betul-betul melafalkan bahasa internasional itu dengan baik. "Kemampuan bahasa Indonesia saja masih kurang baik. Ditambah lagi menggunakan bahasa Inggris. Indonesianya yo jadi salah kabeh," ucapnya dengan logat Jawa yang masih kental.
Baginya, setiap individu perlu bertindak lebih bijak dalam menghadapi pentingnya menguasai bahasa asing, dengan tetap memelihara bahasa sendiri. Salah satu caranya ialah menggunakan bahasa Indonesia dan Inggris dengan baik dan benar. "Bahasa itu kan logika. Jadi, logikanya, jika masyarakat bisa berbahasa Inggris dengan baik, bahasa Indonesia juga harus sudah baik.".
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 15 Juli 2012
No comments:
Post a Comment