-- Linda Sarmili
KITA mengenal namanya Nh Dini semenjak sekolah dasar. Puisinya kerap kali dibacakan dalam berbagai kesempatan, khususnya perlombaan yang berskala nasional. Dia adalah seorang sastrawan yang novel-novelnya dianggap sebagai hulu dari para novelis perempuan di belakang hari.
Untuk segenap jasanya itu, tahun lalu, NH Dini dianugerahi Penghargaan Achmad Bakrie Award. Penghargaan tersebut di berikan di Jakarta, dihadiri ratusan tokoh dari berbagai disiplin ilmu.
Sepanjang karirnya sebagai penulis, Nh. Dini telah memperkuat realisme, merintis ideologi anti-patriarki, dan mendalami novel autobiografis, dalam sastra berbahasa Indonesia. Sastra "realisme fotografis"-nya kaya dengan detail.
Pencapaiannya sangat menonjol, terutama jika disimak dari semangatnya dalam menggali dunia perempuan, termasuk seksualitas tersembunyi, khususnya perempuan Jawa. Begitu juga dengan novel-novelnya, selalu dipadatan dengan beragam cerita tentang kelebihan dan kreativitas perempuan.
Tak pelak lagi, Nh Dini menjadi induk dari novel-novel populer yang ditulis pengarang perempuan, juga menjadi pendahulu bagi karya sejumlah penulis-perempuan yang sejak akhir 1990-an mendorong lebih jauh lagi feminisme ke arah pengungkapan seks dan seksualitas.
Anda pernah membaca betapa hebatnya novel-novel otobiografisnya Nh Dini? Edgar Cairo, salah seorang penyair dari Amsterdam selalu memuji buku novel Nh Dini karena memiliki kedalaman ilmu tentang tokoh-tokoh yang ditampilkannya. Penilaian serupa juga kerap dikemukan banyak praktisi kebudayaan dan sastrawan di Indonesia.
Novel novel otobiografis karangan Nh Dini, menurut penilaian penulis selalu sanggup melebur antara kenyataan faktual dan kenyataan fiksional dengan baik.
Dalam sastra Indonesia, dunia perempuan sebelumnya hampir selalu dilukiskan oleh pengarang laki-laki. Tetapi Dini merebut itu semua dan menegaskan bahwa perempuan hanya bisa tampil wajar dalam fiksi jika dikisahkan oleh perempuan sendiri.
Perempuan memiliki suaranya sendiri yang bukan lagi pemalsuan dari suara laki-laki,begitu kata Nh Dini yang kemudian dibenarkan oleh sejumlah wanita yang menghabiskan kesehariannya dengan dunia menulis.
Dalam novel autobiografis riwayat hidup si pengarang menjadi bahan utama pengisahan. Tetapi hanya pengarang yang cemerlang seperti Dinilah yang sanggup melebur antara kenyataan faktual dan kenyataan fiksional dengan amat baiknya.
Beda dengan Nh Dini dari para penerusnya adalah novel-novelnya hadir dengan kualitas bahasa yang tetap terjaga. Kalimat-kalimatnya kokoh, pelukisannya tentang sesuatu tampak halus, kadang samar-samar, sehingga memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menerka-nerka.
Penghargaan Achmad Bakrie yang diterimanya pada malam penganugerahan Minggu, 14 Agustus tahun lalu, bertempat di XXI Ballroom Djakarta Theatre, Jakarta, membuat para perempuan penulis kagum kepadanya, terutama ketika ditanya oleh seorang wartawan apakah masih ada waktu menulis di usianya sekarang yang telah mencapai 75 ?
Ternyata Nh Dini menjawab: "saya akan menghabiskan usia saya dengan menulis. Saya merasa bangga apabila tulisan saya bisa memberi makna kepada pembacanya, kepada masyarakat luas, dan kepada usaha pembaruan pembaruan pola pikir perempuan Indonesia".
Ternyata benar, Nh Dini terus menulis untuk memajukan pola pikir perempuan Indonesia, dan memajukan dunia sastra Indonesia.
Baru-baru ini, NH Dini, meluncurkan buku terbarunya berjudul Pondok Baca Kembali ke Semarang Buku yang diterbitkan Gramedia itu diluncurkan di Toko Buku Gramedia Amaris Semarang, Jawa Tengah, belum lama ini. Peluncuran buku tersebut ditandai dengan Diskusi Buku dan Perjalanan Sastra bersama NH Dini yang dipandu budayawan Semarang Prie GS.
Dalam diskusi tersebut, NH Dini menuturkan perjalanan hidupnya, termasuk bagaimana proses menulis buku-buku yang merupakan pengalaman dan kisah hidupnya. "Semuanya secara jujur saya sampaikan apa adanya," ujar Dini.
"Buku Pondok Baca Kembali ke Semarang" mengisahkan saat Nh Dini kembali ke Tanah Air tahun 1980. Setelah mondar-mandir antara Jakarta dan Semarang, tahun 1985, Dini menetap di kota asalnya, di Kampung Sekayu, Semarang Tengah. Di kampungnya dia mendirikan taman bacaan yang dinamakan Pondok Baca NH Dini.
Diskusi dengan Nh Dini dihadiri keluarga dan penggemar bukunya, bahkan sejumlah anak sekolah dari Semarang mengaku mendapat banyak pencerahan setelah mencermati kalimat demi kalimat yang dituturkan Nh Dini.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 28 Juli 2012
KITA mengenal namanya Nh Dini semenjak sekolah dasar. Puisinya kerap kali dibacakan dalam berbagai kesempatan, khususnya perlombaan yang berskala nasional. Dia adalah seorang sastrawan yang novel-novelnya dianggap sebagai hulu dari para novelis perempuan di belakang hari.
Untuk segenap jasanya itu, tahun lalu, NH Dini dianugerahi Penghargaan Achmad Bakrie Award. Penghargaan tersebut di berikan di Jakarta, dihadiri ratusan tokoh dari berbagai disiplin ilmu.
Sepanjang karirnya sebagai penulis, Nh. Dini telah memperkuat realisme, merintis ideologi anti-patriarki, dan mendalami novel autobiografis, dalam sastra berbahasa Indonesia. Sastra "realisme fotografis"-nya kaya dengan detail.
Pencapaiannya sangat menonjol, terutama jika disimak dari semangatnya dalam menggali dunia perempuan, termasuk seksualitas tersembunyi, khususnya perempuan Jawa. Begitu juga dengan novel-novelnya, selalu dipadatan dengan beragam cerita tentang kelebihan dan kreativitas perempuan.
Tak pelak lagi, Nh Dini menjadi induk dari novel-novel populer yang ditulis pengarang perempuan, juga menjadi pendahulu bagi karya sejumlah penulis-perempuan yang sejak akhir 1990-an mendorong lebih jauh lagi feminisme ke arah pengungkapan seks dan seksualitas.
Anda pernah membaca betapa hebatnya novel-novel otobiografisnya Nh Dini? Edgar Cairo, salah seorang penyair dari Amsterdam selalu memuji buku novel Nh Dini karena memiliki kedalaman ilmu tentang tokoh-tokoh yang ditampilkannya. Penilaian serupa juga kerap dikemukan banyak praktisi kebudayaan dan sastrawan di Indonesia.
Novel novel otobiografis karangan Nh Dini, menurut penilaian penulis selalu sanggup melebur antara kenyataan faktual dan kenyataan fiksional dengan baik.
Dalam sastra Indonesia, dunia perempuan sebelumnya hampir selalu dilukiskan oleh pengarang laki-laki. Tetapi Dini merebut itu semua dan menegaskan bahwa perempuan hanya bisa tampil wajar dalam fiksi jika dikisahkan oleh perempuan sendiri.
Perempuan memiliki suaranya sendiri yang bukan lagi pemalsuan dari suara laki-laki,begitu kata Nh Dini yang kemudian dibenarkan oleh sejumlah wanita yang menghabiskan kesehariannya dengan dunia menulis.
Dalam novel autobiografis riwayat hidup si pengarang menjadi bahan utama pengisahan. Tetapi hanya pengarang yang cemerlang seperti Dinilah yang sanggup melebur antara kenyataan faktual dan kenyataan fiksional dengan amat baiknya.
Beda dengan Nh Dini dari para penerusnya adalah novel-novelnya hadir dengan kualitas bahasa yang tetap terjaga. Kalimat-kalimatnya kokoh, pelukisannya tentang sesuatu tampak halus, kadang samar-samar, sehingga memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menerka-nerka.
Penghargaan Achmad Bakrie yang diterimanya pada malam penganugerahan Minggu, 14 Agustus tahun lalu, bertempat di XXI Ballroom Djakarta Theatre, Jakarta, membuat para perempuan penulis kagum kepadanya, terutama ketika ditanya oleh seorang wartawan apakah masih ada waktu menulis di usianya sekarang yang telah mencapai 75 ?
Ternyata Nh Dini menjawab: "saya akan menghabiskan usia saya dengan menulis. Saya merasa bangga apabila tulisan saya bisa memberi makna kepada pembacanya, kepada masyarakat luas, dan kepada usaha pembaruan pembaruan pola pikir perempuan Indonesia".
Ternyata benar, Nh Dini terus menulis untuk memajukan pola pikir perempuan Indonesia, dan memajukan dunia sastra Indonesia.
Baru-baru ini, NH Dini, meluncurkan buku terbarunya berjudul Pondok Baca Kembali ke Semarang Buku yang diterbitkan Gramedia itu diluncurkan di Toko Buku Gramedia Amaris Semarang, Jawa Tengah, belum lama ini. Peluncuran buku tersebut ditandai dengan Diskusi Buku dan Perjalanan Sastra bersama NH Dini yang dipandu budayawan Semarang Prie GS.
Dalam diskusi tersebut, NH Dini menuturkan perjalanan hidupnya, termasuk bagaimana proses menulis buku-buku yang merupakan pengalaman dan kisah hidupnya. "Semuanya secara jujur saya sampaikan apa adanya," ujar Dini.
"Buku Pondok Baca Kembali ke Semarang" mengisahkan saat Nh Dini kembali ke Tanah Air tahun 1980. Setelah mondar-mandir antara Jakarta dan Semarang, tahun 1985, Dini menetap di kota asalnya, di Kampung Sekayu, Semarang Tengah. Di kampungnya dia mendirikan taman bacaan yang dinamakan Pondok Baca NH Dini.
Diskusi dengan Nh Dini dihadiri keluarga dan penggemar bukunya, bahkan sejumlah anak sekolah dari Semarang mengaku mendapat banyak pencerahan setelah mencermati kalimat demi kalimat yang dituturkan Nh Dini.
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 28 Juli 2012
No comments:
Post a Comment