-- Hardi Hamzah*
FRANS Magnis Suseno menolak Ahmad Bakrie Award baru-baru ini. Ia membuat analisis soal sosok karbitan yang muncul di antara transformasi sosial dan diplomasi kebudayaan.
Ia mengatakan, transformasi sosial dan diplomasi kebudayaan di Indonesia, sesungguhnya masih sangat lemah. Dan kelemahan itu menghadirkan implikasi yang bervariasi.
Analisis itu memang tidak ditujukan untuk si pemberi Ahmad Bakrie Award 2007. Dus, tokoh yang selalu mengembangkan filsafat humanis itu menggelitik saya untuk memproyeksikan kalimat itu secara lebih substantif.
Mendengar statemen itu, rasanya saya tergoda untuk mendiskripsi suatu transformasi sosial yang tidak utuh di negeri ini, dan diplomasi kebudayaan yang centang-perenang. Maka, akibatnya, transformasi kehidupan masyarakat berliuk-liuk pada kesusahan yang satu ke kesusahan yang lain. Dan, diplomasi kebudayaan yang berantakan membuat bangsa ini terhina di mata bangsa-bangsa lain.
Transformasi sosial memang sangat dibutuhkan, utamanya jika kita melihat proses sosial lewat tinjauan variabel yang sangat umum. Katakanlah, semacam transfer nilai dari dunia pertelevisian, internet dan beragam kemajuan teknologi komunikasi lain.
Di sini tidak terlihat kerangka berpikir yang makro untuk sebuah kemajuan bangsa. Betapa tidak, televisi yang ditonton lebih dari 60 juta rakyat Indonesia, lebih dari 67% menyajikan pesan-pesan yang tidak jelas, pesan-pesan pragmatis dan bahasa-bahasa amoral.
Ketika hal ini berbenturan dengan nilai-nilai Indonesia, di mana ia bersamaan dengan transformasi sosial, hasilnya mudah dapat diduga, manusia Indonesia menjadi sosok "matang karbit".
Penetrasi lanjutan dari anasir keberantakan sosial itu membuahkan pernik-pernik baru di masyarakat. Ia pun bertumpang tindih dengan diplomasi kebudayaan para elite diberbagai lapisan (utamanya elite politik). Jadilah, kita bangsa yang gagap dalam pusaran global.
Pertanyaannya kemudian, mau ke mana sih bangsa ini sebenarnya, mau ke mana sih broker dan kopral bisnis di tingkat kekuasaan? Negeri ini dengan transformasi dan diplomasi yang babak bunyak lebih menampilkan variabel-variabel baru tanpa bentuk.
Sosok manusia karbitan itu muncul di mana-mana. Di birokrasi indikasinya ada pada kelambanan, di lembaga pendidikan ada pada rumitnya kurikulum plus mahalnya sekolah, di kesehatan, kita adalah bangsa yang menyimpan endemik flu burung terbesar. Dalam dunia kesenian kita melihat PSK kesenian yang hanya mengharapkan gedung dan menjadikan pimpinan mereka seorang personality person yang tidak jelas kiprahnya dalam kesenian, dan sederet lagi berbagai penyimpangan sosial yang bangsa ini lakukan.
Perkawinan kata transformasi sosial dan diplomasi kebudayaan, melahirkan anak kandung sistem sosial yang unbalance (ketidakseimbangan) di berbagai aspek, yang plus minus menguatkan reaksi-reaksi yang tidak faktual pada aspek lainnya. Maka, pilihan untuk tidak menjadi sosok karbit pun makin terimpit.
Di Trenggalek, ketika 11 ribu hektare sawah dihancurkan hama, kita buru-buru menyalahkan Sang Khalik. Kita katakan Sang Khalik murka, ini bisa benar.
Padahal, ketika kita tahu bahwa transformasi sosial di tingkat institusi, insektisida yang dipalsukan, barulah kita ngeh bahwa lagi-lagi sosok karbitan membuahkan tipu daya bagi petani.
Belum lagi fakta sejarah yang selalu memunculkan kemenangan anak-anak Republik atas nama pertikaian. Transformasi sosial kita pun selalu menjustifikasi bahwa sejarah kita, sejarah konflik, sehingga wajar jika kemunculan yang paling menonjol dewasa ini, keberanian yang berlebihan, di mana indikasi konkret sosok karbitan lahir atas nama penulisan sejarah yang salah.
Sosok karbitan disokong pula kekuatannya oleh diplomasi kebudayaan yang keliru. Kebudayaan Indonesia cenderung dikenalkan tanpa pakem-pakem spesifiknya.
Diplomasi kebudayaan indentik dengan acara-acara seremoni dalam lingkaran kedutaan; tarian, pameran dan berbagai pementasan dipertunjukkan demi suatu proyek.
Belum lagi kita bicara skala makro, terlemparnya Sipadan dan Ligitan dan pulau-pulau kecil, pun menunjukkan makna pada kita bahwa diplomasi kebudayaan kita amat lemah. Orang-orang karbitan sebagai resultante dari kesalahan transformasi sosial dan diplomasi kebudayaan, kiranya tak tertolakkan, ia merambah dari bayi sampai orang tua.
Negeri ini pun merefleksikan sebuah struktur sosial dan kurun waktu yang tak dapat dikejar, semisal, struktur sosial berubah bentuk menjadi komunitas politik, komunitas ekonomi, dan komunitas kepentingan kerdil lain. Di sinilah kemudian sosok karbitan bisa menjalankan visinya.
Visi sosok karbitan, pilihan yang hanya sepihak, serpihan untuk orang miskin, serpihan untuk memberantakkan sektor riil dan mencabik-cabik komunitas komunal bagi kepentingan politik para elite. Jadilah negeri celaka ini, sebuah makrokosmos yang pilar-pilarnya adalah sosok karbitan.
Sosok karbitan mereduksi ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Semua ini bermuara pada transformative devition (penyimpangan transformasi) dan cultural diplomacy (diplomasi kebudayaan).
Pilihan terbaik untuk membangun frame baru bagi bangsa ini adalah peran yang bersenyawa antara pendidikan dan kebudayaan serta diplomasi secara aktual. Sebagai contoh kita membutuhkan premis baru bagi suatu kurikulum, premis baru untuk mengkaji ulang akulturasi budaya, dan memahami dengan baik kisi-kisi diplomasi.
Pilihan itu memang tidak mudah. Beberapa kritikus Indonesia di Eropa mengungkap bahwa gelindingan kapitalis global salah satu bagian integral untuk memorakporandakan kisi-kisi yang ada. Jefry Winter misalnya, melihat gugusan atmosfer kelompok ekonom kita terlalu bergelayut dengan prospek pasar global. Sementara itu, penulis sendiri melihat pendidikan kita masih berada pada titik nadir yang paling rendah, baik dalam pemahaman moral maupun material.
Memadukan pendidikan, kebudayaan, dan diplomasi, kiranya memang tidak gampang karena ada semangat multipolar di antara ketiganya sesuai dengan kepentingan sosok karbitan (baca: elite yang berkompeten).
Ukuran-ukuran standar baku untuk membenahi penyimpangan transformasi dan diplomasi kebudayaan, telah tercerabut dalam kungkungan birokrasi yang sistemik plus komponen-komponennya yang jauh dari rakyat. Itulah sebabnya, negeri ini tidak ada beranda sebagai lemek bagi nilai-nilai humaniora, pun juga bagi semangat partisipasi publik untuk dengan segera mengaktualisasikan kehidupan.
Sosok karbitan, terus ngeloyor lewat variabel "penyimpangan transformasi" dan diplomasi kebudayaan yang tidak memberikan hal-hal krusial bagi pembangunan watak bangsa. Dengan demikian, titik strategis yang patut kita tawaran di sini adalah "bagaimana menggugah cakrawala baru" bagi generasi yang lahir pada paro pertama dekade 90-an, sehingga mereka tidak menjadi sosok karbitan.
Kritik-kritik sosial plus kritik-kritik kebudayaan sangatlah ditentukan kebijakan institusi. Sederhananya, kita patut mencegah penetrasi yang dimunculkan kerakusan para elite untuk berkuasa, korupsi dan melecehkan seluruh unsur. Kalau kita sepakat akan hal ini, sosok karbitan yang bak pisang ranum, tetapi sepet rasanya, niscaya akan muncul terapinya.
Terapi strategis untuk menghapus keberantakan sosial itu, setidaknya kita benar-benar concerned terhadap tiga aspek. Pertama, aspek spritual. Kedua, aspek ideologis. Ketiga aspek populis.
* Hardi Hamzah, Peneliti Madya pada Institute for Studies and Consultation of Social Scineses (INSCISS)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 September 2007
No comments:
Post a Comment