Monday, September 24, 2007

Sastra: Pentas Syair Mengenang 800 Tahun Rumi

Tanggal 30 September mendatang adalah ulang tahun Jalaluddin Rumi yang ke-800. Sosok ini dikenal sebagai sastrawan ulung yang karyanya tidak lekang zaman dan dapat menembus sekat sosial di mana pun juga. Wajar saja jika menjelang hari lahirnya banyak sastrawan yang ingin mengenang sosok Rumi sekali lagi.

Penyair Putu Wijaya berkolaborasi dengan Dewi Yull dalam pembacaan sajak-sajak Sufi Jalaluddin Rumi, di Teater Kecil Taman Ismail Mazuki, Jakarta, Kamis (20/9). Acara ini untuk memperingati 800 tahun Penyair Jalaluddin Rumi. (SP/Ruht Semiono)

Di Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta menggelar Malam Rumi dan Attar di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta, Kamis (20/9) malam. Acara itu menampilkan Dewi Yull dan Putu Wijaya dalam pembacaan karya-karya Rumi.

Selain artis dan seniman itu, juga tampil Denny Tri Wiranto yang juga membacakan syair-syair Rumi. Sementara Teater El Na'ma mementaskan pertunjukan Musyawarah Burung karya Attar.

Melihat penampilan Dewi Yul dan Putu di atas panggung mungkin terbilang jarang, tetapi keduanya seolah sudah sering berkolaborasi. Dalam menampilkan karya-karya Rumi, mereka berdua mengajak penonton merasuki kedalaman filsuf Rumi.

Seperti halnya ketika Putu sedang membawakan Syam-I Tabriz yang menggambarkan pencarian Rumi terhadap Tuhannya, Dewi Yul menembang syair Jawa dan olah suara lainnya.

Kolaborasi mereka memang sederhana saja, saat Putu membacakan karya Rumi, Dewi mengiringi dengan tembang. Tapi itu mampu membangkitkan kegelisahan-kegelisahan Rumi dalam syair-syairnya. Keduanya memang memiliki bekal panggung yang tidak sedikit. Dewi Yull pun terkenal ketika berkolaborasi dengan Iwan Fals atau dengan Broery Pesolima. Sementara Putu Wijaya sendiri sudah dikenal sebagai seniman serba bisa. Namun sayangnya penampilan keduanya tidak berlangsung lama. Mereka hanya membawakan rata-rata empat karya Rumi.

Sementara itu, Teater El Na'ma mementaskan Musyawarh Burung karya Fariduddin Attar, sahabat Rumi. Musyawarah Burung yang dikemas menjadi drama musikal ini bercerita tentang sekelompok burung yang mencari tuhannya. Mereka bersepakat untuk melakukan pencarian meskipun tantangan berat sudah menghadang. Namun apa yang sebenarnya mereka cari ternyata ada dalam diri masing-masing.

Jalaludin Rumi memang dikenal sebagai filsuf mumpuni. Ia juga seorang pengembara sejati, banyak kota dan penjuru yang sudah dijelajahinya. Dalam perjalanannya mengembara ini, ia pernah bertemu dengan seorang ulama sufi terkenal di Nishafur, Fariduddin Attar.

Dalam pertemuan ini, Attar memberikan hadiah pada Rumi, sebuah buku berjudul Asrarname. Selain itu, Attar juga mengatakan sesuatu yang kelak tak pernah dilupakan oleh Rumi. Attar saat itu meramal, bahwa suatu saat nanti Rumi akan menjadi terkenal. Benar saja, kini siapa yang tak mengenal Rumi.

Masa kecil Rumi, adalah masa pendidikan keras yang diterimanya. Ia tumbuh menjadi seorang lelaki yang kaku, sampai kemudian ia bertemu dengan seorang yang mengubah hidupnya. Syamsi Tabriz, seorang sufi yang dengan tenang pernah membuang buku-buku filsafat Rumi ke dalam sumur.

Sejak saat itu, makin erat hubungan murid dan guru itu. Begitu eratnya, murid dan pengikut Rumi sampai dibuat iri. Akhirnya beberapa orang merencanakan pembunuhan pada Tabriz, dan terjadilah tragedi itu. Sejak tragedi itu, Rumi seolah memutuskan diri dengan dunia. Perhatiannya hanya tercurah untuk beribadah kepada Allah dan menulis buku serta puisi yang tadinya tak pernah ia sukai.

Selain menulis puisi, Syamsi Tabriz, mendiang gurunya itu mengenalkan pula kepada Rumi tarian religi yang biasa disebut Sama'. Tarian ini biasanya dibawakan oleh para darwis, orang-orang yang mempelajari ajaran sufi.

Kebanyakan di antara darwis adalah laki-laki. Tarian ini melambangkan kebebasan manusia untuk bertemu Tuhannya. Para penari memakai baju putih dengan bagian bawah yang lebar, seperti rok panjang. Asesoris lain adalah turbus sewarna yang menjulang di atas kepala. [K-11]

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 24 September 2007

No comments: