-- Budi P. Hatees*
MENAFSIRKAN teks (sastra)? Tentu ini pekerjaan sangat serius. Tapi di tengah-tengah realitas kehidupan yang makin instan saat ini,kerja serius bukan lagi pilihan banyak orang.
Setiap orang ingin cepat-cepat mendapat hasil dari apa yang dilakukannya.Hasil yang sudah final, tak dapat diganggu gugat lagi. Bahkan, tidak sedikit orang yang ngotot bahwa tafsirnya sebagai “paling dekat dengan kebenaran yang diusung teks (sastra) bersangkutan”. Di negeri ini, globalisasi menampakkan wujudnya yang sangat akomodatif. Masa transisi pascakrisis moneter yang terlalu panjang dengan spirit perubahan yang terlalu lamban, menimbulkan ketaksabaran, keputusasaan,dan frustrasi bagi semua lapisan masyarakat.
Globalisasi datang dan membangkitkan spirit perubahan, sekalipun mengusung nilainilai yang tidak dikenal sebelumnya dalam pergaulan sosial masyarakat kita. Dengan globalisasi, masyarakat melaju begitu cepat dan dapat mencapai impian yang kadang terasa mustahil. Budaya instanakhirnya melekat dalam diri masyarakat kita, menjadi bagian keseharian yang tak terpisahkan. Segala sesuatu yang dikerjakan, hanya lebih berorientasi pada hasil yang cepat diperoleh.
Sementara filosofi dari pekerjaan itu, bukan lagi menjadi tujuan. Segala yang diperoleh akhirnya hanya terkait artifisial,bukan hal-hal substansial. Semua dinamika kehidupan kita tidak dapat mengabaikan spirit globalisasi itu.Memang,dalam banyak hal,spirit globalisasi akan melahirkan hal-hal positif.Namun,globalisasi juga menghasilkan kontradiksi-kontradiksi. Di satu sisi, terjadi detradisionalisasi dan berkembangnya kosmopolitanisme. Di sisi lain, menguatkan konservatisme dan memicu identitas baru yang memproduksi berbagai kemungkinan.
Namun,realitas menunjukkan setiap orang terseret untuk berlomba-lomba menjadi bagian dari globalisasi itu,tidak mau tertinggal zaman. Perlombaan ini justru membangkitkan spirit negativitas berupa sikap-sikap sinis, apatis bahkan fatalistik terhadap segala sesuatu yang berbau ideal. Dalam hal melakukan menafsirkan atas teks (sastra), kita menangkap gerombolan manusia dengan citraan-citraan instan tersebut.Tafsir teks (sastra) mereka pandang sebagai pekerjaan yang tidak berbeda dengan mengapresiasikan sebuah teks (sastra).
Tapi, hasil apresiasi atas teks (sastra) itu mendapat perlakuan dari apresiatornya sebagai hasil tafsir, sehingga si apresiator menganggap dirinya telah melakukan kerja berat dan melelahkan.Kelelahan yang mesti dibayar mahal di mana identitasnya menjadi melekat dalam hasil karya itu menjadi identik dengan dirinya. Situasi ini, mengutip Stuart Hall (dalam Kate Nash, 2000), mengakibatkan identitas apresiator menjadi lebih politis, terjadi penguatan identitas yang berlindung pada identitas ahli tafsir (kritikus).
Ragam klaim tentang kritikus yang tak ada kaitannya dengan fenomena teks dimunculkan hanya untuk memperkuat eksistensi teks hasil apresiasi tersebut. Hasilnya, apa yang kita temukan dalam tradisi kritik sastra di negeri ini,redup dengan sendirinya karena karya apresiasi dinobatkan sebagai karya kritik. Menafsir teks (sastra) membutuhkan pengetahuan yang beragam terkait halhal yang mungkin dan sangat mungkin dikandung sepotong teks (sastra). Kita tahu teks (sastra) tidak akan pernah lepas dari realitas yang membentuknya, yang berasal dari hal-hal yang terjadi di luar persoalan teks (sastra) maupun yang berlangsung di tubuh teks bersangkutan.
Dalam teks (sastra) dengan bahasa sebagai perangkatnya,segala jenis dunia diorganisasi, dikonstruksikan, sekaligus didekonstruksi.Ini menandakan bahwa teks (sastra) memiliki banyak pintu untuk dimasuki seorang penafsir. Tentu, mustahil seorang penafsir akan masuk sekaligus ke dalam tubuh teks (sastra) lewat semua pintu. Ibarat masuk sebuah gedung yang memiliki banyak pintu, sangat tak mungkin bagi siapa saja untuk masuk ke pintu lewat semua pintu saat yang bersamaan.Apabila dipaksakan,bisa dibayangkan akan seperti apa jadinya; orang bersangkutan tetap berada di luar gedung,tetapi pikirannya menjelajah ke dalam gedung. Tidak persentuhan-persetuhan indrawi dengan elemen-elemen yang ada di dalam gedung, sehingga sulit bagi orang tersebut untuk mendekati secara fisik. Analogi seperti itu mengharuskan seorang penafsirteks(sastra)mestimemilih satu pintu masuk.
Pilihan ini sangat tergantung pada ranah kognitif yang dimilikinya, juga minat yang ditekuninya.Penafsir yang menekuni bidang sosial, bisa masuk dari pintu serupa, sehingga keandalannya dapat bermanfaat guna mengenali, mengungkap, dan membeberkan elemen-elemen sosial yang dikandung oleh teks (sastra) bersangkutan. Begitu juga halnya dengan penafsir yang menekuni bidang politik,ekonomi, budaya,dan sebagainya.Setiap penafsir mesti mengkhususkan diri pada bidang yang sangat dikuasainya, sehingga teks (sastra) yang ditafsirkannya memiliki kekayaan makna.Teks (sastra) akhirnya akan mendapat perlakuan sebagai teks sastra.
Pengetahuan Ignas Kleden di bidang filsafat kebudayaan, dimanfaatkannya untuk menafsirkan teks-teks (sastra) para sastrawan kita. Tafsir yang dibuatnya atas teks-teks (sastra) Sutardji Calzoum Bachri yang terkumpul dalam antologi O Amuk Kapak,telah menempatkan seorang Sutardji Calzoum Bachri bukan saja sebagai penyair paling kuat di negeri ini, melainkan juga sebagai pemikir kebudayaan yang mampu memperkaya khazanah sastra Melayu (mantra). Dengan ragam pintu tersebut,berarti bahwa tak ada tafsir yang final terhadap teks (sastra).
Tak ada nilai konstan dalam menafsirkan teks (sastra) sebagaimana ada nilai konstan dalam dunia eksakta. Karena itu, tidak ada seorang penafsir pun yang dapat mengklaim bahwa tafsir yang dilakukannya paling sesuai dengan realitas yang diacu oleh teks (sastra) tersebut. Yang ada, justru merupakan keanekaragaman tafsir atas teks (sastra) yang membuat teks (sastra) tersebut menjadi begitu kaya. Sayang sekali, dalam rumah tangga sastra kita, kesadaran para intelektual akan banyak pintu dalam menafsir teks (sastra) tidak menghasilkan cara pandang yang beragam pula.
Yang justru terlihat dominan, para intelektual sangat setia pada perspektif biografis dalam menafsirkan teks (sastra).Mereka hanya membicarakan teks (sastra) yang ditulis sastrawan yang mereka kenal saja. Dengan begitu, mereka tidak akan mengalami kesulitan yang biasa dihadapi para penafsir teks. Masuk dalam teks (sastra) melalui biografi pengarangnya, bukan hal yang sulit dilakukan. Pendekatan dalam penafsiran teks (sastra) semacam ini sangat kuat dipengaruhi subjektivitas penafsir, sehingga pokok perhatian lebih banyak ditujukan kepada sosok pengarangnya.
Sementara teks (sastra) menjadi hal ke sekian, baru akan ditafsirkan secara serius bila biografi pengarang sudah habis dibahas. Mestinya, objek kajian tetaplah teks (sastra). Orientasi setiap penafsir adalah substansi yang dikandung teks (sastra) bersangkutan. Substansi yang ada dalam teks (sastra),yang mengkristal di dalam apa yang disebut metafora dan simbol, juga bisa diikuti jejaknya pada tipologi,mesti dibongkar dan diungkapkan seorang penafsir. Dengan begitu, sebuah teks (sastra) akan dengan mudah dipahami,bahkan oleh masyarakat yang selama ini kurang tertarik membaca hasil kreasi manusia ini. Pemahaman atas teks (sastra) seperti di atas akan membuat karya sastra berjalan di rel yang sesungguhnya. Kita tak membutuhkan kehadiran penafsir-penafsir teks (sastra) yang egois, yang memiliki pandangan picik bahwa tafsirnya paling mewakili substansi teks(sastra) yang ditafsirkannya. Kalau itu yang terjadi, teks-teks sastra kita tetap akan redup seperti saat ini.
* Budi P Hatees, Esais, Pengajar Penulisan Kreatif di FISIP Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai (USBRJ) Bandar Lampung
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 2 September 2007
No comments:
Post a Comment