Jakarta, Kompas - Khazanah buku sastra Indonesia diperkaya oleh penerbitan "novel" Sang Musafir karya Mohamad Sobary. Buku yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama itu merupakan buku ke-15 karya Sobary, di luar buku anak-anak.
Pada peluncuran buku tersebut di Jakarta, Jumat (21/9) petang, kritikus sastra Melani Budianta mengemukakan bahwa Sang Musafir sebenarnya merupakan genre baru yang tak bisa dikatakan sebagai novel fiksi, tetapi lebih sebagai otobiografi. Ilmuwan filsafat Karlina Supeli melihat Sang Musafir karya Mohamad Sobary lebih menjadi pertanggungjawaban pada takdir, semacam pelatihan rohani seperti cara hidup para sufi.
Cara pertanggungjawaban Sobary itu, menurut Karlina, dilakukan bukan dengan menjelaskan, melainkan dengan banyak bertanya. Setiap pertanyaan menimbulkan pertanyaan berikutnya. Pertanyaan ini antara lain ditemukan dalam Bab 14: "Carilah jejak Kuntul Melayang, Galih Kangkung dan Sarang Angin". Mencari yang mustahil untuk sampai pada yang tak mustahil.
"Saya cuma semata membaca seraya tertatih mengikuti langkah Sang Musafir. Apa yang ditulis Sobary bukan untuk dijelaskan, tetapi dirasakan," ujar Karlina pada acara yang dihadiri antara lain Gus Dur dan Bhante Pannyavaro dari Wihara Mendut.
Baik Karlina maupun Melani melihat Sang Musafir merupakan perjalanan panjang penulisnya untuk menuju ke tempat terdekat; ke dalam diri. "Seperti perjalanan Bima dalam kisah ’Dewa Ruci’, di mana Bima bertemu Dewa Ruci yang tak lain dirinya sendiri. Seperti konsep Jawa, manunggaling kawula Gusti," kata Melani Budianta.
Dalam buku setebal 265 halaman tersebut, Mohamad Sobary menggambarkan adanya garis hidup yang tidak terbaca mata hati manusia, tetapi berkuasa dan sangat menentukan. Itulah yang bagi dia menjadi kejutan-kejutan kecil, yang keindahannya tak mudah dimengerti. (MH)
Sumber: Kompas, Senin, 24 September 2007
No comments:
Post a Comment