SAAT menumpang kendaraan umum, pernahkan Anda mendapati sesosok pengamen puisi yang menjadikan bis ataupun kereta api sebagai panggung tempatnya beraksi? Di Jakarta, kehadiran sastrawan di jalanan sudah menjadi fenomena tersendiri. Mereka seolah muncul menemani kiprah musikus yang berpentas di jalanan.
Sebagai kota paling maju di Indonesia, Jakarta genit menggoda mereka yang haus akan materi. Banyak orang rela meninggalkan kampung halamannya dan berebut rupiah di Ibu Kota. Bekal keterampilan apapun sepertinya bisa saja membuat mereka mencari penghidupan. Setidaknya, itulah yang dirasakan Irfan Ardhiyanto, pemuda asal Yogyakarta.
Irfan mengaku menuruti kata hatinya untuk menjajal kehidupan di Jakarta. Langkah kaki lelaki yang lebih suka menyebut dirinya bersekolah di alam ini kemudian mempertemukannya dengan Komunitas Sastra Indonesia yang diprakarasi Wowok Hesti Prabowo. ''Di Jakarta, saya menemukan tempat untuk mengasah bakat sastra,'' ujarnya kepada Republika seusai mengikuti Workshop Sastrawan Jalanan yang selenggarakan oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Rabu (26/9) lalu.
Irfan juga sempat berguru pada aktivis Lingkar Pena, Gola Gong. Kemahirannya mengolah ide menjadi karya sastrapun bertambah. Irfan merasakan kepuasan saat bisa menulis dan membacakan puisi. ''Saya suka menggarap tema kontemplatif,'' ungkap lajang berusia 27 tahun penulis sajak Dialektika Kemiskinan.
Hasil karyanya sempat Irfan kirimkan ke berbagai media massa dengan harapan akan dimuat dan mendapat imbalan. Hanya saja, upayanya itu tak kunjung membuahkan hasil. ''Akhirnya, saya terjun ke jalan agar bisa menyalurkan puisi gubahan sendiri,'' kenang Irfan yang hijrah ke Jakarta tahun 2000.
Mencermati sesama sastrawan yang saban hari hilir mudik di jalur padat Ibu Kota, Deny Tri Wiranto mendapati tak banyak orang yang serius mempersiapkan penampilannya membawakan puisi atau monolog di dalam bus kota. Dari kisaran 100 orang yang menggeluti profesi ini, tak sampai 10 persen yang benar-benar mampu menulis dan memperdengarkan puisi dengan sungguh hati. ''Sebagian besar cuma beraksi untuk mendapatkan rupiah,'' ungkap sastrawan yang belakangan beroperasi di jalur bus dari Jakarta ke Bekasi Timur, Jawa Barat.
Di antara sastrawan keliling, tak ada wadah khusus yang membuat mereka dapat saling memperkaya wawasan. Menanggapi kondisi tersebut, Deny lantas mencoba menarik perhatian Komite Sastra DKJ. ''Lantas, terwujudlah workshop sastrawan jalanan.''
Naik pentas bus kota dilakukan Deny dengan kesadaran penuh. Baginya, ini merupakan keputusan matang. ''Sebelumnya, saya pernah mengajar sejarah Islam di salah satu sekolah swasta, mendongeng di Taman Kanak-kanak, menjadi konsultan kredit perbankan, dan berkarir di berbagai stasiun televisi swasta,'' urai pemegang diploma tiga di bidang penyiaran.
Deny memilih sastra religi untuk menghibur sekaligus mendakwahi penumpang bus kota. Pembacaan kisah-kisah sarat hikmah dari perjalanan hidup Rasulullah SAW beserta para sahabatnya membuat banyak penonton terkesan. ''Dari atas bus, saya mendapatkan order untuk melakukan hal serupa di acara pengajian, ulang tahun, maupun halalbihalal,'' kata ayah empat anak yang merasa penghasilan mengamennya lebih dari cukup.
Deny yakin masa depannya bukan berada di jalanan. Ia berharap kelak dapat menemukan kesempatan tampil di tempat yang lebih pantas. ''Sejalan dengan itu, saya mendukung Perda yang hendak menghapus keberadaan pekerja jalanan.''
Zen Hae selaku ketua Komite Sastra memantau keberadaan pengamen sastra mulai subur begitu reformasi bergulir. Sajak-sajak bernuansa protes banyak disuarakan mereka, seperti karya Joko Pinurbo.
Kendati yang melakoninya cukup banyak, kualitas penampilan sastrawan jalanan terbilang masih minim. Itu jika dilihat dari keterampilan mereka menulis dan membaca puisi. ''Selama ini, mereka memang belum terbina,'' ucap Zen.
Bagaimana seniman papan atas menilai keberadaan sastrawan jalanan? Adi Kurdi berpendapat penilaian amat bergantung pada individu yang beraksi. ''Saat berhadapan dengan penyair yang tampil sungguh-sungguh, saya rela merogoh kocek tanpa melihat jumlahnya. Saya pikir, orang lain juga begitu,'' komentarnya saat memberi materi di workshop sastrawan jalanan.
Ketika profesi sastrawan dimanipulir oleh preman jalanan, citra sastrawan keliling di mata masyarakatpun tercoreng. Itu pula yang mendesak Irfan untuk berhenti menjelajahi ruas jalan utama kota Jakarta. ''Saya trauma dengan tudingan penumpang bus sewaktu hendak berpuisi,'' cetusnya.
Irfan merasa status sosialnya terpojok oleh stigma tersebut. Ia lantas memutar kemudinya dan beralih profesi. '' Kini, saya lebih suka menjadi pedagang asongan, Hobi menulis puisi tetap berjalan. Cuma tak lagi naik pentas,'' tandas warga Matraman, Jakarta Timur, itu. (reiny dwinanda)
Sumber: Republika, Minggu, 30 September 2007
No comments:
Post a Comment