Wednesday, September 26, 2007

Horison: Menyoal Selera Seni

SENI pop dengan segala kehebohan aksi panggungnya belakangan ini makin tampak mendapat tempat di hati masyarakat. Kenyataan itu telah mengiris hati sebagian pekerja dan pemerhati seni.

Menurut Edi Sedyawati, apresiasi seni masyarakat kebanyakan masih kurang memadai. Apalagi, yang diminati sekadar seni dengan mutu menengah-bawah. ''Jika itu dibiarkan, selera seni masyarakat tak akan naik kelas,'' kata anggota Akademi Jakarta (AJ) itu di sela-sela Seminar Pendidikan Apresiasi Seni, di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Senin (10/9) lalu.

Seni yang rendah --seperti yang ditampilkan dalam bentuk sinetron--diyakini Edi berpengaruh pada kehidupan keseharian masyarakat. Kebiasaan masyarakat, semisal etika berbicara kepada orang tua, akan terpengaruh. ''Perlu diingat, cara masyarakat menghargai seni juga menunjukkan kewibawaan suatu bangsa,'' kata mantan Dirjen Kebudayaan itu.

Di mata Edi, sebetulnya tidak ada yang salah dengan seni populer. Yang dibutuhkan cuma adanya penyeimbang. ''Keberadaannya perlu diimbangi dengan seni bermutu tinggi,'' ujar salah seorang pemrakarsa Konser Karawitan Muda Indonesia itu.

Penyeimbang tersebut, lanjut Edi, mesti dihadirkan bukan tanpa sebab. Terlebih, menilik kebutuhan seni seseorang tidak hanya yang bersifat hiburan semata. ''Kesenian yang meresap di hati, yang membuat orang berpikir, juga dibutuhkan,'' katanya

Persoalannya, seni bermutu tinggi seperti yang diharapkaan Edi, kerap kurang membumi. Seni tradisional klasik sering kali dianggap terlalu berat untuk dinikmati. ''Itu karena masyarakat tidak dikenalkan betapa mempesonanya kesenian asli Indonesia,'' kata Edi.

Menurut Edi, perlu ada pembiasaan sebelum akhirnya masyarakat bisa menikmati kesenian tradisional bangsanya. ''Apa yang dilakukan orang Jawa terhadap pertunjukkan wayang bisa dicontoh. Dikenalkan terus-menerus, orang Jawa tak pernah membiarkan pertunjukkan wayang berlangsung sepi,'' katanya.

Salah seorang pembicara seminar, Retno Maruti, mengaku termasuk orang yang jatuh cinta pada kesenian tradisional. Kecintaannya timbul karena faktor lingkungan. ''Di Baluwarti Solo, saya tumbuh dan berinteraksi dengan ahli seni,'' katanya dalam seminar yang diadakan atas kerja sama antara AJ dan UNJ itu.

Maestro tari Jawa klasik itu menjadi saksi hidup betapa kesenian dapat menjadi jalan bagi para orang tua untuk mendidik anak-anaknya. Dengan melihat, mengalami, dan merasakan, tanpa disadari nilai-nilai yang terkandung di dalam karya seni akan meresap di sanubari anak. ''Iapun mendapatkan pengalaman batin yang kelak berpengaruh pada karakternya di masa mendatang,'' urai Retno yang memimpin kelompok tari Padnecwara.

Pembicara lain, Endo Suanda, mengemukakan strategi dalam menghadapi masyarkat yang terlanjur lebih menyukai seni populer. Ia menyasar pada perubahan paradigma di kalangan pelajar. ''Saat peminat seni tradisional minim, pendidikan harus masuk hingga selera seni masyarakat tidak timpang atau dikuasai pasar,'' kata pakar dari Lembaga Pendidikan Seni Nusantara (LPSN) itu.

Endo memusatkan perhatiannya pada persoalan bahan dan metodologi pembelajaran seni. Bersama LPSN, ia memakai pendekatan tematik sebagai alternatif pendekatan kategori disiplin seni musik, tari, teater, dan seni rupa. ''Pendekatan pembelajaran seni di sekolah diubah menjadi lebih kontekstual, mendekatkan anak pada kehidupan sebenarnya,'' ujarnya.

Kesenian lokal lantas dijadikan subyek pelajaran. Fenomena kesenian yang hidup di masyarkatlah yang disajikan ke ruang kelas. ''Kalau perlu, bawa anak didik ke desa-desa untuk melihat langsung pertunjukkan seni,'' papar mantan ketua Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia itu.

Upaya tersebut dilakoni LPSN bukan untuk membuat tiap siswa menjadi seniman. Yang benar-benar berminat saja yang bakal tampil berprofesi sebagai seniman. ''Sisanya cukup menjadi penonton yang baik. Sebab, kesenian perlu penonton,'' imbuh Endo.

Gagasan serupa diusung pembicara berikutnya, Setiawan Sabana. Ia lantas mengemukakan pentingnya kerja sama. ''Sebab, tanpa adanya kerja sama, perubahan paradigma yang digulirkan cuma akan menjadi slogan semata,'' kata ketua Pusat Penelitian Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung itu.

Dalam hal ini, menurutnya, ada tiga komponen yang mesti bergandengan tangan. Sekolah, keluarga dan lingkungan hunian, serta media massa, perlu saling memberi dukungan terhadap dunia kesenian tradisional. ''Tanpa kerja sama, sulit membendung gempuran budaya pop yang berasal dari luar negeri,'' Edi menandaskan. reiny dwinanda

Sumber: Republika, Minggu, 23 September 2007

No comments: