-- Mudji Sutrisno SJ
MENARIK untuk mencatat tekad Universitas Indonesia dan perguruan tinggi kita untuk menjadi universitas "locus accademici" atau pusat-pusat penelitian atau kajian ilmiah berkualitas.
Sayangnya, wacana itu lebih sibuk dengan urusan dana yang tersedia dan bukan sikap mental peneliti atau pemahaman aktual apa itu pusat-pusat kajian yang kini ada di universitas-universitas Eropa-kontinental maupun anglofonik (berbahasa Inggris, Amerika Serikat, Australia, dll).
Tulisan ini mau menyajikan ragam kajian yang selama satu dekade terakhir dibuat demi kontektualisasi nilai penelitian, dari teori ke praksis lapangan, lalu dirumuskan lagi untuk menjadi kebijakan (policy). Namun, tulisan ini mau melepaskan diri dari jebakan teknis, dan lebih memberikan asumsi-asumsi ideologis tentang bagaimana sebuah pengkajian didirikan.
Asumsi pertama, sebuah studi dalam kajian ilmu budaya—di mana nilai, pandangan hidup, pandangan dunia serta konstruksi budaya berbentuk simbol dan tafsir makna/teks—mengandaikan posisi kesadaran subyek sebagai penentu dalam penciptaan struktur atau perajutan makna. Ini mengandung konsekuensi untuk berhadapan langsung dengan pertanyaan kritis: siapa penentu perubahan masyarakat? Subyek atau struktur? Manusia dikonstruksi oleh struktur atau ia mengonstruksinya?
Jelas bahwa asumsi yang dipegang hanya satu: manusia dengan kesadaran dirinya adalah sebagai pencipta struktur dan penentu maknanya. Maka, dari itu kajian-kajian yang dipraktikkan difokuskan pada perubahan struktural maupun kultural. Manusia selalu ditempatkan sebagai subyek yang menentukan.
Asumsi kedua, persoalan-persoalan manusia sebagai "hasil" konstruksi sejarah, atau struktur dan kultur, sementara ditaruh di pinggir fokus kajian. Dengan kata lain, fokus kajian dipusatkan pada peran kesadaran diri manusia atau subyektivitasnya untuk mengubah masyarakat. Inilah pendekatan mentalitas atau pendekatan kesadaran.
Dalam pigura asumsi-asumsi di atas, pertanyaan-pertanyaan kunci dalam kajian adalah mengapa manusia—dalam konstruksi budaya—tertentu tidak merdeka menentukan dirinya? Apa saja yang ada dalam relasi manusia dan jaringan kekuasaan yang tangible, jelas-jelas bisa dikaji dalam relasi kuasa atasan- bawahan, tuan-budak. Atau yang lebih tak kasat mata (intangible) seperti menentukan makna, the signifying process: mengapa ia mengalami dominasi dan subordinasi dalam penciptaan makna oleh kekuasaan orang lain.
Satu keadaan yang disebut Antonio Gramsci dalam Selections from Political Writings 1921-1926 (1978), sebagai "hegemoni makna", yakni proses pemaknaan yang didominasi dan melalui penguasaan kesadaran para "bawahan" oleh penguasa, menjadi tafsir (makna) tunggal yang tak boleh diganggu-gugat "keabsahan" dan "kebenaran" artinya. Di sinilah makna pentingnya kajian pasca-kolonial.
Kajian pasca-kolonial
Studi-studi pasca-kolonial secara "luas" punya pengandaian, kondisi yang ada sekarang ini berkaitan langsung dalam sejarah mentalitas, kultural maupun struktural politik-ekonomi-sosial kolonial di masa lalu sebuah bangsa atau negara. Disebut "lingkup luas" karena memakai penafsiran atau ilmu tafsir teks (hermeneutika), yang membaca teks kolonialisme saat sebuah bangsa berada dalam genggaman kolonialisme, baik secara ekonomis, politis sosial maupun yang lebih intangible: dijajah pola pikir, mentalitas dan ekspresi bahasanya.
Kata kunci di sini adalah kolonialisme. Berasal dari kata koloni (colonia), yang secara harfiah berarti daerah pertanian atau permukiman. Kolonialis di sini diartikan sebagai penaklukan dan penguasaan tanah penduduk asli oleh pendatang. Inilah makna klasik kolonialisme.
Adapun kolonialisme modern dicirikan oleh dua watak. Pertama, daerah koloni tidak hanya membayar upeti (konsep lama kolonialisme), tetapi sistem sosio-kulturalnya dikonstruksi sedemikian rupa untuk dikuasai dan demi kepentingan dan keuntungan negara induk. Tak hanya yang tangible, tetapi juga intangible.
Watak kedua adalah daerah koloni yang dijadikan pasar, dipaksa mengonsumsi produk- produk negara induk. Dalam kolonialisme modern, kemampuan manusia, sumber alam daerah koloni dialirkan dalam konstruksi sistem ekonomi, yang keuntungannya selalu kembali ke negara induk.
Lalu, apa yang harus diteliti dalam kajian pasca-kolonial? Pertama adalah masalah konstruksi ideologi: sistem hierarki "kuasa" macam apa yang terjadi di masa pra-kolonial, yang kemudian berinteraksi dengan pihak kolonial. Misalnya, "pangreh praja" atau "ambtenaar" sebagai teks budaya yang diambil pemerintah kolonial di Jawa (selama abad XVII-XVIII), saat pemerintahan Hindia Belanda menjadi kepanjangan tangan Belanda untuk penguasaan.
Kemudian, model-model hegemoni epistême (pengetahuan), misalnya pendidikan yang hanya setinggi mantri kesehatan dan tingkat juru tulis pembukuan ekonomi tanpa bisa meningkat ke sekolah dokter (dan baru awal abad XX oleh politik etis kolonial didirikan STOVIA).
Menjadi obyek kajian menarik, misalnya, penciptaan citra Jawa sebagai "Mooi Indie" atau Bali sebagai Pulau Dewata, dalam strategi budaya yang dengan sadar menutupi realitas keras di baliknya. Konflik, ketimpangan, kekerasan perebutan status kuasa dan diredamnya dendam di balik topeng budaya, gebyar atau festival. Melalui studi "from within", kajian tersebut dapat ditimbang dan diimplementasikan dalam kebijakan masa kini.
Kajian penting yang kedua adalah "studi subaltern". Dirintis dan ditampilkan ke publik oleh Gayatri C Spivak, terutama dalam tulisannya berjudul "Apakah kaum ’subaltern’ bisa bicara"? (dalam Williams dan Chrisman, ed, Colonial Discourse and Postcolonial Theory, 1993). Makna "subaltern" yang dimaksud oleh Spivak adalah mereka yang bukan elite dan kaum yang tidak bisa bicara karena tidak diberinya bahkan konstruksi "subyek" dalam wacana kolonialisme.
Kajian ini penting untuk melihat peran/posisi "subaltern " dalam penulisan sejarahnya sendiri, khususnya dalam soal kemerdekaan bicara. Serta historiografi yang menyubyekkan mereka sebagai penulis, pembuat sejarahnya sendiri, bukan sejarah kolonial yang sarat dengan ideologi yang membenarkan penaklukan dan kepentingan elite kolonial penguasa.
Konstruksi-konstruksi mana saja dan relasi-relasi kuasa apa saja yang membuat bisu dan diam kaum "subaltern "? Dapatkah "pemerdekaan " kultural dan struktural terjadi melalui prosedur konsientisasi untuk mengucapkan diri?
Yang ketiga adalah kajian "multikulturalisme" sebagai kebijakan atau strategi budaya, yang dibahasakan pula dalam politik kebudayaan untuk mengakui fakta di hampir semua negara adanya kebhinekaan tradisi. Sebuah "life wisdom " yang beragam mulai dari identitas etnik, identitas agama, sampai identitas politis warga negara.
Multikulturalisme punya wajah politik, baik dalam struktur maupun kebijakannya, di mana warga negara dapat hidup bersama, saling menghormati keragaman identitas awal sampai terbentuknya sebuah "bangsa" yang menyatukan keragaman (kebhinekaan) dalam konsensus kenegaraan yang "ika ".
Multikulturalisme juga berwajah kultural, sebagai sikap mental yang dapat menghormati keragaman "sejarah-sejarah lokal" di bawah payung hukum nasional (state law) yang harus ditaati agar hidup bersama dalam keragaman dan kedamaian.
Jika di Kanada Will Kylimicka memberi konteks multikultur dalam politik vernakuler tentang perbedaan bahasa dan etnik hidup dalam satu negara hukum. Di Indonesia, hal serupa terjadi dengan "bhineka tunggal ika"-nya, menghidupi selalu multikulturalisme, (meski) kerap jatuh bangun.
Maka, tiga kajian penting di atas akan memberikan kontribusi penting dalam kehidupan kita bernegara, apalagi bila disinergikan, dalam kerja yang interdisipliner, dengan ilmu-ilmu humaniora lain, seperti ilmu sosial, politik, dan lainnya. Dengan tetap menaruh manusia sebagai subyek penting, yang bila diasumsikan memiliki budi, jernih, logis, dan bernurani bening, dapat diyakini mampu membuat struktur dan kultur yang lebih manusiawi.
* Muji Sutrisno, Pengamat Budaya dan Pengajar di STF Drijarkara Jakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 22 September 2007
No comments:
Post a Comment