Saturday, September 29, 2007

Kelokalan Bisa Jadi Kekuatan, Kultur Lokal untuk Sastra Dunia

Ubud, Kompas - Kultur lokal dapat jadi sumber inspirasi dalam penulisan sastra yang tak habis-habisnya digali. Dengan mengingat dan menggali kultur lokal, para penulis diharapkan bisa bersaing di dunia internasional.

Isu etnisitas sebagai sumber inspirasi dalam proses kreatif ini mengemuka pada salah satu sesi perbincangan Ubud Writers and Readers Festival, Jumat (28/9). Meskipun ada kemungkinan muncul hambatan budaya pada pembaca, hal itu tak perlu terlalu dikhawatirkan sepanjang konteks dan logika dihadirkan dalam karya-karya tersebut.

Marhalim Zaini, penulis dari Riau yang kerap menulis dengan latar belakang budaya Melayu, mengaku bahwa dengan latar belakangnya sebagai seorang Melayu justru menambah energinya dalam menulis. "Kata Melayu seakan menjadi kutukan karena kerap kali diidentikkan dengan kemalasan. Tetapi, ketika saya terus menggali tentang budaya Melayu, semua itu menjadi energi dan inspirasi buat saya," ujarnya.

Catherine Lim, penulis kelahiran Malaysia yang kini bermukim di Singapura, berpandangan bahwa sebetulnya Asia dengan kekhasannya sudah sejak lama mewarnai dunia sastra internasional. Dia sendiri berpendapat, dalam menulis sebaiknya menulis sesuatu yang dekat dan diketahui dengan baik.

"Budaya dan lingkungan si penulis merupakan sumber inspirasi. Tidak perlu terlalu khawatir apakah masyarakat akan paham sepenuhnya dengan istilah, jargon atau materi yang dianggap sangat lokal. Sepanjang konteks dan logika dihadirkan, pemahaman dapat dicapai. Pembaca dapat merasakan nuansa dan emosinya. Itu yang terpenting," ujar pemegang gelar PhD di bidang linguistik tersebut.

Hal senada diungkapkan Cok Sawitri, penulis dari Bali. Kecenderungan keseragaman itu terlihat terutama karena adanya pandangan bahwa untuk dapat eksis di dunia sastra melalui sedikit jalur dan biasanya terpusat di kota-kota besar, terutama Jakarta, melalui berbagai kelompok-kelompoknya. Padahal, di daerah-daerah terdapat penulis-penulis yang baik dengan karya- karyanya, tetapi miskin akses. Ibarat badan tanpa kaki.

"Kalau sebagian besar penulis hanya berkutat di tema-tema urban akan sulit bersaing dan memberikan warna atau sumbangsih pada sastra dunia," ujarnya.

Isbedy Stiawan ZS, penulis yang dibesarkan di Lampung dan turut menjadi peserta festival, justru menyayangkan kecenderungan sebagian penulis yang selama ini menggarap tema-tema lokal hanya sebatas mengambil simbol-simbol budaya saja. "Tak heran bila kemudian kerap menimbulkan permasalahan, terutama dengan komunitas pemilik kebudayaan," ujarnya. (INE)

Sumber: Kompas, Sabtu, 29 September 2007

No comments: