//Bu Angku, masihkah kau huni ebe-ae yang dulu/masihkah kau urusi wamdabu/amanat adat atas keperempuananmu/untuk memenuhi kewajiban upacara/atawa membayar mahar/manakala suami kawin lagi/masihkah?//Itulah yang menyebabkanku luka/mengiringi jabatan tanganku/kala pamitan meninggalkan Kurulu/meninggalkan mu yang melengos tersipu//Belakangan—di penghujung abad ini/lagi-lagi tersiar kabar kalian tertangkar musibah lapar/ya ampun, lapar!/...//
Penggalan puisi di atas bukan karya penyair kenamaan, melainkan terlahir dari tangan seorang antropolog: Muhammad Junus Melalatoa (alm). Ia merupakan semacam potongan penghayatan almarhum ketika mengunjungi suku Dani di Papua. Ini kisah tentang pergulatan perempuan suku Dani yang harus menanggung beban perasaan sekaligus mahar bagi suaminya yang akan menikah lagi, kisah tentang kelaparan, dan pergumulan mengolah lahan.
Itu hanya beberapa bait dari kumpulan karya almarhum, yang terangkum dalam buku berjudul Puisi Etnografi: Luka Sebuah Negeri (Yayasan Obor, 2007), yang diluncurkan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (FISIP-UI), Rabu (5/9). Ada pula catatan entnografinya dalam bentuk puisi, seperti "Riak Mahakam", "Kenyah Long Merah", "Padangpanjang", dan "Luluku Sumba-ku".
Tidak perlu dipertentangkan apakah buku itu sebuah karya sastra atau etnografi. Yang terpenting ialah penghayatan, potret, percikan perasaan dan pengalaman yang dibagikan sang antropolog ketika bersilaturahmi dengan warga berbagai suku dan komunitas di Nusantara.
Dalam melaksanakan tugas meneliti dan bersentuhan langsung dengan berbagai komunitas, antropolog punya beragam pengalaman dan penghayatan yang tidak seluruhnya dapat dituangkan ke dalam penulisan ilmiah. Berbagai hasil penelitian tentulah disajikan dengan menggunakan metode ilmiah. Tetapi, dalam konteks lain, ia pun bisa tampil ’lebih lembut’ dalam bentuk puisi, seperti yang dituangkan antropolog etnografi M Junus Melalatoa ini.
Selama hampir 47 tahun mengabdikan dirinya di lingkungan UI dan diangkat sebagai guru besar bidang antropologi di sana, lelaki kelahiran Takengon, 26 Juli 1932, ini juga telah menulis sejumlah buku. Salah satunya cukup fenomenal dan tergolong langka: Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (1995). Dan, pada 13 Juni 2006, ia berpulang.
Menurut penyair Eka Budianta, jika orang kebanyakan berbicara tentang Tanah Air berhenti pada deskripsi soal keindahan alam, M Junus lebih maju lagi. Almarhum juga melihat pada manusia-manusianya dengan potret dan pergumulan hidup mereka.
Antropolog Ninuk Kleden Probonegoro juga merasakan kesan mendalam atas puisi-puisi M Junus. "Puisi-puisinya membawa imajinasi saya berkelana. Batasan antara sastra dan bukan sastra pun melebur," ujarnya.
Hal senada diungkapkan penyair Sapardi Djoko Damono. Melalui puisi-puisi tersebut, dapat dirasakan perhatian M Junus terhadap kaum yang berbeda. Penghayatan terhadap sesuatu yang dilihat dan didengarnya tersebut belum tentu dapat terekspresikan dalam berbagai laporan ilmiahnya.
Melalui buku ini diharapkan pembaca dapat merasakan dan menghayati keberagaman hidup di Nusantara. Enam puluh dua tahun Indonesia merdeka, berbagai masalah pun kerap mengikuti program-program pembangunan di negeri ini. (INE/KSP)
Sumber: Kompas, Jumat, 7 September 2007
No comments:
Post a Comment