-- Mulyawan Karim
Suatu akhir pekan, 1986. Ong Hok Ham mengundang makan malam di rumahnya di Cipinang Muara, Jakarta Timur. Sabtu malam itu juga hadir Wahyono, arkeolog yang bekerja di Museum Nasional, dan Hadi Purnomo, pembuat film dokumenter.
Ong yang gemar memasak menyiapkan sendiri hidangan nasi ayam hainan yang disajikan. Setelah kenyang, kami lantas mengobrol ngalor-ngidul sampai menjelang tengah malam, sambil menghabiskan sebotol anggur merah Bordeaux.
Pesta dan makan enak adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan dari Pak Ong, begitu sapaan akrab bagi laki-laki tambun, berkepala gundul-licin, dan berkacamata tebal itu. Ia senang mengundang sahabat-sahabatnya untuk sekalian membanggakan rumah gaya etniknya yang asri, hasil rancangan arsitek kondang Adi Mursid.
"Saya ini pencinta hidup. Ibu saya yang mengajarkan untuk menikmati hidup dan makan enak," kata Pak Ong setengah bercanda di teras rumahnya, malam itu.
Karena alasan sama, Pak Ong pun dikenal rajin bersosialisasi. Ia sering menghadiri undangan resepsi dan pesta yang diselenggarakan warga kelas atas Jakarta, termasuk para duta besar negara sahabat.
Kini, tak bakal ada lagi undangan makan malam dari Pak Ong. Doktor sejarah lulusan Yale University, Amerika Serikat, itu wafat Kamis lalu, pukul 18.10 WIB, pada usia 74 tahun, sejak setelah terserang stroke pada 2001 saat hadir di sebuah seminar di Yogyakarta. Sejak itu, Pak Ong yang kelahiran Surabaya, 1 Mei 1933, nyaris tak pernah lepas dari kursi rodanya.
Di kursi rodanya pula Pak Ong mengakhiri hidup. "Sore itu Bapak sebetulnya kelihatan sehat. Sekitar pukul 17.30, ia makan malam sendiri," kata Andre (21), pembantunya. "Akan tetapi, waktu saya mendatanginya lagi pada sekitar pukul 18.00, Bapak sudah tidak bergerak," katanya lagi. Cerita sama diceritakan Bambang (35), pemuda lain yang juga tinggal bersama Pak Ong.
Pak Ong yang hidup membujang lalu dilarikan ke RS Mitra Internasional, Kampung Melayu, Jakarta Timur, tempat ia dinyatakan resmi meninggal dunia pada pukul 18.10 WIB. Seorang sahabat lain lalu membawa jenazahnya ke RS Dharmais, Jalan S Parman, Jakarta Barat.
Kabar wafatnya sejarawan yang dikenal produktif menulis buku dan artikel di surat kabar, termasuk Kompas, itu langsung menyebar. Salah satunya, pesan singkat yang berasal dari Mona Lohanda, doktor sejarah yang mantan mahasiswa Pak Ong di Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
"Kami berduka atas wafatnya beliau," kata Susanto Zuhdi, mantan murid Pak Ong yang kini sudah bergelar profesor doktor. Susanto menyayangkan, sebagai pegawai negeri Pak Ong cuma mencapai pangkat III B atau III C yang sudah harus pensiun pada usia 55 tahun pada 1988 dengan uang pensiun tak lebih dari Rp 1,5 juta. "Padahal, ia seharusnya bisa mencapai pangkat lebih tinggi, jadi guru besar, dan baru pensiun pada usia 65."
Laksmi Himawanti yang pernah berguru kepada Pak Ong pada 1980-an juga ikut sedih. "Pak Ong itu dosen yang hebat, tapi kocak. Kami dulu suka menyebutnya Ongtje," kenang Laksmi yang kini pegawai kantoran.
"Pak Ong itu sejarawan yang unik. Tidak ada duanya. Pemahamannya tentang sejarah sosial sangat luas. Beliau juga piawai membandingkan sejarah Indonesia dengan sejarah bangsa-bangsa lain, seperti Vietnam dan Eropa," papar Khairul, juga mantan mahasiswa Pak Ong.
Kepada mantan mahasiswanya yang lain lagi, Herwin Sumarda, Pak Ong pernah berpesan, jika ia meninggal, jenazahnya agar diurus secara orang China. "Dia minta dikremasi dan abu jenazahnya dibagi tiga. Sebagian ditabur di laut, sebagian lagi disimpan di rumah abu, dan sisanya disimpan di bio atau kelenteng," kata Herwin (49) yang kini jadi pengusaha.
Menurut Hudiana (55), salah seorang keponakannya, rencananya jenazah Pak Ong akan dikremasikan di tempat kremasi Oasis di Tangerang, Senin depan, pukul 09.00 WIB. Ia menambahkan, pihak keluarga belum membicarakan soal nasib rumah, koleksi buku, dan harta peninggalan lain Pak Ong.
Perjalanan panjang Sang Pencinta Kehidupan berakhir sudah. Selamat jalan Pak Ong....
Sumber: Kompas, Sabtu, 1 September 2007
No comments:
Post a Comment