Tuesday, September 11, 2007

Pendidikan Seni: Kerancuan Akibatkan Kreativitas Anak Rendah

DALAM proses belajar, ada suatu masa yang diperlukan untuk mendalami dan mengembangkan sesuatu secara baik dan benar. Akibat kedua hal ini, kreativitas anak menjadi rendah, dan minat anak terhadap kesenian cenderung tidak ada.

Sebanyak 10.000 mahasiswa baru dan civitas academica Universitas Padjadjaran, Bandung, memainkan angklung bersama di kampus universitas itu sehingga tercatat dalam Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai permainan angklung dengan personel terbanyak di dunia, Senin (27/8). Kegiatan ini juga sebagai upaya agar angklung diakui Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Kebudayaan PBB (UNESCO) sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia. (SP/Adi Marsiela)

[JAKARTA] Kerancuan pendidikan seni merupakan kelemahan mendasar pendidikan seni di Indonesia. Untuk pendidikan formal dasar dan menengah, kesenian sangat penting untuk melatih kepekaan. Kerancuan pendidikan seni dengan keterampilan menyebabkan kreativitas anak rendah.

Hal itu terungkap dalam Seminar Pendidikan Apresiasi Seni di Kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Senin (10/9). Seminar yang diadakan oleh Akademi Jakarta dan Fakultas Bahasa dan Seni itu mengungkap beberapa permasalahan pengembangan seni yang dihadapi dunia pendidikan, non-pendidikan, maupun dari sisi informal.

Menurut Dosen Universitas Indonesia (UI), Prof Dr Edi Sedyawati, seorang anak tidak akan memiliki kepekaan dengan sendirinya terhadap seni. Kepekaan terhadap seni harus dimulai melalui proses pembelajaran, dan hal tersebut memerlukan waktu yang tidak sedikit.

"Pembelajaran di dunia pendidikan juga selalu mendahului apresiasi yang sebenarnya dimiliki anak. Pembelajaran yang rancu dalam dunia pendidikan formal mengakibatkan ketidakpahaman anak mengenai seni," ujarnya.

Sebagai contoh di tingkat sekolah dasar (SD), kata Edi, terjadi kerancuan antara kesenian dan keterampilan. Mata pelajaran seni dan keterampilan digabung menjadi satu sehingga kesenian dan keterampilan dilakukan secara bergantian setiap minggu.

Padahal, kesenian sangat berbeda jauh dengan apa yang disebut sebagai keterampilan. Kesenian berarti ada suatu kepekaan terhadap apa yang didengar, dilihat, dan dipraktikkan secara nyata. Contoh kesenian adalah karawitan, seni lukis, musik klasik, sedangkan keterampilan adalah suatu bentuk kerajinan tangan.

"Jika setiap minggu hanya ada dua jam pelajaran kesenian dan keterampilan yang dilakukan secara bergantian, maka anak tidak dapat bisa memfokuskan dirinya terhadap seni. Contohnya jika minggu pertama dilakukan pelajaran kesenian memainkan seruling, dan dilanjutkan pelajaran menjahit pada minggu selanjutnya. Hal ini dapat membuat kerancuan sang anak memahami seni dalam arti yang sesungguhnya," tutur Edi.

Selain itu, kerancuan mata pelajaran tersebut, keterbatasan waktu anak dalam belajar seni juga menjadi hambatan besar. Kesempatan anak untuk mempelajari seni menjadi terbatas dalam lingkungan belajar formal seperti sekolah. Hal ini terlihat melalui terbatasnya waktu belajar sang anak. Dua jam pelajaran setiap minggunya tidak bisa membuat anak dapat mengembangkan jiwa seninya secara optimal.

Menurut Edi yang sudah mengajar sejak tahun 1963 ini, dalam mempelajari seni, waktu adalah unsur terpenting. Dalam proses belajar, ada suatu masa yang diperlukan untuk mendalami dan mengembangkan sesuatu secara baik dan benar. Akibat kedua hal ini, kreativitas anak menjadi rendah, dan minat anak terhadap kesenian cenderung tidak ada.

Di sisi lain, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni UNJ, Prof Dr Ilza Mayuni MA, kelemahan pendidikan seni adalah ketiadaan sarana untuk mengembangkan kreativitas seni anak, juga membuat apresiasi anak terhadap seni semakin berkurang. Bahkan sangat mungkin akan menghilang. Padahal sarana merupakan penunjang dalam mengembangkan kegiatan seni anak.

Keterbatasan sarana inilah yang sering menjadikan mata pelajaran kesenian dan keterampilan menjadi satu mata pelajaran. Jumlah yang harusnya ada di dalam satu kelas kesenian juga sangat tidak optimal jika terdapat 40 siswa dalam satu kelas.

Lain lagi dengan dunia belajar tingkat pendidikan menengah seperti SMP dan SMA. Pada tingkat SMP maupun SMA, pengolahan apresiasi seni terjadi melalui kegiatan ekstra kulikuler semata.

"Dari sini kita dapat melihat terjadi pengurangan perhatian terhadap seni secara mendalam, alokasi waktu secara lebih leluasa untuk mengembangkan kreativitas seni. Pembinaan mendalam yang berkurang ini benar-benar tidak membantu anak untuk melangkah ke dunia pendidikan tinggi terutama yang mengambil pengkhususan masalah seni sebagai bidang jurusan," kata Ilza.

Melalui seminar ini juga, peran orangtua dinilai penting bagi perkembangan apresiasi anak terhadap seni. Di luar lingkungan pendidikan formal seperti sekolah, orangtua dituntut untuk dapat mempersiapkan anak mereka dengan memperkenalkan mutu terbaik dan buruk. Tetapi terkadang, kemiskinan, dan ketidakmampuan orang tua menjadi hambatan bagi sang anak dalam berkembang terutama dalam dunia seni.

Sehubungan hal itu, kata Edi, media massa harus mengambil peranan tersebut secara positif dengan memberikan tayangan-tayangan yang bersifat edukatif, dapat menghargai seni. Dengan memberikan tayangan tersebut maka, media sudah mengambil sebagian peran orang tua di rumah.

Acara seminar tersebut membahas mengenai pendidikan apresiasi seni di Sekolah Umum, dan kejuruan Non Seni, Sasaran Pendidikan Formal Kesenian, Penyiaran Apresiasi Seni di Media Massa, Pendidikan Apresiasi Seni dalam Keluarga dan Lingkungan Hunian. [MAR/U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 11 September 2007

No comments: