Jakarta, Kompas - Pembangunan kerap mengesampingkan manusia dan budayanya. Akibatnya, tak jarang pembangunan mengalami kegagalan, tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan, atau bahkan berpotensi menimbulkan masalah baru.
Pandangan ini disampaikan Achmad Fedyani Saifuddin, antropolog dari Universitas Indonesia (UI), terkait peringatan 50 tahun kajian antropologi di UI, Jumat (7/9), yang merupakan cikal bakal terbentuknya kajian antropologi di negeri ini.
"Pembangunan kerap kali didominasi oleh aspek ekonomi dan teknologi. Kedua aspek itu tentu perlu, tetapi sayangnya aspek manusia dan budayanya kerap dilupakan. Tidak mengherankan jika kemudian kajian antropologi yang berbicara tentang manusia dan budayanya juga menjadi terpinggirkan," ujarnya.
Padahal, kata Fedyani, seharusnya manusia itu yang menjadi subyek dari pembangunan lantaran pembangunan itu sendiri hakikatnya untuk kesejahteraan manusia. Sementara di sisi lain, ada kecenderungan pembangunan bersifat sentralistis, seragam, dan berorientasi ekonomi.
Ketika pemerintah ingin memajukan masyarakat Papua, misalnya, yang dilakukan kemudian memberikan pakaian seperti yang dipakai warga perkotaan. Dengan kondisi alam dan ketidakbiasaan mereka, yang muncul kemudian ialah serangan penyakit kulit. Begitu juga dengan pembangunan rumah sehat yang seragam diterapkan tanpa mendalami budaya masyarakat setempat akhirnya berujung pada penolakan.
Lebih memprihatinkan lagi, makna dari kebudayaan kerap direduksi menjadi kesenian dan adat istiadat dengan berbagai benda tradisionalnya. Padahal, dari kebudayaan—khususnya dalam antropologi—lebih luas lagi, yakni menyangkut juga cara pikir, pengetahuan, pandangan hidup, serta pranata dan nilai-nilai.
Seperti berulang kali diserukan oleh para akademisi, di Nusantara yang kebudayaannya beragam, pembangunan yang memerhatikan aspek manusia dan budaya menjadi sangat penting. Demikian pula keterlibatan disiplin ilmu antropologi.
Fedyani mengatakan, para antropolog dalam berbagai penelitiannya memang mengkaji secara mendalam kasus atau komunitas tertentu. Disiplin ilmu antropologi umumnya tidak menggeneralisasi, tetapi punya kekuatan yang bersifat reflektif. Artinya, suatu kasus di satu daerah terkadang hadir pula di berbagai tempat dan terdistribusi.
"Para pembuat kebijakan tentu dapat menggunakan hasil-hasil penelitian tersebut, walaupun dalam mengatasi permasalahan tersebut harus disesuaikan dengan budaya setempat," ujarnya.
Hargai keberagaman
Fedyani juga mengingatkan, jika pemerintah ingin melaksanakan pembangunan yang manusiawi, berarti harus siap untuk menghargai keberagaman. Artinya, program pembangunan disesuaikan dengan kondisi masyarakat serta lingkungannya.
"Saat ini sudah mulai disadari pentingnya penghargaan atas manusia dan budayanya. Telah ada revisi terhadap kebijakan yang bersifat penyeragaman dan mengarah ke desentralisasi, tapi belum maksimal," ujarnya.
Hal senada diungkapkan Ezra Choesin, juga antropolog dari UI. Penggunaan kajian antropologi dalam pembangunan, kata Ezra Choesin, setidaknya bisa mengurangi kesalahan yang dapat berakibat fatal dan akan lebih sulit diatasi mengingat subyek pembangunan ialah manusia.
"Sayangnya, selama ini ada kesan antropolog hanya dilibatkan begitu muncul gejolak di dalam masyarakat tertentu. Seharusnya antropolog dilibatkan sejak perencanaan," ujarnya. (INE)
Sumber: Kompas, Sabtu, 8 September 2007
No comments:
Post a Comment