Ubud, Kompas - Para penulis, termasuk jurnalis, dapat menjadi jembatan antarperadaban, menciptakan pemahaman, dan dialog. Lebih-lebih dengan munculnya berbagai isu global yang cukup meresahkan, seperti soal terorisme, fundamentalisme agama, dan globalisasi.
Demikian benang merah dari rangkaian diskusi bertajuk "Reporting The Clash of Civilisation" di Ubud, Bali, Kamis (27/9). Rangkaian diskusi tersebut merupakan bagian dari acara Ubud Writers and Readers Festival 2007, 25-30 September. Festival itu diikuti puluhan penulis sastra dan nonfiksi, jurnalis, serta pembaca dari belasan negara.
John Zubrzcki, wartawan dari Australia—penulis senior di The Australian sekaligus penulis buku The Last Nizam: An Indian Prince in the Australian Outback—mengungkapkan, dalam menulis para jurnalis terkadang sulit untuk obyektif. Mereka juga dinilai sulit menulis dengan adil, bahkan terkadang bias dan kehilangan nuansa dalam melaporkan peradaban masyarakat yang berbeda.
Padahal, tambah John Zubrzcki, dengan kemajuan teknologi komunikasi kesalahan-kesalahan semacam itu dapat direduksi. Sejarah, akses kepada komunitas lokal, dan latar belakang masalah dapat dipelajari dan diteliti baik-baik sebelum berada di lapangan dan menuliskan kisah sehingga menciptakan dialog yang sehat.
Dalam melaporkan isu terorisme, misalnya, dia berpendapat bahwa latar belakang sejarah dan hal yang mendorong kegiatan politis sangat penting. John Zubrzcki sendiri pernah meliput kegiatan kelompok Taliban dan melaporkan liputannya disertai perspektif kesejarahan sebagaimana yang ia maksudkan.
Dalam acara ’Bincang-Bincang Bersama Hamid Basyaib’, yang merupakan bagian dari rangkaian diskusi tentang "Reporting The Clash of Civilisation", Direktur Program Freedom Institute Hamid Basyaib menjelaskan bahwa pemberitaan dan penulisan media internasional yang kerap mengaitkan Islam dengan terorisme ikut menciptakan stigma terhadap Islam.
Di hadapan para peserta festival yang sebagian besar berasal dari luar negeri, Hamid mengungkapkan, sebenarnya kelompok Islam radikal hanya sebagian saja, tetapi cukup vokal sehingga banyak ditulis media. Hal itu mengakibatkan stigma bagi Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terpadat. Oleh karena itu, dianggap perlu ada penyeimbang. Syukurnya, sudah ada orang-orang yang mau menerima hidup dalam perbedaan.
Debra Yatim yang menjadi salah satu pembicara mengatakan, bias dalam penulisan merupakan hal yang sulit dihindari. "Latar belakang penulis tentu akan memengaruhi cara pandang terhadap suatu masalah," ujarnya.
Debra berkeyakinan, baik penulis fiksi, nonfiksi, maupun jurnalis mempunyai peran dalam upaya menjadi jembatan peradaban. Karya yang mereka hasilkan dibaca oleh banyak orang dengan latar belakang bermacam-macam, dan karya itu menjadi jembatan pengenal.
Dalam diri penulis sendiri terkadang tidak hanya melekat satu identitas. Bahkan, terkadang terdapat identitas yang saling berseberangan sehingga karyanya merupakan pergulatan dalam memahami identitas tersebut.
Dibuka Menbudpar
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik ketika membuka festival itu, Rabu malam, mengatakan bahwa Bali—termasuk Ubud—sejak bertahun-tahun lalu dikenal oleh dunia internasional tak lepas dari jasa penulis. Bali dikenal oleh masyarakat internasional sejak 1931, dan itu karena karya-karya penulis. Sejak itu, orang luar negeri tertarik mengunjungi Bali.
"Para penulis dari dalam maupun luar negeri yang tinggal di Ubud merasa terinspirasi oleh keindahan alamnya, masyarakatnya, dan kehidupan ritualnya. Ubud merupakan salah satu pusat seni dan budaya di Bali. Karya-karya mereka lalu dibaca oleh masyarakat luar sehingga memberikan gambaran tentang Ubud, menjadi semacam jembatan antarbudaya," ujarnya.
Pemerintah sendiri, kata Jero Wacik, berupaya membangun jembatan di antara masyarakat untuk menciptakan harmoni. "Sebuah ’jembatan’ antarorang untuk menciptakan empati antaretnik—yang jumlahnya ratusan di Nusantara—agar terjadi apresiasi," kata Jero Wacik. (INE)
Sumber: Kompas, Jumat, 28 September 2007
No comments:
Post a Comment