-- Indira Permansari
Sebidang tanah di perkotaan biasanya disesaki oleh bangunan, tempat usaha, angkutan umum, kendaraan yang parkir, atau permukiman penduduk. Namun, di kawasan Cibubur yang sudah padat dan masih berbatasan dengan Jakarta itu, sebidang tanah masih ada yang digunakan sebagai lahan pertanian.
Walaupun, tentu saja, si petani kerap kali harus angkat kaki ketika lahan garapannya itu hendak digusur menjadi perumahan elite. Terjadi perlawanan? Biasanya justru tidak. Si petani umumnya tidak berkeberatan karena memang kebanyakan di antara mereka hanya menggarap lahan-lahan tidur yang dia sendiri tidak tahu siapa pemiliknya.
Sudah setahun lebih Semiarto Aji Purwanto, pengajar antropologi Universitas Indonesia (UI), selalu berkunjung ke lahan tempat Samin, warga Karawang, Jawa Barat, yang bercocok tanam di daerah Cibubur. Kegiatan rutin itu ia lakukan karena tengah meneliti fenomena peladang kota. Samin sendiri sepertinya sudah mengenal baik Semiarto. Seperti pada sore itu, dengan santai mereka bercerita tentang berbagai hal; mulai dari penjualan sayur-mayur sampai ke soal politik.
"Kota ini ibaratnya tempat mereka ngantor. Mereka membawa tradisi bertani yang ada di pedesaan ke tengah kota. Mereka mewarnai kota dengan cara hidup mereka," ujar Semiarto.
Untuk kepentingan penelitian tersebut, Semiarto tidak hanya berkutat di satu wilayah dan satu komunitas. Dia mengikuti aliran warga dari Karawang ke sejumlah tempat berladang di kota, mengikuti jejak aliran barang dagangan Samin, orang- orang yang menampung sayur- mayur, hingga ke kampung asalnya. Semiarto melihat pula interaksi Samin dengan warga lain di sekitarnya, berikut fenomena peladang kota yang terjadi di tempat lain dan dijalani oleh komunitas dari daerah lain.
"Jika diikuti rasa ingin tahu, penelitian menjadi akan sangat panjang dan tiada habis-habisnya," ujar Semiarto.
Barangkali penelitian Semiarto jauh dari bayangan masyarakat terhadap kajian antropologi pada umumnya, yang kerap diidentikkan dengan penelitian terhadap suku-suku terasing di pedalaman, disebut primitif oleh orang-orang Eropa yang meneliti ke Indonesia zaman dulu.
"Ah, di kota sendiri masih banyak masyarakat yang terasing. Semacam ’suku terasing’ di tengah kota. Banyak pendatang yang kemudian tidak dapat mengikuti standar hidup kota besar yang dekat dengan pasar dan industri. Mereka tidak punya akses, ke mana pun menjadi terasing dan termarjinalisasi dari kehidupan kota. Proses perkotaan dipengaruhi oleh urbanisasi. Orang-orang dengan kultur pertanian datang ke kota yang berbudaya industri, lalu menciptakan wilayah abu-abu," ujar Semiarto.
Bagi Semiarto, fenomena itu suatu kewajaran. Kondisi masyarakat selalu berkembang, demikian juga dengan ilmu pengetahuan. Antropologi klasik meneliti di suatu tempat, satuan budaya dan sosial. Sekarang, penelitian lebih pada satuan isu, contohnya isu pertanian kota di atas. Satuan penelitian bukan orang per orang, tetapi perilaku yang hendak dijelaskan. Penelitian menjadi lebih terbuka dan teori pun terus dikembangkan.
Di Indonesia, antropologi sebagai ilmu mulai berkembang seiring dengan dibukanya Jurusan Antropologi di Universitas Indonesia pada September 1957. Di luar negeri, khususnya di Barat, ilmu itu sudah berkembang sejak abad ke-20. Lebih jauh lagi ke belakang, sejarah mengenai antropologi dapat dikaitkan dengan ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri, adat istiadat, dan budaya berbeda di luar bangsa Eropa.
Sekitar abad XV dan XVI, orang-orang Eropa berlomba menjelajahi dunia. Mereka mendatangi berbagai benua dan jazirah, mulai dari Afrika, Amerika, Asia, sampai ke Australia. Begitu tiba di ’dunia baru’ tersebut, mereka pun tercengang- cengang melihat dan menemukan berbagai hal baru. Mereka lalu mencatat petualangan mereka, termasuk membuat deskripsi mengenai ciri fisik, kebudayaan, dan susunan masyarakat di ’dunia baru’ tersebut. Bahan deskripsi itu lalu dikenal sebagai bahan etnografi.
Etnografi itu, oleh pelajar Eropa, lalu disusun menjadi karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat. Antropologi pun mulai bertujuan akademis, terutama untuk mempelajari masyarakat dan kebudayaan yang dalam pandangan mereka "primitif" agar diperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
Saat orang-orang Eropa mulai membangun kawasan jajahan di benua lain, termasuk Asia, mulai ada tantangan dari warga asli. Bukan cuma pemberontakan, tetapi juga soal iklim yang kurang cocok dengan bangsa Eropa. Dalam menghadapi permasalahan itu, pemerintah kolonial negara-negara Eropa berusaha mencari kelemahan suku asli dan menaklukkannya. Mulailah dicari bahan-bahan etnografi tentang suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaannya serta kebiasaannya untuk kepentingan pemerintah kolonial.
Kian variatif
Di Indonesia, setelah 50 tahun menjadi bidang kajian akademik di UI, antropologi semakin berkembang. Ketua Departemen Antropologi FISIP-UI Jasmine Zaky Shahab mengatakan, dari sudut ilmu sebetulnya antropologi tidak stagnan. Disiplin ilmu antropologi terus berkembang, ditandai semakin banyak dan variatifnya pusat-pusat pengkajian antropologi. Sebutlah seperti antropologi psikologi, antropologi perkotaan, ekonomi, kependudukan, politik, agama, hingga kesehatan.
Para lulusannya pun bekerja di berbagai bidang dan instansi, baik negeri maupun swasta. Bahkan, ada yang memasuki bidang-bidang yang barangkali sebelumnya tak terpikirkan, seperti bidang eksplorasi minyak dan gas hingga kehutanan. Mereka bekerja sebagai konsultan yang memberikan masukan, terlepas masukannya diterima atau tidak.
Emmed Prioharyono, Ketua Program Sarjana pada Departemen Antropologi FISIP-UI, berpendapat serupa. Di era globalisasi, peran antropologi semakin kuat dengan kajian kian variatif. Hal ini bisa dipahami, mengingat masyarakat yang tanpa kebudayaan dan jati diri akan mudah tersesat dan mengalami disorientasi sehingga kebutuhan akan kajian antropologi pun semakin dirasakan perlu.
Dengan pendekatan antropologi bukan berarti masyarakat harus menjadi museum hidup. "Perubahan mau tidak mau akan dialami masyarakat, apa pun kondisi masyarakat bersangkutan. Mereka yang hidup di pedalaman sekalipun kelak akan mengalami perubahan dengan masuknya kemajuan teknologi dan program pemerintah. Proses perubahan sulit dielakkan. Akan tetapi, yang terpenting ialah perubahan harus sesuai dengan aspirasi masyarakat agar tepat dan berdaya guna. Untuk mempertemukan aspirasi masyarakat dengan pembangunan itulah kajian antropologi menjadi sangat strategis," jelas Emmed.
Sebaliknya, secara institusional perkembangan antropologi agak lamban. Paling tidak begitulah pengakuan Iwan Tjitradjaja, Ketua Program Studi Pascasarjana Antropologi UI.
"Ilmu antropologi lebih berkembang di Barat. Itu tidak lepas dari fasilitas yang mendukung. Kegiatan penelitian di lapangan, misalnya, didukung dengan pendanaan memadai. Di Indonesia, penelitian sangat terbatas," ujarnya.
Untuk program studi dalam pendidikan tinggi saja hanya ada di universitas negeri, itu pun hanya beberapa. Di swasta malah tidak ada kajian antropologi, lantaran terkait adanya keraguan akan pasar kerja bagi lulusannya. Apalagi ada pandangan bahwa antropologi adalah ilmu yang sifatnya tidak aplikatif.
Alhasil, antropologi sebagai salah satu bidang ilmu bukan saja banyak bergelut dengan masyarakat terasing, tetapi juga masih dirasakan asing di tengah masyarakat yang lebih menganut paham pragmatisme. Di tengah warga perkotaan, antropologi bahkan jadi "suku terasing"....
Sumber: Kompas, Rabu, 26 September 2007
No comments:
Post a Comment