Saturday, September 29, 2007

Khazanah: Paus Merah Jambu Zen Hae, Puisi di Luar dan di Dalam Sistem Bahasa

-- Jamal D Rahman*

PUISI-PUISIi Zen Hae adalah percobaan membangun struktur puisi di dalam dan di luar sistem bahasa. Disadari atau tidak, beberapa puisi Zen Hae yang terhimpun dalam Paus Merah Jambu (Yogyakarta: Akar Indonesia, 2007) menyediakan sarana yang memadai bagi pembaca untuk mendekatinya, tetapi sebagian puisinya hanya menyediakan sarana yang amat terbatas untuk mendekatinya. Dengan kata lain, sebagian puisinya memudahkan saya memasuki inti puisi itu sendiri, sedangkan beberapa puisi lainnya menyulitkan saya masuk ke inti puisi. Memudahkan atau menyulitkan itu rupanya sangat tergantung, apakah jalinan internal puisi berada di dalam atau di luar sistem bahasa.

Kesan pertama puisi-puisi Zen Hae memaksa saya menunda membicarakan aspek tematik puisi-puisinya untuk sementara, kecuali dalam batas yang saya anggap perlu dan relevan dalam rangka membicarakan aspek teknis puisi-puisi itu sendiri. Di sini akan dibicarakan bagaimana puisi-puisi Zen Hae beroperasi di luar dan di dalam sistem bahasa, berikut konsekuensi yang ditimbulkannya. Kita lihat juga sepintas lalu kemungkinan lain sebagai sebuah percobaan dalam puisi Indonesia, jika struktur (diksi) puisi di luar sistem bahasa memang dilakukan secara sengaja.

Unsur penting dalam sistem bahasa adalah kohesi dan koherensi. Kohesi menunjuk pada keserasian dan kepaduan unsur-unsur bahasa secara sintaksis, sedangkan koherensi menunjuk pada keserasian dan kepaduan ide, gagasan, ungkapan perasaan, citraan, atau asosiasi secara semantik. Kohesi dan koherensi dengan demikian adalah kepaduan jalinan internal bahasa yang akhirnya memproduksi makna yang kukuh dan konstruktif. Dalam arti itu, kegagalan bahasa mengikuti sistem bahasa akan menimbulkan kekacauan sintaksis dan kekaburan semantik yang akhirnya mengakibatkan kegagalan bahasa itu sendiri dalam memproduksi makna. Pada tataran itu, bahasa kehilangan fungsi komunikatifnya.

Hemat penulis, karena puisi menggunakan medium bahasa, bagaimanapun, puisi sejatinya bekerja dalam sistem bahasa. Bahkan puisi yang paling eksperimental sekalipun. Puisi yang memanfaatkan licentia poetica secara maksimal pun sejatinya bekerja dalam sistem bahasa. Sudah tentu dalam batas tertentu sistem bahasa puisi berbeda dengan sistem bahasa umum. Jika sistem bahasa umum melakukan fiksasi makna atau membuat makna bahasa sedemikian pasti sehingga ambiguitas dihindari sejauh mungkin, bahasa puisi justru merangsang ambiguitas seluas mungkin. Namun, dasar-dasar sistem bahasa umum tetap berlaku pada puisi. Ambiguitas bahasa puisi disuburkan bukan di luar sistem bahasa, melainkan di dalam sistem bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, membiarkan puisi bekerja di luar sistem bahasa akan mengaburkan makna yang mungkin diproduksi bahasa puisi. Puisi yang bekerja di luar sistem bahasa akan menyulitkan pembaca untuk memasuki inti (makna, pesan) puisi itu sendiri.

Dengan demikian, sistem bahasa bisa menghindari ambiguitas, ambivalensi, dan polisemi, namun bisa juga menyuburkannya. Dalam bahasa puisi, ambiguitas, ambivalensi, dan polisemi disuburkan secara maksimal terutama oleh metafora. Keberhasilan puisi dalam mendorong ambiguitas, ambivalensi, dan polisemi untuk memproduksi makna sangat bergantung pada sejauh mana metafora dan imaji terorganisasi dan terstruktur dalam sebuah sistem bahasa.

Dengan dasar pikiran sederhana itu, marilah kita memeriksa puisi Di Halte Malam Jatuh (halaman 1), puisi pertama dalam Paus Merah Jambu

....

akhirnya, aku mahir menggambar hujan

menirukan langkah-langkah pulang

menulis reklame-reklame sunyi dan menempelnya

di bebatang pohon sepanjang jalan

dan di sebuah tikungan tujuh kelopak bintang

gugur sebelum pagi kembali

bus yang penuh sesak itu akan berangkat??

tanyamu. orang-orang masih terus mengembara

tak ada bintang di langit;

nujuman nasib, kompas para kafilah

di mana-mana kautanam bendera. aku ingin

berkibar-kibar mengikut gelombang hujan

menjejaki liang rahasia sepanjang uluran senja

tetapi, duh, selalu ada yang kauisyaratkan

lewat deru angin yang tertahan di awal musim

Dari segi sintaksis, puisi di atas kohesif. Di situ tidak ada struktur kalimat yang membingungkan. Tetapi secara semantik, kita dibuat bertanya-tanya apa hubungan antara 'aku mahir menggambar hujan' dan '(aku mahir) menirukan langkah-langkah pulang' serta '(aku mahir) menulis reklame-reklame sunyi dan menempelnya/ di bebatang pohon sepanjang jalan'. Pertanyaan serupa dapat diajukan untuk bait-bait berikut dalam puisi tersebut. Jawaban saya negatif. Yang lebih musykil lagi, ide demi ide atau citraan demi citraan itu bukan saja tidak saling berhubungan, melainkan dibiarkan berdiri sendiri-sendiri dari awal hingga akhir puisi sehingga kita tidak mendapatkan kesatuan makna yang dapat dipandang sebagai inti puisi. Dengan kata lain, dalam pandangan saya, karena inkoheren secara semantik, puisi tersebut tidak bisa memproduksi makna secara maksimal.

Agar lebih jelas bahwa kesulitan saya memasuki beberapa puisi Zen Hae lebih karena diabaikannya sistem bahasa dalam puisi-puisi Zen Hae sendiri, marilah kita bandingkan puisi di atas dengan puisi Ira dalam Ruang (halaman 15) berikut:

Ira, kapan ranjang ini akan diberangus

berahi di kelaminku jadi salju. sementara

kau masih menangisi bulan padam di jambangan

itu hanyalah warna kutukan dari mayatku yang gelisah

dari suara-suara hujan yang parau

Ira, rentangkanlah tanganmu ke langit

di sana pelangi akan mengepakkan sayapnya

menjadi burung-burung dan halilintar.

Saya bisa memasuki puisi Ira dalam Ruang dengan mudah. Saya menikmati imaji-imajinya, membayangkan asosiasi-asosiasi yang ditimbulkannya, menangkap ambivalensi perasaan aku-lirik yang gelisah menunggu sebuah 'akhir' dari kehancuran dan kesia-siaan, namun tetap memiliki harapan meskipun di dalamnya ada juga kecemasan. Makna seperti itu hanya mungkin lahir dari puisi Ira dalam Ruang yang bekerja dalam sistem bahasa, kohesi sintaksis dijaga dengan rapi dan koherensi semantik diperhitungkan dengan hati-hati. Dengan koherensi, metafora demi metafora terorganisasi dan terstruktur sedemikian rupa membangun satu kesatuan makna.

Puisi lain yang mengesankan bagai saya adalah Dalam Ribuan Sajakmu (halaman 32). Pertama-tama, puisi tersebut bekerja dalam sistem bahasa dengan kohesi dan koherensi dijaga dengan amat baiknya, lalu di atas itu ia menghidupkan makna dengan cara mempererat hubungan-hubungan internal puisi itu lewat jalinan metafora dan citraan-citraan yang memesona. Secara tematik, puisi itu berbicara tentang kematian, tema yang ditulis banyak penyair lain, dan Zen Hae sampai pada citraan yang khas miliknya.

Kecemasan menghadapi kematian dilukiskan dengan: Sunyi dan badai kembali membakar kenangan/ di jendela dan udara dingin berguguran/ dalam paruku dalam kamarmu/ menyelimuti reruncing sajak. Sementara, keikhlasan menerima maut dilukiskan dengan bersama rumput dan para pelayat kau mengantarku/ ke bukit-bukit batu. di sini, katamu/ kepulanganmu dipercepat api dan air mata?. Ketika kematian itu benar-benar tiba, dalam ribuan sajakmu tak pernah lagi kautemukan/jejakku.

Hemat saya, puisi itu menunjukkan Nur Zen Hae sangat potensial menjadi penyair lirik yang kuat yang mampu mengolah metafora dengan cermat, mengeksplorasi bahasa dengan autentik, sekaligus mengekspresikan renungan dan penghayatannya secara orisinal.

Sunyi dan badai kembali membakar kenangan

di jendela. lalu tubuhku lindap dalam gelombang

awan mendung. menzuhurkan kepedihan hidupmu

dan udara dingin berguguran

dalam paruku dalam kamarmu

menyelimuti reruncing sajak

tapi aroma kematianku tercium sampai pembaringan

melewati kamar-kamarmu: terburai oleh tangisan

juga matahari masih menembakkan keranda lewat

serpihan hujan. lalu kengerian tidurmu tersulut

dalam cuaca pagi. penuh kabut mengucur

tapi gagal memeluk hujan yang jatuh di tepi jurang

didera kegamangan

bersama rumput dan para pelayat kau mengantarku

ke bukit-bukit batu. di sini, katamu

"kepulanganmu dipercepat api dan air mata"

dalam ribuan sajakmu tak pernah lagi kautemukan

jejakku. juga jerit anak-anak yang terbadik jalanan.

Sampai di sini, tak perlu diragukan kemampuan Zen Hae menulis puisi yang bisa bekerja secara efektif dalam sistem bahasa, yaitu puisi yang dengan amat bagus mempertimbangkan kohesi sintaksis dan koherensi semantik. Sehubungan dengan beberapa puisinya yang mengabaikan koherensi, pertanyaan kita adalah, apakah inkoherensi atau ketidakteraturan semantik dalam beberapa puisinya disengaja atau tidak? Jika tidak, kita sedang menghadapi kelalaian berbahasa seorang penyair. Jika ya, sejauh mana konsekuensi-konsekuensi yang mungkin ditimbulkannya telah dipertimbangkan?

Dalam pertimbangan saya, kalau inkoherensi dalam puisi-puisi Zen Hae disengaja, artinya dilakukan secara sadar, puisi-puisinya dapat dipandang sebagai perlawanan terhadap norma keteraturan dalam sistem bahasa? Lepas dari apakah perlawanan itu membuahkan hasil atau tidak, di sisi lain Zen Hae ternyata tidak melepaskan diri sepenuhnya dari norma keteraturan sistem bahasa, seperti ditunjukkan dua puisi terakhir di atas. Ambivalensi itu membuat perlawanannya terhadap norma keteraturan dalam sistem bahasa sebagai perlawanan yang tidak radikal. Dengan kata lain, perlawanan itu hanyalah perlawanan setengah hati yang justru bisa membatalkan pentingnya inkoherensi sebagai tindakan yang dilakukan secara sadar.

Tapi, bagaimanapun, jika inkoherensi itu merupakan tindakan sadar seorang penyair, sesuatu tengah menantang di hadapan kita, yakni bagaimana inkoherensi itu bisa memproduksi makna yang memesona dan mengesankan? Kalau bukan kohesi dan koherensi, sarana apa yang disediakan puisi demi mengorganisasi metafora-metafora dan citraan-citraannya yang sering kali berlepasan satu sama lain sekaligus saling berdesakan? Bisa juga, di antara metafora dan citraan yang berlepasan satu sama lain itu terdapat ruang kosong yang bisa mengaktifkan pembaca mengorganisasikannya secara koheren menurut caranya sendiri demi memproduksi makna. Tapi kalau begitu, bukankah puisi akan kehilangan kecemerlangan intrinsiknya.

Salam.

* Jamal D. Rahman, penyair, Pemimpin Redaksi Majalah Horison

Sumber: Media Indonesia, Sabtu, 29 September 2007

No comments: