Thursday, September 20, 2007

Lawatan Sejarah Nasional: PDRI, Penyambung "Nyawa" Kemerdekaan

-- Indira Permanasari

Awal Januari 1949 merupakan saat istimewa bagi Jamaan Ismail yang renta dan sekarang berganti nama H Chatib Jamaan, warga Bidar Alam, Kabupaten Solok Selatan. Sebagai Komandan Kompi Badan Pengawal Nagari dan Kota atau BPNK, Jamaan bertugas menjemput tamu penting, rombongan Syafruddin Prawiranegara di Abai Sangir. Rapat para pemuka nagari Bidar Alam menyepakati itu.

Sekitar tiga puluh orang anggota rombongan datang ke Abai Sangir. Mereka sebagian berjalan kaki dan lainnya dengan perahu yang sederhana berdayung kayu, termasuk Syafruddin. Dari Abai Sangir mereka harus berjalan kaki 12 kilometer ke wali nagari untuk diterima secara resmi.

Jamaan sadar itu bukan rombongan biasa, terutama sang pemimpin rombongan. Di pundaknya terletak nasib kemerdekaan yang baru secuil waktu dinikmati rakyat Indonesia. Dia sudah mendengar Syafruddin mendapat mandat untuk melaksanakan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Sebagai komandan BPNK waktu itu, Chatib ditugaskan oleh pemuka masyarakat nagari Bidar Alam untuk menyiapkan kebutuhan rombongan. Misinya agar rombongan Syafruddin dapat memimpin pemerintahan darurat RI di Bidar Alam dengan aman. Jamaan Ismail saat itu tidak sendiri.

Pada usianya yang renta dengan ingatan yang mulai mengabur Jamaan bercerita tentang besarnya dukungan rakyat kepada rombongan Syafruddin waktu itu, di depan peserta Lawatan Sejarah Nasional (Lasenas) yang terdiri dari para siswa dan guru sejarah pada pertengahan Agustus lalu. Tema Lasenas Ke-5 itu ialah "Peranan Masyarakat Sumatera Tengah dalam Menyelamatkan Republik Indonesia: PDRI Suatu Mata Rantai Sejarah Republik Indonesia". Mereka meninjau jejak-jejak PDRI yang tersebar di berbagai daerah di Sumatera Barat (dulu Sumatera Tengah).

Rakyat dengan sukacita menyediakan rumahnya sebagai markas. Jamaan juga menghimpun tenaga BPNK dan Pemuda untuk berjaga malam (ronda), menyusun tenaga pengangkutan kuda beban dengan tugas mencari perbekalan beras dan sayuran ke Kerinci dan Muara Labuh, menyusun tenaga anak perahu dengan tugas mencari bensin dan kebutuhan lainnya ke Pulau Punjung satu kali seminggu serta menyediakan lapangan olahraga.

Di pedalaman Bidar Alam itu, dengan sederhana dan bersahaja, didukung kekuatan masyarakat setempat, pemerintahan darurat dijalankan. Bidar Alam waktu itu masih berupa kampung di pedalaman dengan sebagian wilayah masih berupa rimba.

Perjalanan Syafruddin Prawiranegara ke Bidar Alam merupakan bagian dari rangkaian kisah sekitar tujuh bulan beliau menjadi pemimpin pemerintahan darurat RI. Sebuah pemerintahan darurat yang terus bergerak dan berpindah-pindah. Semua itu bermula ketika pada 19 Desember 1948 Yogyakarta dan Bukit Tinggi diserang oleh Belanda.

Kabinet Hatta yang sudah mencium keinginan Belanda untuk menduduki kembali Indonesia, beberapa jam sebelum serangan Belanda ke Yogyakarta, segera bersidang darurat. Keputusannya, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta memberikan mandat atau menguasakan kepada Syafruddin Prawiranegara membentuk pemerintahan Darurat di Sumatera Tengah.

Saat itu, Syafruddin yang menjabat sebagai Menteri Kemakmuran RI sedang bertugas di Bukit Tinggi. Kalaupun Syafruddin gagal, mandat diserahkan kepada pemimpin RI di luar negeri, yakni Dr Soedarsono, Mr Maramis, dan Palar untuk membentuk Exile Government di New Delhi. Soekarno dan Hatta sendiri kemudian ditawan di Bangka oleh Belanda.

Sejarawan dari Universitas Negeri Padang, Mestika Zed, mengungkapkan, surat mandat itu konon tidak sempat dikawatkan karena hubungan telekomunikasi kadung jatuh ke tangan Belanda. Surat hanya beredar di kalangan Republieken. Namun, dengan insting dan kecepatan berpikir akhirnya beliau berhasil membentuk PDRI di Halaban, sebuah kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota, pada 22 Desember 1948.

Jangan bayangkan, sebagai pemimpin saat itu, Syafruddin memimpin dari istana. Sejak itu, Syafruddin dan rombongannya menjalankan pemerintahan dengan bergerak terus dari daerah ke daerah lain di pedalaman Sumatera Barat. Sahabat terdekat para pemerintah darurat saat itu ialah rakyat. Syafruddin yang penuh karisma dan bersifat merakyat dengan cepat diterima dengan baik oleh warga setempat.

Keberadaan PDRI menunjukkan bahwa Republik Indonesia masih berdiri. Pada 17 Januari 1949 Stasiun Radio PDRI berhasil melakukan kontak dengan New Delhi, India. Syafruddin dari Bidar Alam sempat mengirimkan ucapan selamat kepada Nehru dan peserta konferensi New Delhi melalui Stasiun Radio UDO yang diteruskan ke Stasiun ZZ Koto Tinggi dan diteruskan lagi ke YJB6.

Konferensi New Delhi yang dihadiri oleh 19 negara Asia termasuk delegasi peninjau, kemudian mengeluarkan resolusi yang berisi protes terhadap agresi militer Belanda dan menuntut pengembalian tawanan politik dalam hal ini Soekarno, Hatta, dan semua pemimpin Republik ke Yogyakarta.

Keberadaan stasiun Radio YBJ6 sangat membantu komunikasi dalam dan luar negeri, terutama untuk menyuarakan bahwa pemerintahan RI masih ada.

Jamaan dengan berapi-api menceritakan kesannya terhadap ketokohan Syafruddin pada masa PDRI itu. "Ondee ... kalau cerita itu, air mata saya turun, semangatnya berapi-api. Kata-kata Syafruddin yang paling berkesan buat saya waktu dia bilang ’kita harus memenangkan RI dan tidak takut kepada manusia, hanya takut kepada Allah’. Itu dikatakannya berulang- ulang," ujarnya.

Setelah sekitar dua bulan di Bidar Alam, rombongan bergerak secara bertahap ke Sumpur Kudus. Mereka meninggalkan Bidar Alam dengan berjalan kaki dan naik perahu melalui desa-desa. Setelah itu Syafruddin juga sempat berangkat ke Koto Tinggi dan berpindah ke Padang Japang, Koto Kaciak. Di Padang Japang, rombongan menginap di rumah salah seorang warga, Jawanir.

Sampai pada akhirnya datang utusan dari Kabinet Hatta, yakni Leimena, Moh Natsir, dan A Halim untuk menemui Syafruddin. Telah terselenggara Perundingan Roem-Royen antara Belanda dan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M Hatta. Syafruddin tidak menyetujui perundingan yang dianggapnya merugikan Indonesia itu. Rombongan Leimena datang untuk membujuk Syafruddin pulang dan mengakui hasil perundingan itu untuk kemudian menyerahkan mandat.

Jawanir (79) yang sempat dikunjungi para peserta Lasenas bercerita, betapa alotnya perundingan di Koto Kaciak, Padang Japang, Payakumbuh saat itu. "Dari pukul delapan malam hingga subuh keesokan harinya rombongan Leimena berusaha membujuk," ujarnya.

Setelah shalat subuh baru diputuskan, mereka berangkat ke Yogyakarta dan mengembalikan mandat kepada Soekarno dan Hatta. Jawanir mengenang sosok Syafruddin sebagai sosok penuh karisma dan cinta Republik Indonesia. Pemerintahan darurat itu berakhir 13 Juli 1949 yang ditandai dengan sidang pertama Kabinet Hatta setelah agresi kedua militer Belanda dengan agenda pengembalian mandat PDRI oleh Syafruddin kepada Soekarno-Hatta.

Penyelamat kemerdekaan

Proses kelahiran PDRI 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949 ialah sebagai salah satu bagian dari reaksi Republik dalam menghadapi agresi kedua militer Belanda sebelum kejatuhan Yogyakarta sebagai ibu kota negara waktu itu. Dengan adanya PDRI, secara de facto Indonesia masih berdiri sebagai sebuah bangsa.

Menurut sejawaran, Mestika Zed, pentingnya kedudukan PDRI dalam sejarah perjuangan bangsa, antara lain, adalah karena secara nasional merupakan jembatan yang menghubungkan dan menghidupkan kembali kekuatan perjuangan yang sudah berantakan di berbagai daerah.

"Kami juga dapat membayangkan apa jadinya RI seandainya tidak ada PDRI. Pada saat yang sama, PDRI merupakan simbol integrasi nasional karena perjuangan kemerdekaan pada masa itu akhirnya berhasil melewati ujian terberat dari ancaman integrasi bangsa," katanya.

Episode PDRI menunjukkan betapa partisipasi rakyat lokal memainkan peran sentral. Seandainya pemimpin yang mengungsi ke pedalaman itu tidak dijamin keselamatan nyawanya dan tidak disubsidi makanannya oleh rakyat, niscaya nasib mereka hilang ditelan sejarah. Pada saat itu rakyat bukan lagi sekadar pelengkap penderita dalam perjuangan nasional, melainkan penggerak utama yang menentukan menghadapi masa-masa krisis darurat.

Mestika lalu meminjam kata-kata sejarawan terkenal Prof Sartono Kartodirjo, "PDRI adalah soal to be or not to be Republik. Tanpa PDRI, Republik yang diproklamasikan beberapa tahun sebelumnya nyaris tenggelam untuk selama-lamanya."

Sumber: Kompas, Kamis, 20 September 2007

No comments: