-- Indira Permanasari
SEPI. Di dalam ruangan toko buku yang penuh sesak dengan rak itu tidak tampak satu pengunjung pun. Keasyikan beberapa staf pengurus toko yang sedang berbincang-bincang tiba-tiba terusik ketika pintu kaca dibuka. Tak lama kemudian mereka melayani permintaan akan beberapa buku dengan senang hati. Sebagian rak berisi buku yang kertasnya sudah kekuningan.
Jarang ada pengunjung ke sini. Biasanya, anak-anak sekolah yang mencari buku-buku tertentu untuk mengerjakan PR (pekerjaan rumah), penugasan dari guru, masih suka datang. Terkadang mereka patungan beli buku. Kalau ternyata bukunya menarik, mereka beli untuk diri sendiri," kata Kepala Toko Buku Balai Pustaka (TB BP) Waras Margono, Kamis (20/9).
Sesekali datang orang-orang tua dengan cucu mereka. Para orang tua itu lalu dengan semangat 45 menunjuk-nunjuk buku tertentu yang menjadi bacaan mereka pada masa muda dulu. "Orang-orang tua itu bilang, ’Itu tuh buku yang dulu kakek baca.’ Sekaligus nostalgia kali, ya...," cerita kepala toko itu.
Di toko buku milik PT BP di bilangan Gunung Sahari, Jakarta, tersebut ada beberapa karya yang tak dicetak ulang dan hanya tersisa sedikit eksemplar dengan kertas menua. Sebagian, karya-karya yang terbilang laris mengalami cetak ulang hingga lebih dari dua puluh kali, sebut saja Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana, Siti Nurbaya ( Marah Rusli) dan Salah Asuhan (Abdul Muis). "Buku tertentu yang disebut-sebut sebagai buku laris didistribusikan pula ke sejumlah toko buku," kata Manajer Distributor dan Toko BP, Bahtera. Sepinya toko buku itu seakan mengamini senyapnya peran PT BP dari keramaian dunia penerbitan Indonesia. Apalagi mengingat sejarah panjang dan masa kejayaannya hingga memasuki usia 90 tahun pada 22 September, hari ini.
Direktur PT BP Persero Zaim Uchrowi yang baru bertugas tiga bulan mengakui, awal tahun ini merupakan titik nadir bagi PT BP. "Secara bisnis, pada tahun 2004 kita masih mencetak hingga 12 juta eksemplar, tetapi terakhir, pada tahun 2006, hanya satu juta eksemplar. Itu antara lain disebabkan ketidaksiapan dalam mengatasi perubahan, baik terkait krisis moneter maupun persaingan bisnis," ujar Zaim, yang juga penulis sekitar tujuh buku.
Setelah sempat terjadi pergeseran fungsi menjadi agen pemerintah dalam penyediaan buku pelajaran, kini PT BP menerbitkan sekitar 350 judul buku per tahun antara lain kamus, referensi, buku keterampilan, sastra, sosial, politik, agama, ekonomi, dan penyuluhan. Penerbitan sastra sekitar 25 persen dan sekitar 70 persen penerbitan buku pendidikan dan referensi.
Citra masyarakat terhadap PT BP juga memasuki titik bawah. Ironis rasanya sebab BP pernah mencapai kejayaan. Pada 14 September 1908 Pemerintah Kolonial Belanda membentuk badan Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur, tugasnya memberi pertimbangan kepada Pemerintah Hindia Belanda dalam memilih buku bagi masyarakat. Badan itu lalu berubah menjadi Balai Poestaka, 22 September 1917. BP sempat bergonta-ganti status. Terakhir menjadi perseroan dan badan usaha milik negara.
Pada era awal, BP menerbitkan roman baru berbahasa Melayu dan daerah. Nama pengarang besar, seperti Merari Siregar, Marah Rusli, Abdul Muis, Idrus, S Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan Achdiat Kartamihardja, lahir lewat BP.
Dalam artikelnya untuk Harian Kompas, dalam rangka memperingati 50 Tahun Balai Pustaka, 23 September 1968, perintis pendirian BP, sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana, menulis besarnya jasa-jasa BP sebagai pendorong dan penyebar bahasa Indonesia. Pada masa awal BP memberikan bacaan bermutu kepada orang Indonesia yang telah menamatkan sekolah desa. BP menjaga agar rakyat dijauhkan dari bacaan menyesatkan.
Lahir kembali
Saat ini Zaim bertekad untuk mengembalikan PT BP kepada peran strategisnya semula, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejarah telah membuktikan kuatnya peran tersebut, terutama dalam membangun karakter kebangsaan.
Dalam jajaran direksi baru, bukan saja telah ada pembenahan manajemen, tetapi juga perubahan visi dan misi. Visi Balai Pustaka kini sebagai korporasi pengembang pengetahuan di Asia Tenggara dengan misi membangun karakter nasional dan sebagai pusat belajar.
Sebagai langkah awal, telah direncanakan peluncuran kembali buku tentang polemik kebudayaan (yang ramai tahun 1935) pada 28 Oktober mendatang. "Masalah, seperti feodalisme, stagnasi, dan ketidakmampuan sebagai bangsa, masih terlihat hingga kini."
BP membentuk pula Dewan Pertimbangan Perbukuan, yang antara lain melibatkan Bambang Harymurti (wartawan), Helvy Tiana Rosa (penyair), Jefry Giovani (pengusaha), dan penulis Dewi Lestari (masih dalam konfirmasi). "Ini untuk menyegarkan dan memberi perspektif baru dalam penulisan," ujarnya. Harapannya, PT BP dapat kembali berkibar....
Sumber: Kompas, Sabtu, 22 September 2007
No comments:
Post a Comment