-- Agus Wibowo*
KARYA sastra idealnya memberi kontribusi positif bagi pembacanya. Lewat rangkaian kata yang ditata sedemikian rupa—penuh cita rasa dan unsur simbolis—,karya sastra memberi pencerahan sekaligus pemenuhan dahaga batiniah pengonsumsinya.
Apalagi pada carut-marut kehidupan bernegara kita yang kian sibuk dengan agenda-agenda politik, sementara menganaktirikan aspek kehidupan rakyat lainnya.Rakyat kita yang didera berjuta persoalan, tersudut pada ruang kehidupan yang sempit,pengap,dan penuh kemunafikan.
Memang dalam upaya mendapatkan makna dan apresiasi karya sastra,setiap orang diberi kebebasan menafsirkan teks-teks sastra tersebut. Hanya, hasil penafsirannya belum tentu mencercap makna yang diinginkan pengarangnya. Prof Teeuw (1983) dalam hal ini cukup hati-hati merumuskan kebebasan penafsiran teks sastra tersebut.
Menurut Teeuw,lantaran peluang apresiasi (apreciation probability) yang disuguhkan teks sastra, sang penafsir kadang berlebih dalam berfilsafat tentang teks sastra tersebut. Dengan kata lain, pembaca berkecenderungan mengaliri teks dengan khazanah intelektualnya melebihi cawan yang tersedia dalam karya sastra tersebut.Pada gilirannya,makna teks (sastra) menjadi kabur, terlalu filosofis dan tidak mampu ditangkap pesan simbolisnya.
Hal sama pernah digelisahkan Jonathan Culler dalam bukunya Structuralis Poetics: Structuralism, Linguistic and the Study of Literature (1975). Menurutnya, memang cukup sulit menangkap makna sebuah teks sastra.Apalagi, upaya penafsiran pembaca yang instan, mencercap apa yang tersurat dan sepotong- sepotong (parsial). Model penafsiran seperti ini menurut Culler tidak akan mendapat apa-apa.
Menurut Culler, yang dibutuhkan pembaca untuk menafsirkan karya sastra adalah kesabaran, ketelitian sekaligus penghayatan terhadap proses yang mengejawantahkan teks sastra tersebut. Hal ini lantaran akar utama karya sastra adalah hidup dan kehidupan atau manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Karya sastra tidak lahir dari ruang hampa nan sepi senyap,melainkan hasil pergulatan sang pujangga (sastrawan) dengan teksteks kehidupan.
Pengalaman sastrawan terhadap teks-teks kehidupan, dipilih, diramu, dan diberinya penafsiran dengan jalinan imajinasi yang dimilikinya, hingga pada akhirnya menjelma sebuah karya sastra. Tidak heran jika karya monumental Dr. Zivago misalnya, lahir dari pergulatan Boris Pasternak selepas revolusi Bolszhevic. Sementara novel I’Stanger,menjadi karya yang mengundang decak kagum pembacanya lantaran penghayatan Albert Camus terhadap proses jatuhbangun Prancis pasca-Perang Dunia (PD) II.
Pergulatan serta penafsiran sastrawan akan realitas dan teks kehidupan inilah yang menurut Umar Kayam (1988),bakal memberi roh dan membuat sebuah karya sastra hidup abadi. Di sinilah pentingnya pembaca dituntut berolah signifikansi makna akan jalinan yang dirajut teks sastra.Pembaca sebaiknya mawas diri bahwa dirinya bukanlah seorang yang bersih di satu sisi. Sementara di sisi lain, pembaca mesti relatif objektif, yakni ramah tanpa prasangka terhadap sebuah teks sastra yang disuguhkan. Dengan kata lain, menjadi pembaca yang tulus dalam sebuah kehendak baik untuk bersilaturahmi dengan karya sastra.
Secara cerdas, Agus R Sarjono (2001) memberi solusi bagaimana pembaca karya sastra menemukan makna di balik teks sastra tersebut.Menurutnya, katakata dalam sastra sejatinya merupakan upaya guna meraih makna. Selain itu, kata berfungsi membangun sebuah dunia yang sering luput dan terpinggirkan oleh kerasnya peraturan ilmu, tersembunyikan dalam komunikasi sosial politik, dan terabaikan dalam konsep jurnalisme.
Makna dalam sastra dibangun dalam kaitan dan oposisinya dengan makna kata yang digunakan secara umum dalam masyarakat kita. Kata-kata dalam teks sastra dipungut dari kata umum, diruwat dan dirangkai dalam susunan yang baru sebagai sarana say one, thing and means another. Ungkapan kata dalam sastra dibedakan dengan bahasa biasa. Jika dalam bahasa biasa ungkapan langsung bisa ditangkap maknanya (mempercepat makna), sementara dalam sastra,makna justru ditunda.
Hal ini lantaran dalam sastra berlaku kecenderungan untuk melakukan defamiliarisasidengan kehidupan riil seharihari. Mengapa demikian? Karena bahasa sehari-hari teramat kaku, kurang bisa menjangkau relung imajinasi sastrawan— yang dalam bahasa pujangga sufi Jalaluddin ar-Rumi, merupakan alam eksistensial. Tidak mengherankan jika apresiasi sastra di negeri ini menjadi perkara yang tidak mudah.
Selain disebabkan faktor di atas, dalam masyarakat kita berkembang fenomena: Pertama, stigma yang sudah terbangun terhadap dunia sastra, sebagai dunia yang rumit dan penuh teka-teki. Kedua, kondisi pendidikan (pengajaran) sastra yang melaju pada jalur serba seragam (tuntutan kurikulum) sehingga miskin imajinasi. Ketiga, sastra dihadapi pembaca layaknya kantong kosong yang berbelanja makna pada sastra yang memiliki totalitas makna, dan keempat,intelektualitas yang tipis membuat diskusi sastra dengan pembacanya tidak menjadi sebuah silaturahmi yang hangat untuk saling berdialog,dan mempertengkarkan makna.
Perlu Pengajaran Metodologis
Antara dunia kita dan dunia sastra membentang apa yang disebut dengan konvensi, tradisi, sistem sastra. Inspirasi yang dipungut sastrawan dari dunia real, tidak serta-merta dituliskan begitu saja menjadi sebuah karya sastra, tetapi digubah melalui mekanisme konvensi sastrawi. Dengan demikian, dalam membaca sastra mesti menghayati proses yang dikuasai seperangkat aturan yang menjelmakan makna-makna tersebut. Konvensi, sistem, perangkat aturan, dan mekanisme sastrawi ini menjadi sebuah keniscayaan untuk dipahami pembaca.
Sudah barang tentu kerja mencerahkan pembaca ini menjadi tugas pengajaran sastra, baik di institusi formal (sekolah-sekolah), maupun kritik dan ulasan sastra di media massa. Sayangnya di institusi formal, pengajaran sastra masih tetap stagnan meski beragam hujatan dan kritikan dialamatkan padanya. Pengajaran sastra masih beringsut pada era Orde Baru yang serbasentralistik.
Hadirnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), tidak mengubah praktik metodologis pembelajaran di kelas.Pada gilirannya, pemahaman peserta didik terhadap metodologi pengungkapan makna sastra sangat rapuh.Kerapuhan metodologis ini pula yang menyebabkan apresiasi mereka terhadap karya sastra sangat lemah— untuk mengatakan tidak ada. Jangankan untuk mengapresiasikan,mengetahui maknanya saja terlampau sulit.
Demikian halnya pergulatan pemikiran sastra di perguruan tinggi (PT). Beratus-ratus kajian sastra dibuat mahasiswa atau dosen guna meraih gelar kesarjanaan (S-1, S-2, dan S-3).Bersusah payah mereka melakukan penelitian. Tetapi setelah menjelma dalam bentuk skripsi, tesis maupun disertasi, lantas hanya ditumpuk dalam ruang kumuh dan sempit.Tidak ada kontribusi sedikit pun terhadap sivitas akademik lainnya (selain referensi membuat karya ilmiah),apalagi terhadap masyarakat luas.
Tak heran jika sastra pun menjadi barang asing bagi kaum intelektual yang mestinya memberikan pencerahan secara metodologis kepada masyarakat luas.Pada gilirannya, sastra akan terus menjadi milik kaum sastrawan saja tanpa memberi kontribusi pada kehidupan masyarakat pembaca. Sastra pun menjadi ruang sepi dan senyap lantaran tidak ada diskursus, dialog maupun kritik dari masyarakat sehingga sustainabilitas (kemampuan bertahan) sastra semakin memprihatinkan.(*)
* Agus Wibowo, Esais Sastra,Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 30 September 2007
No comments:
Post a Comment