Video Game sudah menjadi permainan favorit anak-anak. (AP/Aex Suban)
PERKEMBANGAN teknologi tidak sepenuhnya membawa dampak positif bagi perkembangan kreativitas anak. Kemandulan kreativitas seni anak saat ini boleh jadi dipicu oleh perkembangan teknologi instan. Dampak dari kemudahan segala sesuatu secara instan di era teknologi yang membuat semua hal mudah didapat secara instan ternyata membuat anak cenderung pasif.
Anak-anak menjadi lebih suka duduk di depan televisi, menonton acara kartun, menonton DVD, dan melakukan rutinitas mengasyikkan lain yang bersifat individual seperti mengoperasikan video games.
Koordinasi seperti tangan, mata, kaki yang cenderung pasif membuat imaginasi sang anak tidak berkembang baik. Keadaan ini membuat kreativitas anak semakin mundur dan akhirnya mandul. Hal ini dipaparkan Pematung, F M Widayanto, dalam Seminar Pendidikan Apresiasi Seni di Kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ), baru-baru ini.
Pemasungan ekspresi anak bermula dari sistem yang berlaku disekolah. Anak diarahkan harus begini dan begitu sehingga kemampuan imajinatifnya terbentur dengan logika yang dipaksakan.
"Pengembangan imajinasi anak lewat menggambar contohnya, seharusnya menggambar merupakan fasilitas imajinasi anak. Tetapi yang terjadi adalah penyeragaman kreativitas," ungkapnya.
Anak diajarkan untuk menggambar gunung, contohnya dengan gambaran bahwa sebuah gunung memiliki model kerucut. Padahal, dalam gambaran yang sebenarnya, gunung tidak selamanya kerucut. Disini terlihat bahwa imajinasi anak terpasung dengan pemahaman mengenai gambaran sebuah gunung.
Padahal kreativitas anak sebenarnya dapat berkembang baik melalui permainan-permainan sederhana seperti mencorat-coret dinding, menggambar di tanah, bermain lumpur, membentuk sesuatu dengan media-media sederhana seperti tanah. Semakin banyaknya permainan dengan teknologi tinggi membuat permainan-permainan tradisional terpinggirkan.
Permainan tradisional layaknya congklak, damdas, ular tangga, lompat tali, main kereta dengan kulit jeruk, gatrik, main kelereng, kasti sebenarnya memberikan kesempatan kepada anak anak melatih kreativitasnya dalam menyusun strategi dan berinteraksi dengan teman-temannya. Di samping itu, anak-anak juga lebih bebas bergerak, berlari, dapat berekspresi menunjukkan ketrampilan tangan, dan kaki yang mereka miliki serta bekerja sama dalam kelompok.
Seorang anak yang berinteraksi secara lebih luas dengan teman-temannya dalam permainan akan semakin peka terhadap lingkungannya. Dengan jalan ini, anak bisa menjadi lebih akrab dengan apa yang ada di sekitarnya dan memanfaatkan materi yang ada secara kreatif.
Sementara itu, seniman tari Retno Maruti berpendapat lingkungan keluarga merupakan salah satu wadah pendidik jiwa seni anak. Dengan mengalami proses melihat, mengalami, merasakan, tanpa disadari sang anak akan mengalami pengalaman batin yang dalam, dan berpengaruh dalam pembentukan karakternya.
Mudahnya seorang anak mendapatkan kemudahan teknologi akan memasung kreativitas mereka dalam dunia seni. Di sinilah orangtua dituntut untuk mengambil perannya memberikan gambaran agar kreativitas anak tumbuh secara alami.
"Semakin seringnya mengajak anak ke acara pergelaran seni atau pameran kesenian, sang anak dapat mengenal karya seni dan menghargai, bahkan mengembangkan kreativitas seni yang mereka miliki," ungkap dosen sejarah kesenian Universitas Indonesia (UI), Edi Sedyawati.
Sebagai lulusan Keramik Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Widayanto menjelaskan bahwa seni adalah ekspresi diri dalam bentuk sebuah karya yang terwujud dari keseharian seseorang.
"Banyak karya seni yang dapat dikembangkan oleh anak dewasa ini. Mulai diperkenalkan dengan kreativitas seni budaya Indonesia seperti motif batik, songket, hasil tenun, hingga ornamen kayu. Semua ini bisa menjadi gambaran bagi anak untuk mengembangkan kreativitas mereka," tambah Widayanto. [MAR/A-14]
Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 18 September 2007
No comments:
Post a Comment