Saturday, February 17, 2007

A.S. Dharta (1923-2007): Akhir Hidup Pengarang Lekra

-- Ajip Rosidi*


PADA dasarnya A. S. Dharta itu seorang romantis. Hal itu tampak di antaranya dari nama-nama pena yang digunakannya. Pada masa revolusi, ketika dia mulai menulis sajak dalam majalah Gelombang Zaman yang terbit di Garut dipimpin oleh Achdiat K. Mihardja dengan Tatang Sastrawiria, dia menggunakan nama Kelana Asmara. Kita tahulah kira-kira orangnya bagaimana kalau mempergunakan nama seperti itu. Entah Kelana yang mencari Asmara, entah Asmara yang berkelana. Kemudian dia gunakan juga nama samaran Yogaswara. Seperti diketahui Yogaswara adalah tokoh utama dalam roman R. Memed Satrahadiprawira yang berjudul Mantri Jero. Agaknya dia kagum sekali kepada tokoh satria muda yang jujur berpegang kepada kebenaran sehingga berani menyelam di Leuwi Panereban untuk membuktikan bahwa dirinya bersih, tidak seperti yang difitnahkan orang kepadanya.

Saya kira dia menggunakan nama samaran A.S. Dharta menjelang akhir tahun 1940-an, ketika dia banyak menulis dalam majalah Spektra yang terbit di Jakarta dan juga dipimpin oleh Achdiat K. Mihardja. Pada waktu itu dia di antaranya menyerang para pengarang ‘45 dengan mengatakan bahwa Angkatan ‘45 sudah mampus, sehingga timbul polemik yang ramai. Selanjutnya nama A.S. Dharta itulah yang dia gunakan sebagai nama sehari-hari, walaupun dia juga kalau menulis mempergunakan nama samaran baru antaranya Klara Akustia. Asrul Sani pernah mengatakan bahwa nama Klara Akustia itu diambil Dharta dari nama Hongaria. Keterangan Asrul itu keliru. Nama Klara Akustia digunakan setelah Dharta ditinggalkan lari oleh istrinya yang sehari-hari dia sebut “Klara”, walaupun namanya sebenarnya bukan demikian. Istrinya itu melarikan diri dengan seorang serdadu KNIL kabur ke negerinya.

Untuk membuktikan bahwa walaupun ditinggalkan lari dan dikhianati oleh istrinya, dia tetap setia, maka digunakannya nama Klara Akus(e)tia.

Menurut Ramadhan K.H. yang pernah bersama-sama dengan dia di HIS Cianjur, nama panggilannya sehari-hari adalah Rodji. Mungkin lengkapnya Fachrurodji. Kalau benar, artinya dia berasal dari lingkungan keluarga Islam yang cukup kental karena nama itu jelas nama Islam. Tetapi ketika Boejoeng Saleh menulis “Perkembangan Kesusasteraan Indonesia” yang dimuat dalam Almanak Seni 1957 bahwa namanya yang sebenarnya adalah Rodji, Dharta naik pitam dan mengancam akan menyeret Boejoeng ke pengadilan. Sayang, Boejoeng tidak sampai benar-benar diseret ke pengadilan sehingga sampai sekarang kita belum tahu siapa nama A.S. Dharta sebenarnya. Mungkin harus ditanyakan kepada keluarga atau sahabatnya sebaya di Cibeber yang kemungkinan besar sudah punah semua, karena ketika meninggal tanggal 7 Februari 2007, usia Dharta hampir 84 tahun, karena dia lahir di Cibeber, Cianjur tanggal 7 Maret 1923. Tampaknya akan sulit mencari kerabat atau sahabatnya yang usianya lebih tua daripadanya atau sebaya dengan dia, yang masih hidup dan ingat akan namanya yang sebenarnya.

Tapi what’s in a name, kata Shakespeare. Dia sendiri lebih dikenal sebagai A.S. Dharta. Nama-nama yang lain hanya dia gunakan sebagai nama pena belaka. Yang dia gunakan sebagai nama pengarang bukunya yang hanya satu yaitu kumpulan sajak Rangsang Detik adalah Klara Akustia. Buku itu diterbitkan oleh penerbit Lekra tahun 1957.

***

Pada tahun 1949 atau 1950, Dharta bersama dengan beberapa seniman dan pengarang lain (di antaranya Achdiat K. Mihardja dan H. B. Jassin) di rumah sahabatnya, M.S. Azhar di Jalan Siliwangi simpangan kecil dari Jalan Dr. Wahidin Jakarta, mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Lembaga Kebudayaan Rakyat yang kemudian lebih terkenal dengan singkatannya, Lekra. Salah seorang yang hadir pada waktu pembentukan organisasi tersebut adalah Njoto, tokoh yang bersama Aidit menghidupkan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah pemberontakan Madiun. Tetapi pada waktu itu tampaknya Njoto belum banyak dikenal, sehingga orang-orang seperti Achdiat dan Jassin tidak memerhatikannya. Dan mereka berdua tidak turut menyusun Mukadimah Lekra yang disahkan pada bulan Agustus 1950.

Dharta dalam organisasi tersebut diangkat menjadi sekjennya. Seperti diketahui, kedudukan sekjen dalam organisasi kiri dianggap sebagai yang terpenting. Kedudukan itu dipegangnya terus sampai tahun 1959. Pada pemilu yang pertama diadakan di Indonesia (1955), Dharta dicalonkan sebagai anggota konstituante oleh PKI dan terpilih. Maka dia duduk sebagai anggota lembaga yang bertugas menyusun UUD baru itu. Tapi setahun sebelum lembaga itu dibubarkan oleh Presiden Sukarno yang didukung oleh Mayjen A.H. Nasution (Angkatan Darat), Dharta dipecat oleh partainya karena ketahuan bahwa dia berselingkuh dengan wanita yang bersuami. Pada waktu itu ada dua seniman anggota perwakilan PKI yang dipecat oleh partai karena tuduhan yang sama: berselingkuh. Selain Dharta yang dipecat dari keanggotaannya di konstituante, pelukis S. Sudjojono juga dipecat dari keanggotaannya di DPR. Sudjojono juga dituduh berselingkuh dengan wanita yang masih menjadi istri orang. Tapi berlainan dengan Sudjojono yang menerima pemecatan itu dan kemudian menikah dengan wanita itu setelah bercerai dari suaminya, Dharta menyatakan menyesal atas perbuatannya dan dia meminta ampun kepada partai, di antaranya dia menerima menjadi kader kembali. Niscaya kedudukan kader itu lebih rendah dari calon anggota. Sebagai tanda bahwa dia benar-benar menyesal, dia harus mengirimkan surat pernyataan menyesalnya entah kepada berapa puluh orang. Saya pernah ikut membaca surat penyesalannya itu yang dikirimkan kepada Achdiat K. Mihardja. Waktu kami membicarakan surat itu setelah membacanya, saya menyatakan kepada Achdiat bahwa saya tidak mengerti bagaimana orang seperti Dharta sampai mau menulis surat yang menghinakan dirinya seperti itu hanya karena mau diterima kembali di lingkungan PKI. Menurut Achdiat, buat orang komunis, diangkat menjadi anggota itu merupakan kehormatan. Oleh karena itu, ada seniman yang kami kenal juga (dia sebut namanya), ketika dinyatakan bahwa dia diterima (atau diangkat) sebagai anggota PKI setelah menjadi calon anggota beberapa lama, dia menangis karena hatinya gembira.

Saya sendiri sejak itu tidak bisa menaruh respek kepada Dharta. Saya bertemu dengan dia terakhir kira-kira bulan November 1965 setelah Gestapu. Ketika itu orang PKI dan Lekra belum ditangkapi, tetapi harus melapor di kantor polisi setiap minggu. Dharta baru selesai melapor di kantor polisi yang ketika itu bertempat di ujung utara Jalan Braga bertentangan dengan Gedung BI. Dia mau pulang ke arah Jalan Banceuy, sementara saya bersama dengan dua orang redaktur Madjalah Sunda yang lain baru pulang dari percetakan Ganaco di Jalan Gereja setelah melewati viaduck mau naik ke arah Jalan Braga. Ketika itu Madjalah Sunda yang saya pimpin dicetak di percetakan Ganaco. Isi Madjalah Sunda banyak mengkritik kaum komunis dan setelah terjadi Gestapu terang-terangan mendukung suara yang mendesak Presiden Sukarno agar membubarkan PKI.

Begitu melihat saya, Dharta berhenti dan mengajak berbicara.

“Sekarang Bung yang menang,” katanya. Dia selalu berbicara bahasa Indonesia walaupun dia juga menulis karya sastra dalam bahasa Sunda. Dia selalu memanggil Bung kepada saya. “Karena itu Bung harus menolong saya.”

“Menolong apa?” saya bertanya.

“Saya perlu uang. Bung kasihlah saya uang.” Dharta memang cenderung suka meminta uang kalau bertemu walaupun sebenarnya kami tidak begitu akrab.

“Kalau Saudara kalah bukan berarti saya yang menang,” jawab saya. “Dan kalaupun saya yang menang, belum berarti saya punya uang. Dan kalaupun saya punya uang, pasti saya tidak akan memberikannya kepada Saudara, apalagi di tengah jalan begini. Kalau ada yang menyaksikan saya memberikan uang kepada Saudara, saya akan dilaporkan bahwa saya membantu kaum pemberontak.”

Seingat saya, Dharta tidak memberi jawaban dan saya segera berjalan menjauhinya. Setelah berada dalam penjara Kebonwaru dia juga saya dengar pernah mengirim surat kepada Kang Atje Bastaman meminta uang sehingga Kang Atje ketakutan dan meminta nasihat kepada Kang Koerdie. Baik Kang Atj? maupun Kang Koerdie adalah kenalannya yang cukup akrab.

Pada tahun 1976, dia dibebaskan dari tahanan dan tinggal di kampung kelahirannya di Cibeber, Cianjur. Ketika menyusun Ensiklopedi Sunda saya pernah meneleponnya meminta keterangan tentang Barmara untuk kepentingan penyusunan ensiklopedia, tapi dia menolak memberi keterangan karena dia ingin mendapat honorarium dari sajak-sajaknya yang dimuat dalam Kanjutkundang, padahal begitu Kanjutkundang terbit (1963) saya langsung mengirimkan honorarium kepada semua pengarang yang karangannya dimuat di dalamnya, termasuk kepada Dharta.

Kira-kira sebulan yang lalu saya ditelepon oleh anaknya yang perempuan yang memberitahukan bahwa ayahnya ingin saya jenguk di Cibeber, tapi dia sendiri sudah mulai pikun. Cibeber letaknya di luar jalur perjalanan saya sehingga kecil kemungkinan saya dapat memenuhinya. Saya tidak berani berjanji.

Tapi ternyata Dharta sendiri yang mendahului meninggalkan jasadnya di Cibeber --tapi mungkin sebagai komunis dia tidak percaya akan adanya alam di balik kematian-- sehingga dapatkah saya mengucapkan selamat jalan kepadanya?

* Ajib Rosidi, Budayawan

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 17 Februari 2007

No comments: