Friday, February 16, 2007

Rehabilitasi Benda Cagar Budaya Butuh Rp 600 Miliar

UNTUK merenovasi 317 benda cagar budaya (BCB) yang rusak akibat gempa tektonik 27 Mei 2006, dibutuhkan anggaran sebesar Rp 600 miliar. Akan tetapi, sampai saat ini dana untuk renovasi itu baru dibahas dalam rapat APBD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan jumlahnya hanya Rp 6 miliar atau satu persen dari kebutuhan.

Hal itu dikemukakan Kabid Sejarah Purbakala Dinas Kebudayaan DIY, Suyoto, dalam pertemuan Forum Yogya Bangkit (FYB), di Kepatihan, Yogyakarta, Selasa (13/2).

Pertemuan FYB yang dipimpin Wakil Ketua FYB, Prof Dr Koesnadi Hardjasoemantri SH itu, khusus membahas tentang rehabilitasi dan rekonstruksi cagar budaya pascagempa bumi di DIY.

Pertemuan juga dihadiri Dirjen Sejarah dan Purbakala Dr Hari Untoro Drajat, serta berbagai pihak yang terkait aktivitas pelestarian BCB di DIY baik pemerintah, swasta, maupun LSM.

Candi Prambanan [Pembaruan/Sumedi TP]

Dikatakan, kerusakan tersebut cukup beragam, mulai dari rusak berat, sedang, sampai rusak ringan. Demikian pula kategorinya, ada yang termasuk BCB kelas dunia seperti Candi Prambanan, kelas nasional, maupun yang sifatnya masih milik masyarakat umum seperti bangunan rumah penduduk.

"Untuk merenovasi BCB yang rusak tersebut, Dinas Kebudayaan DIY membutuhkan anggaran sekitar Rp 600 miliar," ujarnya.

Di seluruh DIY terdapat 1.132 bangunan cagar budaya dengan berbagai kategori. Sebelum gempa, bangunan yang memang sudah mengalami rusak parah sekitar 8,2 persen. "Umumnya karena memang belum tertangani dengan baik. Namun, setelah gempa, yang rusak mencapai 317 atau naik menjadi 25,70 persen," katanya.

Pemprov DIY dengan berbagai pihak terkait, baik Keraton Yogyakarta, Jogja Heritage Society, Dewan Kebudayaan DIY, UGM, LSM, maupun lembaga-lembaga asing seperti dari Belanda, Jerman, dan negara lain telah berupaya melakukan serangkaian kegiatan meski sifatnya darurat.

"Penanganannya memang tidak mudah, membutuhkan kecermatan, kehati-hatian, dan tentunya dana yang tidak sedikit. Karena itu, yang bisa dilakukan baru berupa pendokumentasian," ucapnya. [152]

Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 16 Februari 2006

No comments: