Monday, February 19, 2007

Warisan Pramoedya: Keberpihakan Perjuangan Perempuan dalam Karyanya

Pramoedya Ananta Toer


Jakarta, Kompas - Kesenimanan bukan sekadar tugas menyatakan keyakinan dan pikiran pribadi penulis dalam beragam bentuk karyanya.

Di dalamnya juga ada tugas sosial yang berupaya untuk membela manusia sesuai dengan realitas sosial yang ada. Hal ini yang dilakukan Pramoedya Ananta Toer dalam karya-karyanya yang diminati banyak kalangan.

Pramoedya dengan konsisten menggambarkan perjuangan untuk melawan kekuasaan kolonialisme dan feodalisme yang menjadi penyebab ketertindasan ekonomi, sosial, politik, dan kemanusiaan.

Realitas sosial bertema kekuasaan feodalisme dan kolonialisme yang dalam bentuk lain juga masih relevan sampai saat ini bukan saja dinyatakan secara gamblang lewat karakter tokoh- tokohnya, tetapi juga mencoba mencari solusi.

Penelaahan terhadap karya- karya Pram diungkap dalam diskusi "Perempuan dalam Roman Karya Pramoedya Ananta Toer" di Taman Ismail Marzuki di Jakarta, Jumat (16/2). Kegiatan ini merupakan rangkaian acara yang dilakukan The Nyai Ontosoroh Project yang akan mempergelarkan lakon Nyai Ontosoroh, tokoh roman Bumi Manusia, Pramoedya, tanggal 21-23 April di TIM Jakarta. Pergelaran nanti merupakan hasil kolaborasi sejumlah organisasi perempuan di Tanah Air dan pernah pentas di beberapa daerah sejak tahun lalu.

Eka Kurniawan, penulis yang menjadi salah satu pembicara, mengatakan, dalam karya-karyanya, Pram memperlihatkan hubungan karakter antartokoh dengan menempatkan pada realitas dengan dua tema besar, yakni feodalisme dan kolonialisme.

Jika ada tokoh perempuan dalam karyanya, Pram akan menempatkan tokoh tersebut dalam realitas feodalisme atau kolonialisme.

"Kalau dia membicarakan keberpihakan tentang perempuan di zaman feodalisme, ya beda dengan kolonialisme," katanya.

Sedangkan Rieke Dyah Pitaloka, artis/penulis puisi, mengatakan, karya sastra adalah mimesi, meniru realitas masyarakat. Pram juga memperlihatkan problematika dalam realitas sosial feodalisme dan kolonialisme tanpa menggurui dan mencari solusi. "Tema itu bisa dikatakan masih relevan hingga kini dalam bentuk yang lain," kata Rieke.

Mengaitkan keberpihakan Pram dengan perempuan dalam karya-karyanya, kata Rieke, sering terlihat hubungan antara jender dan kekuasaan. Dalam sosok Nyai Ontosoroh terlihat bahwa perempuan dilemahkan oleh konstruksi sosial yang ada.

Sedangkan Dita Indah Sari, perempuan aktivis politik, mengatakan, membaca karya-karya Pram akan terlihat kritik dan kemarahan Pram terhadap kolonialisme dan feodalisme yang menjadi biang keladi ketertindasan ekonomi, politik, kebudayaan, dan kemanusiaan.

Perjuangan melawan ketertindasan melalui tokoh-tokohnya itu memang jarang menang.

"Tetapi, Pram seakan ingin mengatakan bagaimana proses melawan itu yang penting meskipun tidak menang," ujar Dita.

Ia juga melihat gambaran sosok perempuan yang ditampilkan Pramoedya tidak sekadar menjadi penghias supaya banyak karakter dalam ceritanya.

Pramoedya juga menempatkan tokoh-tokoh perempuan yang memiliki pendapat sendiri dan mengapresiasi pikiran-pikiran perempuan. (ELN)

Sumber: Kompas, Senin, 19 Februari 2007

No comments: