-- Myrna Ratna
SEUSAI Pemilihan Umum Legislatif 2009 bulan April lalu, lembaga pengkajian yang berbasis di Sydney, Australia, Lowy Institute for International Policy, mengeluarkan kertas kerja karya Indonesianis asal Jerman, Marcus Mietzner, PhD (37), berjudul ”Indonesia’s 2009 Elections: Populism, Dynasties and the Consolidation of the Party System”.
Marcus Mietzner (KOMPAS/MYRNA RATNA)
Mietzner menyatakan, kemenangan Partai Demokrat pada pemilu lalu memberikan implikasi penting terhadap perkembangan sistem partai politik di Indonesia, di mana kebijakan ekonomi populis akan menjadi tren yang konstan dalam pemilu-pemilu mendatang. Ia menyimpulkan, program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang digelontorkan pemerintah menjelang Pemilu 2009, berkontribusi secara signifikan terhadap kemenangan Yudhoyono.
Berikut kutipan percakapan Kompas dengan Marcus Mietzner di Jakarta, akhir September lalu:
Anda menyebutkan kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pemilu Presiden 2009 banyak ditopang oleh kebijakan BLT. Apakah itu bisa dikategorikan sebagai politik uang?
Itu bergantung pada definisi politik uang. Sebenarnya fakta bahwa ada pemerintah mengeluarkan bantuan keuangan pada masyarakat pada saat pemilu bukan hal yang luar biasa. Banyak negara melakukan hal seperti itu itu, termasuk di Australia. Setiap pemilu, baik kubu pemerintah maupun oposisi menawarkan pada pemilih, apakah itu keringanan pajak, pembayaran subsidi, bantuan ini dan itu. Jadi, di negara mana pun itu hal biasa.
Menurut pemahaman saya, politik uang itu, misalnya pemberian amplop kepada orang yang datang ke acara kampanye, itu dikategorikan politik uang. Yang ini (BLT) memang bentuknya baru. Yudhoyono mungkin tahu bahwa itu sudah dipraktikkan oleh Thaksin di Thailand dan sangat berhasil. Tapi hal serupa juga ada di Filipina, India, dan negara-negara Barat. Jadi, kalau disebut bahwa itu kampanye berdasarkan insentif keuangan kepada masyarakat, itu ya. Tapi, kalau dalam pengertian melanggar ketentuan politik uang yang ada di UU Pemilu, itu bukan.
Ini preseden yang bagus atau buruk untuk sistem pemilu Indonesia?
Ada baiknya dan buruknya. Baiknya, ada keuntungan langsung untuk masyarakat. Kalau Anda bicara langsung dengan pemilih, banyak ibu-ibu rumah tangga bilang, ini pertama kali dalam sejarah di mana pemerintah memberikan sesuatu secara konkret. Dalam bahasa ilmu politik, itu adalah responsiveness, yaitu elite sadar ada kebutuhan di masyarakat dan pemilu merupakan kesempatan untuk menawarkan program pada masyarakat.
Segi negatifnya, sebetulnya ada program-program lain yang bersifat jangka panjang, apakah itu untuk pembangunan infrastruktur atau kebijakan antikemiskinan yang lebih bersifat struktural dan tidak hanya ad hoc. Nah, hal seperti ini diabaikan. Apakah dalam kondisi krisis ekonomi seperti saat ini pemberian uang secara tunai kepada masyarakat akan efektif? Hal itu diperdebatkan banyak pihak. Kalau menurut saya, Indonesia memang mengalami krisis infrastruktur dan krisis institusi dalam masalah penanggulangan kemiskinan. Yang diperlukan di situ adalah sistem untuk memerangi kemiskinan, bukan cuma pemberian uang yang bersifat ad hoc.
Tren seperti itu akan menjadi permanen dalam politik Indonesia?
Baik pemerintah maupun kelompok oposisi sudah melihat bahwa strategi itu sangat berhasil sehingga ada kemungkinan besar hal itu akan dilembagakan. Namun, tidak seperti di Thailand, di Indonesia sifatnya lebih ad hoc, yaitu menjelang pemilu. Jadi, pada tahun 2012, 2013, rasanya kita akan melihat kembali program seperti itu. Menurut saya, penawaran insentif keuangan kepada para pemilih menjelang pemilu akan menjadi tradisi.
Dukungan terhadap Yudhoyono akan sangat kuat, khususnya di parlemen. Anda melihat pemerintahan ke depan seperti apa?
Ada keprihatinan dari banyak pihak, termasuk para pengamat politik asing, salah satunya Dan Slater, yang beberapa tahun terakhir mengembangkan teori bahwa politik Indonesia itu mengarah pada kartel politik. Artinya, tidak ada kompetisi antara kekuatan politik di Indonesia. Menurut teori itu, elite berkumpul dan bagi-bagi kekuasaan di antara mereka. Mereka hanya menciptakan kesan bahwa ada persaingan, tetapi yang sebenarnya terjadi hanyalah bagi-bagi kekuasaan dan posisi.
Anda setuju itu?
Selama ini saya menolak teori ini dengan beberapa alasan. Menurut saya, kalau mau melihat contoh kartel politik, lihat ke Malaysia. Barisan Nasional, itu kartel politik, jadi sebelum pemilu sudah bagi-bagi kursi, posisi, uang. Sehingga, tidak ada kompetisi pada hari-H-nya. Adapun di Indonesia masih banyak kompetisi ketat pada saat pemilu, misalnya antara PDI-P, Golkar, Demokrat. Jadi, saya tidak terlalu setuju. Namun, saya mengakui, bila pemerintahan yang akan dilantik 20 Oktober mendatang mencerminkan koalisi yang merangkum semua kekuatan politik, maka Indonesia telah mengambil satu langkah lebih dekat ke kartel politik.
Selama ini, masih ada satu partai besar, yaitu PDI-P, yang berfungsi sebagai oposisi di parlemen, dan itu cukup untuk suatu demokrasi yang matang. Tapi kalau PDI-P pun saat ini masuk ke kabinet, juga Hanura, Gerindra, dan semua partai yang terwakili di DPR, itu sangat mengkhawatirkan. Menurut saya, itu yang memang diinginkan oleh Presiden Yudhoyono, bukan untuk menciptakan kartel, tetapi untuk menawarkan konsep politik baru: ”sudahlah tidak ada persaingan politik di antara kita, kita bersatu untuk melayani bangsa”.
Namun, ini merugikan perkembangan demokrasi di Indonesia. Bagi pemerintah, legitimasi akan turun karena tak ada lagi yang mengawasi pemerintahan. Untuk parpol, saya kecewa, kok PDI-P, Gerindra, Hanura tidak mengambil pelajaran dari kasus Golkar, yang berpartisipasi dalam pemerintahan, tetapi tidak dapat keuntungan apa-apa. Kalau pemerintahan mendatang berhasil, (yang memperoleh kredit) bukan partai pendukung, melainkan Demokrat.
Fungsi parpol
Dalam kertas kerjanya Mietzner menyatakan, kemenangan fantastis Partai Demokrat tidak serta-merta mengindikasikan bahwa telah terjadi pengembangan institusi kepartaian di dalam tubuh parpol tersebut. Kemenangan Demokrat lebih merupakan cerminan popularitas Yudhoyono dan kinerja pemerintah. Fenomena itu menyisakan pertanyaan mengenai partai semacam apa yang akan muncul di masa depan.
Apakah fungsi parpol pada masa depan akan berkurang?
Memang ketika sistem suara terbanyak diberlakukan, banyak pengamat, termasuk saya, berpendapat bahwa fungsi parpol akan berkurang. Namun, setelah melihat hasil Pemilu Legislatif 2009 ternyata masih banyak pemilih yang memilih caleg di urutan satu atau dua. Ada alasan psikologis di situ. Ketika orang tidak mengenal satu nama pun dari daftar yang diajukan, mereka langsung ke nomor satu. Jadi, hampir 80-90 persen yang menang adalah nomor satu atau nomor dua. Itu berarti daftar urutan dengan sistem apa pun masih sangat kuat. Dengan demikian, peran partai tetap kuat.
Kedua, saya yakin untuk Pemilu 2014 sistem pemilu akan berubah lagi. Bentuknya belum tahu, tetapi saya kira partai politik di parlemen akan menciptakan sistem politik yang melayani kepentingan mereka.
Pengaruhnya terhadap kaderisasi di dalam parpol?
Kaderisasi tidak jadi masalah di Indonesia. Kalau Anda lihat saat ini siapa yang masuk ke parpol , banyak orang muda. DPR kali ini adalah yang termuda dalam sejarah Indonesia. Jadi, bila di sejumlah negara banyak orang meninggalkan parpol, hal itu tidak terjadi di Indonesia. Bahwa masih ada persoalan dalam kaderisasi, itu, ya. Kaderisasi dalam arti orang yang dicari parpol bukan sekadar untuk pemilu, tetapi untuk kepentingan parpol itu sendiri, itu masih harus dilembagakan.
Kalaupun ada kritik yang mengatakan, ”kok dari dulu itu-itu saja, Megawati, Amien Rais, Gus Dur?” persoalannya memang ada di level paling atas. Sementara di level bawah, regenerasi berlangsung sangat cepat. Saat ini 55-65 persen di DPR adalah muka baru.
Bagaimana dengan dinasti politik?
Ya, itu sangat menarik, tetapi bukan hal luar biasa. Di AS ada keluarga Clinton, Kennedy, Bush, di Perancis juga begitu. Namun, itu memang menjadi indikasi bahwa partai sering kali ambil jalan pintas. Mereka mau langsung mengganti seorang tokoh dengan penerusnya tanpa memberikan waktu yang selayaknya diberikan, yaitu 20-25 tahun untuk mengembangkan tokoh seperti itu. Mungkin mereka berpikir untuk apa capek-capek menunggu 25 tahun, ini ada penerus bapaknya, suaminya, dan ternyata formula itu berhasil untuk para pemilih.
Apakah tahun 2014 bisa menjadi era baru dengan pemimpin yang muncul dari sebuah generasi baru?
Untuk saya, kita harus melihat perkembangan lima tahun ke depan. Saya belum yakin 100 persen, apakah Yudhoyono benar-benar tidak akan mempertimbangkan pencalonan istrinya. Kita sudah mendengar pernyataan presiden yang sangat tegas bahwa itu tidak akan terjadi, tetapi kita juga tahu politik adalah politik. Kita sudah sering melihat orang yang berubah pikiran dengan alasan adanya desakan masyarakat yang kuat.
Menurut saya, kelompok di sekitar Yudhoyono akan melihat situasinya pada tahun 2012- 2013. Jika pengganti Yudhoyono yang ditunjuk kelihatannya sulit bersaing dengan calon dari partai lain, saya rasa kelompok itu akan mempertimbangkan kembali (pencalonan Ani Yudhoyono). Kalau itu terjadi, tentunya konsep dinasti politik akan berlanjut. Jadi, terlalu dini untuk menjawab pertanyaan seperti itu.
Luar biasa
Anda sudah cukup lama mengamati perkembangan politik di Indonesia. Pandangan Anda setelah reformasi berjalan lebih dari 10 tahun?
Yang sering luput dari perhatian masyarakat Indonesia, secara komparatif Indonesia itu sangat berhasil. Luar biasa. Statistik apa pun yang kita ambil, misalnya dari Freedom House yang setiap tahun mengeluarkan kemajuan demokrasi di semua negara di seluruh dunia, Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang sudah 3-4 tahun berturut-turut dianggap ”bebas” (kategorinya bebas, setengah bebas, tidak bebas). Thailand dan Filipina menurun, dulu dianggap bebas sekarang ”setengah bebas”, sementara Malaysia dan Singapura masih memakai sistem politik yang diciptakan tahun 60-an. Jadi, dari segi itu Indonesia sangat berhasil.
Indonesia juga membuktikan bahwa prediksi buruk pada tahun 1998 tidak terjadi. Misalnya saja prediksi bahwa Indonesia akan menjadi seperti Uni Soviet, kembali ke otoritarianisme, semua itu tidak terbukti. Kekurangannya, tentu saja nomor satu adalah korupsi. Namun, ketika saya melihat ada penangkapan, ada penyadapan terhadap anggota DPR, ada rekaman diputar di pengadilan, orang divonis 10-20 tahun, itu luar biasa.
Anda melihat ada upaya pelemahan KPK belakangan ini?
Tentunya ada, tetapi itu sendiri menjadi indikasi dari keberhasilan. Karena sekarang ada lembaga-lembaga yang merasa terancam dan merasa terganggu oleh KPK, itu berarti KPK berhasil. Meskipun KPK juga harus keluar dari tradisi bahwa hanya bekas menteri yang sudah tak punya kewenangan yang ditangkap, sementara yang masih berkuasa atau bekas pejabat yang berafiliasi dengan partai yang berkuasa, sulit ditembus. Jadi sebetulnya masih banyak PR bagi KPK untuk menangkap the big fish.
Bagaimana Anda melihat peran TNI dalam peta politik Indonesia?
Itu juga sangat mengejutkan. Bahwa dalam jangka waktu beberapa tahun TNI hampir hilang dari pusat kekuasaan. Saya bukan ingin bilang bahwa TNI tak punya kekuatan, tetapi TNI bukan lagi veto player. TNI tidak bisa lagi memveto kebijakan pemerintah. Ini berbeda dengan perkembangan yang terjadi di Thailand, di mana dengan konstitusi baru militer memperoleh banyak kekuatan lagi.
Bagi saya, yang penting bukan sikap TNI-nya. Bagaimanapun TNI akan selalu menganggap diri sebagai lembaga yang paling berhak untuk menentukan nasib bangsa. Sangat sulit bagi mereka untuk melepaskan paradigma itu karena para jenderal yang memimpin TNI itu lulusan akademi 75-77, periode saat Orba masih rezim militer, belum mengalami sipilisasi politik. Yang lebih penting adalah bagaimana lembaga-lembaga sipil dan lembaga-lembaga demokrasi tetap kuat. Kudeta ataupun rezim militer akan berhasil kalau ada konflik di dalam sistem politiknya. Nah, sistem demokrasi Indonesia saat ini sangat stabil.
Sumber: Kompas, Minggu, 11 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment