-- Ahmad Riawan Amin
MASIH relevankah bicara tentang Hari Sumpah Pemuda di zaman yang serba instan ini? Apa yang bisa dipetik oleh generasi masa kini dari peristiwa yang terjadi 81 tahun silam itu.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, setidaknya dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yakni reaktualisasi dan reinterpretasi. Reaktualisasi Sumpah Pemuda sangat penting karena nilai-nilai Sumpah Pemuda 1928 pada dasarnya tetap diperlukan oleh bangsa ini. Nilai-nilai yang dimaksudkan terutama berkait dengan persatuan dan kesatuan serta integrasi bangsa.
Kongres Pemuda 1928 di Jakarta yang mencetuskan Ikrar Pemuda dan kemudian dikenal dalam sejarah Indonesia dengan nama Sumpah Pemuda 1928 berhasil melebur organisasi-organisasi pemuda kedaerahan/kesukuan seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Sumatera Bond dan lain-lain menjadi perhimpunan yang mengutamakan keindonesiaan. Mereka, dengan kesadaran yang tinggi, menanggalkan baju kedaerahan dan menggantinya dengan baju kebangsaan. Mereka meletakkan perbedaan-perbedaan, terutama etnis maupun agama, di bawah kepentingan yang jauh lebih besar, yakni kebangkitan dan kemerdekaan Indonesia. Gebrakan yang dilakukan oleh para pemuda itulah yang 17 tahun kemudian melahirkan kemerdekaan Indonesia.
Setelah kemerdekaan itu tercapai, bukan berarti pekerjaan telah selesai. Salah satu di antaranya adalah menjaga keutuhan Indonesia, sebab masih banyak elemen dalam masyarakat yang masih apatis, bingung bersikap, bahkan memberontak terhadap pemerintah pusat yang sah. Di sini, lagi-lagi semangat persatuan dan kesatuan demi menjaga integrasi bangsa dan Negara Indonesia sangat diperlukan.
Dalam hal ini, menarik sekali pemikiran Kroeng Raba Nasution (ayah penulis) atau lebih dikenal sebagai S M Amin -- anggota Komite Besar Indonesia Muda, yang bersama Muhammad Yamin yang bertugas mencetuskan Sumpah Pemuda 1928. Dalam sebuah pidato politiknya di tahun 1948, tokoh yang menjadi gubernur pertama di Sumatera Utara, Aceh dan Riau itu menegaskan. "Marilah kita lenyapkan dari hati kita segala perasaan tidak senang yang semata-mata diakibatkan oleh peertimbangan-pertimbangan yang berdasar atas kepentingan diri sendiri. Marilah kita atasi setiap perasaan yang berakar dalam pertimbangan-pertimbangan yang mengenai kebangsaan yang sempit ataupun yang mengenai perbedaan agama. Negara kita berdasar antara lain atas kebangsaan yang satu, bangsa Indonesia; tidak ada tempat untuk bangsa Aceh, bangsa Batak ataupun bangsa Melayu; bagi Negara hanyalah satu bangsa; bangsa Indonesia yang terdiri dari beberapa golongan, yaitu yang berasal dari daerah Tapanuli, daerah Aceh, daerah Sumatera Timur dan seterusnya. Perbedaan agama bagi kita bukanlah menjadi soal. Kita bebas menganut agama yang kita percayai menurut keyakinan kita; perbedaan agama tidaklah sekali-kali memecah persatuan kebangsaan kita."
Semangat inilah yang perlu terus dijunjung tinggi oleh segenap bangsa Indonesia. Ide besar Sumpah Pemuda 1928 adalah penghormatan terhadap bhinneka tunggal ika: walaupun kita berbeda-beda, namun kita tetaplah satu juga, yakni Indonesia Raya. Kita harus berupaya menjembatani setiap perbedaan yang ada, kita harus selalu berupaya menjaga keutuhan Indonesia; kita harus melawan setiap upaya pihak manapun untuk memecah belah (disintegrasi) bangsa Indonesia. Baik dengan latar belakang etnis, ras maupun agama.
Pendekatan kedua adalah reinterpretasi Sumpah Pemuda. Seperti kita sama-sama maklumi, Sumpah Pemuda 1928 melahirkan ikrar para pemuda, yakni: berbangsa satu, bangsa Indonesia; bertanah air satu, tanah air Indonesia; dan berbahasa satu, bahasa Indonesia. Ketiga ikrar itu merupakan satu kesatuan.
Nah, di zaman globalisasi seperti ini, bukankah sah-sah saja kalau kita melihat ketiga komponen tadi bukan sebagai satu kesatuan yang wajib diikuti ketiga-tiganya, melainkan bisa saja salah satu sudah cukup? Misalnya, berbangsa satu, bangsa Indonesia. Setiap keturunan Indonesia, kalau ingin punya kewarganegaraan Indonesia, maka harus diakomodasi, walaupun dia sudah generasi keempat yang selama ini lahir dan tinggal di luar negeri. Misalnya, orang-orang keturunan Indonesia yang tinggal di Afrika Selatan. Atau orang Suriname asal Jawa, selama ini mereka berbahasa Jawa, tapi tidak bisa berbahasa Indonesia, dan mereka ingin menjadi warga Negara Indonesia, harusnya mereka kita terima. Demikian pula keturunan Maluku di Belanda, kalau mereka ingin menjadi warga negara Indonesia, kita terima dengan tangan terbuka.
Begitu pula halnya dengan bertanah air satu, tanah air Indonesia. Siapa pun yang lahir di Indonesia -- apa pun keturunannya, campuran Indonesia dengan asing, atau bahkan ayah dan ibunya dua-duanya asing - dia bisa menjadi warga Negara Indonesia.
Berikutnya adalah siapa pun yang bisa berbahasa Indonesia, dan ingin menjadi warga Negara Indonesia, sebaiknya kita terima. Contohnya adalah pengamat dari luar negeri yang ahli Indonesia seperti William Liddle.
Di samping tiga komponen tadi, ada satu jalur lagi yang menurut hemat saya tidak kalah pentingnya, yakni kontribusi. Contohnya, siapa yang meragukan kontribusi Multatuli dan Laksamana Maeda terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia? Jangan pula dilupakan puluhan, ratusan bahkan mungkin ribuan warga negara asing, seperti Amerika Serikat, Australia, India, Mesir dan lain-lain yang terlibat saat berdemonstrasi dan usaha-usaha mendukung kemerdekaan Indonesia. Dan di masa kini, ada sejumlah orang asing yang selama berpuluh tahun tinggal di Indonesia, seperti Bali dan Jawa Tengah; mereka mencintai Indonesia, dan berupaya mengangkat citra Indonesia di mata dunia, antara lain di bidang pariwisata, seni dan budaya, serta kerajinan.
Tidak ada Suriname, tidak ada Melayu, tidak ada bule (Barat), selama mereka mencintai Indonesia, maka mereka adalah orang Indonesia. Mereka berhak menyandang kewarganegaraan Indonesia.
Dengan pendekatan di atas, menurut saya Presiden AS, Barack Hussein Obama layak menyandang kewarganegaraan Indonesia. Semasa kecil dia pernah tinggal di Indonesia dan sekolah di Indonesia, yakni di SD Besuki, Menteng, Jakarta Pusat. Dia juga bisa berbahasa Indonesia. Dia mempunyai ayah tiri orang Indonesia dan mempunyai saudara tiri orang Indonesia. Sebagai kakak kelas dua tahun di atasnya, saya mempunyai kenangan yakni saat saya dan beberapa teman mengurung Obama di gudang milik Pak Husen, penjaga sekolah. Kalau kami tahu dia kelak menjadi seorang Presiden Amerika Serikat, kami mungkin tidak akan melakukannya!
Di samping faktor-faktor di atas yang tak terbantahkan, Obama mempunyai kontribusi penting bagi bangsa Indonesia. Sejak dilantik sebagai Presiden AS, dia tidak segan-segan mengungkapkan bahwa dia mempunyai kenangan manis waktu tinggal di Indonesia dan merindukan suasana maupun makanan khas Indonesia, seperti bakso dan lain-lain. Hal itu dia ungkapkan dalam berbagai kesempatan, termasuk saat melakukan kunjungan kenegaraan ke Inggris. Ekspresi kecintaan Obama kepada Indonesia tidak bisa dipisahkan dari kecintaannya terhadap perasaan intrinsik (kekaguman dan penghormatan) terhadap Islam, karena bapak dan kakeknya adalah seorang Muslim.
Hal ini, dalam pandangan saya, pastilah mempunyai dampak yang besar. Misalnya, mungkinkah berkurangnya gangguan terhadap Ambalat oleh angkatan laut Negara asing. dikarenakan mereka melihat bahwa presiden Negara adidaya Amerika Serikat adalah orang yang secara pribadi sangat dekat dengan Indonesia?
Bila konsep empat jalur ini bisa kita terima, dan Obama menjadi warga Negara Indonesia, maka keberhasilan Obama meraih Nobel Perdamaian juga menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Obama, dengan demikian, adalah jembatan antarbangsa, antarras, antarkeyakinan, bahkan antargenerasi.
Dengan semangat reaktualisasi dan reinterpretasi Sumpah Pemuda 1928 seperti diuraikan di atas, bangsa Indonesia benar-benar akan menjadi INDONESIA RAYA dengan koneksi global yang disegani.
Sumber: Jurnal Nasional, Rabu, 28 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment