-- Hikmat Gumelar*
SASTRA Indonesia bukanlah sastra lisan. Sedari lahirnya, sastra Indonesia diharap sebagai sastra tulis. Sedari lahirnya, sastra Indonesia meminta siapa yang hendak menggelutinya untuk sadar akan pengharapan demikian, dan sekaligus sedia memenuhi konsekuensinya.
Adapun konsekuensinya, hemat saya, pertama-tama mengenal benar perbedaan antara berbicara dengan tulisan dan berbicara secara lisan. Dalam pembicaraan lisan, kata hadir melalui suara, dan kehadirannya bersama bentuk mulut, sorot mata, kerutan jidat, gerak bahu, dan sebagainya. Dan di sana, ujaran remang bisa segera dibuat terang, ujaran menyimpang bisa segera dibuat lempang. Salah paham dan tafsir beragam mudah dielakkan. Guyub dan tertutup yang merupakan ciri budaya lisan terus berlanjut. Komunikasi langsung juga membuka peluang untuk berbahasa sembarang, tidak kritis, tidak elaboratif, tidak inovatif, tidak imajinatif, tidak kreatif. Maka bahasa lisan kebanyakan penuh klise.
Bahasa tulis tak demikian. Jika bahasa lisan terikat pada pengujar, bahasa tulis terlepas dari penulis. Ia datang tanpa diantar penulis. Ia datang sendirian. Olenka, misalnya, tidak datang kepada saya melalui mulut Budi Darma. Kedatangannya diantar kata-kata tertulis dalam satu buku. Bukan lagi Budi Darma yang menentukan makna, melainkan kata-kata atau teks Olenka itu sendiri penentunya. Maka siapa hendak menulis sastra dituntut mengenal betul hukum-hukum dan keterbatasan-keterbatasan bahasa, serta kemungkinan-kemungkinan yang masih tersembunyi di ceruk-ceruknya. Hal ini modal baginya untuk menaati dan melanggar bahasa demi lahirnya bahasa baru yang kuasa sendirian membentuk dunia yang mungkin, yang merupakan ruang terbuka bagi berbagai tafsiran.
Akan tetapi, modal tersebut harus diraup. Siapa hendak meraupnya bisa jadi mesti sedia menanggung nasib sebagai binatang jalang yang terbuang dari kumpulannya. Ia mesti setia dan disiplin menjelajahi belantara bahasa, yang sebagiannya bisa berarti menempuh jalan yang diretas sendiri. Inilah, saya kira, yang diminta oleh sastra Indonesia sedari awal kelahirannya. Tetapi sampai kini, kelisanan masih berperan besar dalam membentuk sastra Indonesia.
Memang pengaruhnya tak selalu buruk. Ada juga hal positif yang diberikannya. Berkatnya, sejumlah prosa berhasil jadi dunia rekaan yang unik, hidup dan meyakinkan, sejumlah sajak berhasil menghadirkan dunia-dunia yang belum ternamai dan tak akan ternamai dengan nama-nama lain. Bahkan terhadap Linus Suryadi AG, WS Rendra, dan Sutarji Calzoun Bachri, misalnya, sumbangan tradisi lisan lebih besar. Linus lebih banyak kita ingat karena Pengakuan Pariyem, sebuah prosa lirik yang jelas bertumpu pada pengolahan tradisi lisan. Rendra terus kondang dan dihormati sampai akhir hayatnya karena sajak-sajak baladanya yang keruan mengandung banyak unsur budaya lisan dan karena kepiawaiannya membaca sajak di pentas yang tak syak merupakan praktik tradisi lisan. Sutarji dianggap banyak orang mencapai puncaknya dengan O, Amuk Kapak, sebuah antologi yang terang menampakkan besarnya pengaruh kelisanan. Coba simak lagi sajak-sajak yang mereka tulis. Darinya akan terbaca bahwa mereka ternyata telah menguasai seluk-beluk bahasa tulis dengan mumpuni. Dan inilah, saya kira, kunci yang memungkinkan ketiganya berhasil mengolah unsur-unsur kelisanan jadi kekuatan puisi-puisi yang ditulis masing-masingnya.
Kecuali itu, masih besarnya pengaruh budaya lisan akan sastra Indonesia membuat sastra Indonesia miskin dokumentasi. Sebagai akibatnya, penulisan sejarah sastra Indonesia sampai kini masih sarat masalah. Dan ini lantas ikut melahirkan berbagai masalah lain. misalnya ringkihnya kritik sastra. Sampai kini sastra Indonesia masih pula dunia yang sunyi dari kritik sastra yang merupakan buah dari kecintaan dan penelitian yang luas dan dalam. Kebanyakan yang dianggap sebagai kritik sastra nyaris tak lebih dari tulisan-tulisan singkat hasil pembacaan selintas. Buku sastra memang jadi melimpah, sastrawan memang jadi bertambah. Tetapi minimnya kritik sastra sebagai imbangan reflektif atas kerja kreatif bisa memungkinkan makna kehadiran karya-karya kreatif jadi menipis.
Oleh karena itu, saya diam-diam menaruh harapan pada Ubud Writers and Readers Festival, sebuah festival sastra internasional yang diadakan tiap tahun sejak tahun 2004. Harapan ini agaknya mula-mula dirangsang oleh namanya Ubud Writers and Readers Festival (UWRF). Nama itu menunjukkan penghormatan akan sastra tulis. Harapan kian besar ketika tahu bahwa yang diundang adalah para penulis. Bahkan beberapa dari mereka yang diundang UWRF tahun ini yang berlangsung pada 7-11 Oktober lalu adalah penulis besar dunia seperti Wole Soyinka, penyair dan dramawan Nigeria yang memenangi Nobel Sastra 1986, Vikas Swarup, novelis India yang novel pertamanya, Q & A, dijadikan film dengan judul Slumdog Millionaire , dan Arnold Zable, penulis terkemuka Australia yang telah menulis banyak buku dan kini duduk sebagai Presiden Melbourne PEN. Para penulis seperti itu sudah menghidupi dan dihidupi oleh sastra tulis. Harapan kian besar lagi ketika melihat acara yang disajikan UWRF. Festival yang dibuka Gubernur Bali Mangku Pastika ini antara lain menyajikan 64 diskusi dan 16 bedah buku. Tema diskusi, antara lain ”Orang Pertama: Menemukan Ucapan”, ”Ekspresi Tubuh: Para Penulis yang Melampaui Batasan”, ”Melintasi Genre: Identitas, Keluarga dan Tempat”, dan ”Suara-suara Perempuan dari Penjuru Dunia”, menjanjikan kemungkinan terjadinya pertukaran gagasan-gagasan yang penting dan relevan
Namun, dari 64 diskusi dan 16 bedah buku, tak ada satu pun pembicara yang menulis makalah. Semua pembicara berbicara hanya berdasarkan catatan pribadi dan ingatan. Ucapan para pembicara dan para peserta diskusi dan bedah buku juga tidak dipandang perlu untuk dicatat. Juru catat hanya ada pada satu dua diskusi belaka.
Buku acara tidak memuat uraian, apalagi dengan rinci dan gamblang, ihwal UWRF. Ada memang empat sambutan di dalamnya. Namun, serupa umumnya sambutan, keempatnya melulu barisan kata formulaik, klise, dan berbau jargon sehingga, misalnya, tema festival tahun ini, yakni ”Suka Duka: Compassion and Solidarity”, tak jelas apa maknanya, kenapa dipilih, dan bagaimana pula hubungannya dengan para penulis yang diundang serta karya masing-masingnya. Perlu diingat bahwa ”suka” dan ”duka” di situ bukan ”suka” dan ”duka” dalam bahasa Indonesia, tapi dalam ranah bahasa (budaya) Bali. Tapi karena tak ada penjelasan memadai, ”suka” dan ”duka” dalam ranah bahasa (budaya) Bali itu jadi bermakna tak beda dengan ”suka” dan ”duka” dalam bahasa Indonesia.
Buku antologi UWRF tidak memuat karya semua peserta. Yang dimuat antologi dwibahasa bertajuk Compassion & Solidarity ini hanya karya para peserta dari Indonesia. Panitia tak menjelaskan alasannya. Panitia juga tak menjelaskan kenapa tulisan pertanggungjawaban kurator tak dimuat dalam buku antologi yang didanai HIVOS tersebut. Bobotnya tambah merosot lagi karena tipografi beberapa puisi yang ada di sana berbeda dengan yang ditulis penyairnya. Begitu juga layout cerpen. Terjemahan sejumlah puisi dan cerpen juga banyak yang tidak tepat dan salah. Compassion & Solidarity pun tidak memuat biodata para penulis.
Masih banyak lagi hal sejenis. Tapi, itu saja telah membuat UWRF seperti melupa janjinya. Festival yang diikuti 80 penulis lebih yang berasal dari 23 negara ini jadi seperti umumnya kegiatan serupa. Ia malah terasa sebagai ingar-bingar pengukuhan kelisanan, hal yang justru berperan besar dalam membuat sastra Indonesia jadi serupa bangunan dengan sebagian tiangnya yang rapuh.
Saya tidak tahu kenapa sampai UWRF jadi begitu. Saya hanya ingat Putu Fajar Arcana menulis Jalan Sastra dan Wisata Menuju Ubud (Kompas, 18/10). Di ujung tulisan tersebut, Putu mengucap bahwa ”brosur-brosur wisata dan buku-buku yang ditulis dengan maksud dagang telah membius para pengunjung” Ubud.
”Saya tidak heran,” tambah Putu ”jika UWRF sejak awal memiliki misi yang paralel dengan brosur-brosur wisata itu….”
* Hikmat Gumelar, Institut Nalar Jatinangor
Sumber: Kompas, Minggu, 25 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment