-- P. Ari Subagyo
MENGHALALKAN bahasa tidak dikenal dalam kepustakaan sosiolinguistik. Yang ada mengharamkan bahasa, seperti dilakukan Fransisco Franco Bahamonde (1892-1975).
Penguasa berdarah Catalan itu menetapkan bahasa Basque sebagai bahasa yang diharamkan. Pasalnya, bagi Franco, etnis Basque tidak bermartabat. Mereka minoritas, sudra sehingga mengotori kehormatan etnis mayoritas Catalan dan bangsa Spanyol umumnya.
Pengharaman bahasa Basque perlu dikemukakan guna merefleksikan sikap kita kepada bahasa Indonesia yang telah 81 tahun diikrarkan sebagai bahasa persatuan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Nasib bahasa Indonesia tidak seburuk bahasa Basque, justru sebaliknya. Namun, masihkah bahasa ini dicintai bangsanya? Atau, tanpa sadar kita sebenarnya sedang mengharamkan bahasa Indonesia?
Tiga derajat bahasa
Sebutan ”bahasa yang diharamkan” mencerminkan nasib buruk sekaligus derajat terbawah. Dua derajat lainnya adalah ”bahasa yang dipromosikan” dan ”bahasa yang ditoleransi”.
”Bahasa yang diharamkan” penggunaannya dibatasi, dilarang, bahkan ditabukan. Alasannya politis. Dalam kasus bahasa Basque, selain alasan prestise, Franco juga bermaksud memupus potensi separatis etnis Basque. Pengharaman bahasa juga dilakukan pemerintah pendudukan Jepang (1942-1945). Jepang mengharamkan bahasa Belanda untuk melucuti pengaruh politik-kultural Belanda yang sudah menancap lebih dari tiga abad di Indonesia.
”Bahasa yang dipromosikan” bernasib dan berderajat sebaliknya. Sebuah bahasa yang semula hanya digunakan dalam lingkup terbatas, lalu diangkat, digunakan dalam komunikasi luas, untuk aneka urusan formal, bahkan dijadikan bahasa resmi negara. Motifnya juga politis, terutama menciptakan identitas dan rasa kebangsaan. Sekadar contoh, bahasa Tagalog di Filipina, bahasa Quechua di Peru, bahasa Tok Pisin di Papua Niugini, dan—tentu saja—bahasa Indonesia di Indonesia.
”Bahasa yang ditoleransi” merupakan derajat antara ”bahasa yang dipromosikan” dan ”bahasa yang diharamkan”. Bahasa-bahasa ini tidak dipromosikan, tetapi juga tidak dilarang. Mayoritas dari 6.000-an bahasa di dunia dan 500-an bahasa lokal di Indonesia memiliki derajat ditoleransi.
Derajat dan tabiat bahasa kita
Derajat bahasa Indonesia sudah jelas, yakni ”bahasa yang dipromosikan”. Bahasa Indonesia mengalami dua kali promosi: sebagai bahasa persatuan (28 Oktober 1928) dan sebagai bahasa resmi negara (18 Agustus 1945). Namun, harap diingat, bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang menurut Pramoedya Ananta Toer—lewat salah satu tokohnya dalam Anak Semua Bangsa (1980)—miskin dan belang-bonteng dengan kata-kata semua bangsa di seluruh dunia.
Sebagai ”bahasa yang dipromosikan” membuat derajat bahasa Indonesia tampak ”miskin” sehingga harus dilengkapi kosakata baru secara besar-besaran. Joshua Fishman (The Indonesian Language Planning Experience: What Does It Teach Us?, 1978) menyebut penambahan kosakata baru secara cepat dan besar-besaran itu sebagai ”kasus ajaib bahasa Indonesia”. Sebutan ini secara sinis dikutip Jérôme Samuel (2005) dalam buku Modernisation Lexicale et Politique Terminologique: Le Cas de l’Indonésien (diterjemahkan dengan judul Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemodernan Kosakata dan Politik Peristilahan, 2008).
Sikap sinis Jérôme Samuel dipicu tulisan Fernand Braudel (Grammaire des Civilisations, 1987). Sejarawan Perancis itu menulis, penambahan puluhan ribu istilah baru secara cepat—terutama demi perannya sebagai bahasa ilmiah—membuat bahasa Indonesia ”sama dengan bahasa baru”. Karena dituntut menjadi bahasa nasional, bahasa resmi negara, sekaligus bahasa modern, beginilah tabiat bahasa Indonesia. Dalam kosakata, bahasa Indonesia menjadi genit dan terbuka.
Menghalalkan bahasa Indonesia
Di atas kertas, derajat ”bahasa yang dipromosikan” tidak bakal pudar selama ikrar Sumpah Pemuda dan UUD 1945 masih berlaku. Namun, penentu derajat bahasa Indonesia ternyata bukan romantisme historis masa lalu dan rumusan konstitusional. Yang menentukan adalah sikap penuturnya, yaitu bangsa Indonesia yang dilingkupi situasi bilingual.
Masyarakat bilingual selalu berhadapan dengan perkara usang, yakni kesetiaan bahasa. Masyarakat Indonesia menghadapi kemelimpahan sekaligus ketakberdayaan bahasa daerah, kegenitan dan keterbukaan kosakata bahasa Indonesia, dan keperkasaan sejumlah bahasa asing.
Masalahnya, niat bersetia pun terbentur kenyataan belang-bonteng bahasa Indonesia. Bangsa ini lalu harus setia kepada bahasa Indonesia yang mana? Secara normatif penggunaan bahasa mutakhir dalam ruang bersama—terlebih di media, iklan, dan masyarakat perkotaan—sebenarnya lebih mempromosikan bahasa asing sekaligus mengharamkan bahasa Indonesia. Atau, setidaknya, bahasa Indonesia menjadi semakin genit dan terbuka.
Karena itu, kesediaan ”menghalalkan bahasa Indonesia” menjadi penting. ”Menghalalkan” tidak dalam arti ”memurnikan” bahasa Indonesia dari istilah-istilah asing, sebab itu tidak mungkin. ”Menghalalkan” juga tidak untuk ”membiarkan” kosakata bahasa Indonesia kian genit sebagai konsekuensi pemodernan, sebab itu pun kurang pantas.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato setelah pelantikan antara lain mengajak bangsa ini terus menegakkan jati diri. Keunikan bangsa Indonesia tampak lewat budaya, termasuk bahasa. Jadi, menghalalkan bahasa Indonesia berarti menggunakan bahasa Indonesia dengan kebanggaan dan kesadaran penuh sebagai jati diri. Semoga secara kebudayaan kita tidak genit, tidak sembarang mengharamkan, pun tidak asal menghalalkan.
* P Ari Subagyo, Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 24 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment