Friday, October 16, 2009

[Sosok] Eko Yulianto, Melacak Jejak Tsunami Purba

-- Yulvianus Harjono

EKO Yulianto pernah jadi sasaran tembak militer, bahkan mendapat luka bakar serius, semata demi melacak jejak gempa dan tsunami purba. Ia meyakini, pengetahuan tentang sejarah gempa dan tsunami dapat meminimalkan jatuhnya korban jiwa akibat bencana ini di kemudian hari.

Eko Yulianto (KOMPAS/YULVIANUS HARJONO)

Eko dikenal sebagai pelacak tsunami purba yang tangguh menekuni bidangnya. Berbagai negara, seperti Thailand, Cile, Oman, India, Sri Lanka, Jepang, dan Singapura, serta ratusan kilometer garis pantai telah dilaluinya demi merekam jejak tsunami purba.

Berdasarkan hasil risetnya di Meulaboh, Nanggroe Aceh Darussalam, diperkuat temuan tim Badan Survei Geologi AS (USGS) di Thailand selatan, diperoleh fakta mengejutkan, tsunami besar pernah terjadi di Aceh sebelum tahun 2004. Penelitian ini dilaporkan di jurnal internasional Nature, 30 Oktober 2008.

”Kami menemukan bukti, berdasar endapan paleotsunami, giant tsunami pernah terjadi di Aceh pada 600 tahun yang lalu. Ini menepis anggapan bahwa di Aceh sebelumnya tak pernah terjadi gempa bumi sedahsyat di atas 9,0 skala Richter,” ujar ahli paleotsunami dari Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini.

Tsunami Aceh 2004 adalah pembuktian bahwa gempa dan tsunami besar bisa terjadi di mana saja, di daerah yang masuk zona subduksi oceanic continent (pertemuan antar lempeng samudra dan benua) di sepanjang pesisir barat Sumatera, selatan Jawa, dan kawasan timur Indonesia.

Jika temuan itu muncul lebih cepat, sebelum terjadi gempa di Aceh, ia meyakini jumlah korban jiwa bisa ditekan. ”Sejak 1608 hingga 2008 setidaknya ada 217 kali kejadian tsunami di Indonesia.”

Dalam lima tahun terakhir, Eko mengintensifkan kajian paleotsunami di daerah yang selama ini belum terjamah penelitian modern. Risetnya difokuskan di selatan Pulau Jawa.

Pulau Jawa dipilih karena kawasan ini berpenduduk paling padat di dunia. Ancaman gempa dan tsunami di sini bisa berdampak luar biasa. Pada penelitian di Sungai Cikembulan, Pangandaran, Jawa Barat, ia menemukan empat lapis pasir yang jadi kandidat awal bukti bahwa di wilayah itu pernah terjadi beberapa kali tsunami.

Di lapisan pasir yang terdapat cangkang Foraminifera, biota laut itu, ditemukan salah satu lapisan setebal 20 sentimeter. Di atasnya terdapat sejumlah lapisan dengan ketebalan rata-rata 1-3 cm, termasuk bekas tsunami Pangandaran tahun 2006.

”Artinya, pada masa lalu di daerah ini diduga terjadi tsunami yang jauh lebih besar dibandingkan tsunami 2006. Berdasarkan pentarikhan umur, ini terjadi 400 tahun silam,” ucap geolog, ahli bidang palinologi (mengidentifikasi fosil serbuk sari) ini.

Mendalami dan menerapkan paleotsunami di Indonesia tak mudah. Iklim tropis dengan tingkat erosi dan abrasi tinggi kerap membuat endapan sisa tsunami langsung tersapu air. Bukti jejak tsunami jadi lebih sulit didapat.

Nyawa taruhannya

Tak jarang dalam melakukan riset di berbagai daerah dan negara, nyawanya menjadi taruhan. Di Oman, ia menghadapi risiko dehidrasi akibat cuaca panas yang mencapai 42 derajat Celsius. Ia punya pengalaman menegangkan saat menyisir pantai barat Aceh. Di Lhoknga, Eko dan 17 rekannya, mayoritas peneliti asing, dicegat tentara.

”Kapal kami dibidik senjata dan dikepung tentara saat lagi mengukur dengan batimetri. Setelah diusut, kawasan itu titik untuk mencegat GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Seminggu sebelumnya, tempat kami singgah dipakai untuk mendrop senjata,” katanya.

Pada 2006 di Pasaman, Sumatera Barat, ia nyaris kehilangan kaki akibat luka bakar setelah terperosok di areal lahan gambut yang terbakar. ”Sebulan kemudian saya balik ke Padang dengan kaki dibalut perban untuk membimbing mahasiswa dari Washington State University.”

Eko telanjur jatuh cinta pada profesi yang digelutinya meskipun secara materi itu kalah menjanjikan dibanding profesi di pertambangan yang bisa diambilnya. Tapi yang ia sesalkan, dari puluhan mahasiswa yang dibimbingnya, belum satu pun yang berprofesi menjadi peneliti tsunami.

”Pernah ada yang mengambil skripsi tentang tsunami, tapi kerjanya balik ke tambang.” Padahal, dengan kondisi kerentanan gempa dan tsunami, ia berharap ada lebih banyak ahli paleotsunami di Indonesia.

Kearifan lokal

Ketiadaan catatan sejarah, ditambah lamanya periode perulangan tsunami, membuat masyarakat tak waspada. ”Masyarakat seolah dininabobokan meski bencana mengancam mereka sewaktu-waktu,” ujar Eko. Padahal, jika mengacu pada kearifan lokal, cerita rakyat mengenai gempa bumi dan tsunami sebetulnya sudah ada. Contohnya dongeng Smong di Simeulue, Aceh.

”Isinya, jika ada gempa segera lari ke atas bukit, tak perlu lihat laut surut. Maka, saat terjadi tsunami di Aceh, meski Simeulue daerah paling awal kena, hanya tujuh korban meninggal,” tuturnya.

Di daerah lain pun bermunculan kearifan lokal sejenis. Di Mentawai ada cerita Teteo tentang gempa dan tsunami. ”Sayang, belakangan cerita itu tak lagi dipahami,” kata Eko yang meyakini legenda Nyi Roro Kidul di selatan Jawa juga dilandasi gempa dan tsunami di masa silam.

Eko pun aktif berkampanye tentang kesiagaan bencana di berbagai daerah. Ia juga rajin menulis buku mengenai mitigasi gempa. Ia kerap ditunjuk sebagai koordinator pelatihan nasional siaga bencana LIPI. Dalam pelatihan dan bukunya, ia menyisipkan pentingnya kearifan lokal.

”Sosialisasi siaga bencana harus disesuaikan dengan level pemahaman masyarakatnya. Early warning system modern misalnya bisa mendapat resistensi dari masyarakat di daerah,” ucap pria yang aktif di Klub Riset Cekungan Bandung (KRCB) itu.

Di Mentawai misalnya, sensor gempa disebut mata gempa. ”Asosiasinya negatif, justru dianggap memicu gempa, bukan sebaliknya. Makanya, sensor ini banyak dicuri.”

Pendidikan adalah aspek termurah dalam upaya mitigasi bencana. ”Daripada beli alat mahal dan belum tentu efektif, lebih baik investasi pada pendidikan. Ini akan berefek bola salju di masyarakat,” ucapnya.

Eko membandingkan, warga di Jepang terbiasa hidup berdampingan dengan gempa dan tsunami. ”Pada Hari Peringatan Pencegahan Bencana, keluarga di Jepang berkumpul dan mendiskusikan upaya jika terjadi bencana. Jadi, anak kecil pun tahu apa yang harus dilakukan saat gempa,” tutur Eko yang berharap hal itu diterapkan di Indonesia.

Ia ingin memopulerkan ilmu tentang geologi, khususnya menyangkut kebencanaan. Ruang kerjanya di LIPI yang dulu terkesan formal, ”disulap” menyerupai studio kreatif.

Selain beragam buku sains populer, ia bercita-cita memproduksi film dokumenter. ”Agar sains tak menjadi menara gading dan bermanfaat bagi khalayak,” katanya.

BIODATA

• Nama: Eko Yulianto • Lahir: Sragen, 5 Juli 1971 • Istri: Woro Sri Sukapti (46) • Anak: Abyasa Daniswara (3) • Pekerjaan: Peneliti Paleoseismologi dan Geologi Kuarter pada Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI • Pendidikan: - S-1 Teknik Geologi ITB, lulus 1994 - S-2 Teknik Geologi ITB, 2001 - S-3 School of Environmental Earth Science, University of Hokkaido, Jepang, 2005 • Buku: - Merahnya Batu Merah Taman Jasper, 2009 - Selamat dari Bencana Tsunami, 2008 - Smong, 2006 - Amanat Gua Pawon, 2001 - Mencari Jejak Manusia Sunda Purba, 2000

Sumber: Kompas, Jumat, 16 Oktober 2009

No comments: