SISA perhelatan belum dibereskan. Tenda di halaman belakang belum dibongkar. Para cucu bermain di ruang tengah, berteriak, berlarian, kadang masuk ruang tamu, mencandai sang kakek. Rumah belum dirapikan. Petang yang riuh, tetapi semua terasa apa adanya.
Jusuf Kalla, di hari pertama bukan Wapres lagi, Selasa (20/10). (KOMPAS/ARBAIN RAMBEY)
Begitulah suasana di rumah Muhammad Jusuf Kalla—akrab disapa JK—tanggal 20 Oktober 2009, beberapa jam setelah Wakil Presiden Boediono melakukan sumpah jabatan dalam acara pelantikan presiden di Gedung MPR/DPR, Selasa pagi.
”Bapak sedang mandi, tunggu sebentar ya…,” sambut Ny Mufidah Jusuf. ”Maaf, rumahnya masih berantakan,” ia menyambung, sebelum bercerita tentang kesibukannya pindah rumah dan menerima tamu yang mengalir hari-hari ini. Ia juga bercerita sekilas tentang rencana keluarga besar untuk berlibur.
”Belum tahu mau ke mana,” ujarnya, dengan tutur dan sikap yang mengisyaratkan peleburan jarak.
Putra dan putri pasangan JK dan Mufidah, satu per satu menyapa, ”Halooo…,” dengan wajah cerah dan senyum lebar, mengajak berbincang. Terasa tanpa basa-basi karena mereka masih ingat di mana dan pada kesempatan apa saja pernah bertemu.
JK muncul sekitar 10 menit kemudian, dengan kaki telanjang. ”Sandalnya belum ketemu. Ada di antara ratusan dos yang belum dibuka,” ujarnya, santai. Setelah lebih seperempat jam, baru sandal putih itu ditemukan.
Ia sama sekali tidak terganggu dengan ulah para cucu. Sebaliknya, terkesan sangat bangga. ”Cucu saya 10.”
Cucu-cucu dari empat anaknya—satu putrinya belum menikah—adalah permata hatinya. ”Yang nomor satu umurnya sudah 14 tahun, dari kecil tidur sama saya. Sampai sekarang kalau menginap di sini, masih tidur dengan saya, dengan kasur di bawah.”
Tampaknya, kehangatan keluarga adalah sumber kebahagiaannya. Barangkali itu pula yang membuat JK tak harus menjadi pribadi yang lain di ruang publik. Ia tetap seorang yang keras, terus terang, tak pernah menaruh dendam, dan tak pernah merasa punya rival.
”Warga biasa”
Secara resmi, JK baru beberapa jam memasuki masa pensiunnya. ”Menurut undang-undang, saya berhenti sebagai wapres setelah pengganti saya melakukan sumpah,” ujar dia.
Sebenarnya, dia tak harus buru-buru meninggalkan rumah dinasnya. Namun, JK tampaknya tak mau tinggal lebih lama. ”Ada perasaan sedih meninggalkan rumah yang selama lima tahun menjadi tempat tinggal dan bekerja. Tetapi, kembali ke kehidupan biasa itu sangat normal dan rumah saya ini sangat nyaman.”
Sejak selesai pilpres, jadwalnya jauh lebih longgar, setelah tahun-tahun yang begitu sibuk. ”Wakil presiden bukan ban serep presiden. Itu kesepakatan resmi Bapak Presiden dan saya. Saya menjalankan tugas-tugas membantu Presiden, antara lain melihat langsung apa yang dikatakan menteri dan mengambil keputusan di tempat. Saya melaporkan semuanya secara tertulis kepada Bapak Presiden.”
Stafnya menghitung, selama lima tahun itu JK melakukan audiensi 429 kali, menerima tamu sebanyak 567, kunjungan ke daerah 123 kali dan ke luar negeri 23 kali.
Masa transisi, menurut JK, berjalan cukup lama. ”Tak ada hilang, meski tentu ada yang berbeda. Inilah konsekuensi politik. Sejak bulan Juli saya sudah tahu arahnya.”
Dengan begitu, ia punya waktu untuk bersiap kembali menjadi ”warga biasa”, meski menurut undang-undang, sebagai mantan wakil presiden, seumur hidup ia tak bisa lepas dari pengawalan. ”Tetapi, jauh lebih sedikit,” ungkap dia.
Karena soal pengawalan pula, selama lima tahun terakhir, JK tak pernah bisa santai berlibur dengan keluarga. ”Mana bisa, kalau rombongannya besar sekali dan masih sering ditelepon.”
Melanjutkan pekerjaan
JK sudah punya segudang rencana. ”Sekarang kami mau berlibur dulu, tanpa telepon, tanpa beban. Saya mau ketemu teman-teman di sini maupun di luar negeri.”
Namun, gambaran pensiun sebagai masa istirahat tak berlaku bagi JK. Waktu istirahatnya, misalnya, pukul 23.00 sampai pukul 05.00, sudah menjadi ritme hidup.
Sebaliknya, masa pensiun JK adalah tahapan memulai. Ia mau terus berkarya melalui pendidikan, pelatihan, kegiatan sosial dan ekonomi. Ia akan mencari jalan ikut memajukan ekonomi bangsa ini. Ia merencanakan pergi ke daerah-daerah di Indonesia dan mengembangkan green energy dengan belajar dari negara-negara yang sudah melakukannya, seperti China, India, dan Selandia Baru.
Pengalamannya selama lebih dari 30 tahun sebagai pengusaha dan selama 8,5 tahun berada di lembaga eksekutif, membuat JK melihat jelas potensi besar negeri dan bangsa ini belum dikembangkan maksimal. Malah ada kecenderungan menyerahkan semuanya ke pihak asing. ”Saya membicarakan concern saya ini dengan Pak Boediono,” ujar dia.
Selama lima tahun itu ia menyimpan begitu banyak pengalaman yang bisa dijadikan bahan pelajaran. Ia sangat menghargai proses, karena hanya dari proses, seseorang bisa belajar.
Dari proses pula ia semakin yakin, dalam kehidupan seseorang harus sering-sering melihat ke bawah, tetapi untuk meraih prestasi harus mampu melihat ke atas.
JK mengatakan akan terus membantu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ”Saya masih bisa telepon memberi masukan, mudah-mudahan diterima,” kata dia.
Puaskah dengan apa yang ia kerjakan lima tahun ini?
”Saya puas,” jawabnya, tegas.
”Bahwa hasilnya tidak memuaskan, itu soal lain,” lanjut JK, ”Lima tahun bagi saya adalah ukuran wajar. Saya mencurahkan seluruh hati dan pikiran saya untuk bangsa ini. Dengan mendamaikan negeri ini, membangun semangatnya, mengurangi bebannya, itu cukuplah. Saya ikhlas.”
JK menyelesaikan tugas formalnya dengan jiwa besar dan ketulusan seorang negarawan. (MH/AS/NMP)
Sumber: Kompas, Minggu, 25 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment