-- Em Lukman Hakim
TAK terasa hampir seabad Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 berlalu. Kala itu, kaum muda dari seluruh pelosok Indonesia mengikrarkan tiga sumpah: bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, ''Indonesia''. Itulah karya monumental kaum muda, bahkan diyakini sebagai cikal-bakal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Setelah sekian lama terpendam, kekuatan kaum muda muncul kembali. Terpilihnya Barack Husein Obama sebagai presiden kulit warna pertama di Amerika Serikat, menandai kesanggupan kaum muda untuk menghadirkan tatanan kebangsaan yang diharapkan. Di Indonesia, beberapa nama pemuda turut muncul menjelang pemilihan presiden yang lalu. Pada masa pemilihan legislatif, partai politik saling berlomba untuk memiliki calon legislatif (caleg) termuda. Fakta menyiratkan situasi di mana "demam'' kaum muda dalam wajah baru politik Indonesia telah dimulai. Selamat datang di dunia politik kaum muda Indonesia!
Sekalipun Partai Demokrat (Amerika), kala itu, menampilkan sosok muda seperti Barack Obama dan Partai Republik mengimbanginya dengan sosok serupa, Sarah McPalin, sosok "muda'' tidak mandek sekadar simbol yang bisa dijual tanpa isi. Pada berbagai pemberitaan, Obama harus bekerja keras menampilkan ide-ide segar untuk mengimbangi lawan politiknya, John Sydney McCain. Ketika krisis menghampiri AS, kedua calon presiden itu terlibat adu argumen dalam beberapa kesempatan. Di situlah terlihat sosok Obama yang brilian dan tangguh.
Namun, lagi-lagi, debat terbuka tersebut bukan tentang Obama yang mewakili kaum muda dan McCain yang mewakili golongan tua. Debat itu adalah tentang ide baru yang akan menentukan masa depan rakyat AS selanjutnya. Ide segar yang brilian menggumam lancar dari bibir Obama. Tidak saja pendukung Partai Demokrat yang bangga, loyalis Partai Republik terang-terangan mengalihkan dukungan pada Obama.
Berbeda dengan proses dan rasionalitas politik AS, Indonesia masih berkutat soal tua-muda. Nyaris tidak ada ide segar yang ditawarkan, baik oleh mereka yang diklaim golongan tua maupun mereka yang merasa dirinya muda. Perdebatan politik yang ditayangkan di berbagai media elektronik hanya menawarkan jargon dan jualan tampang. Yang lebih tragis, kalangan muda Indonesia terjebak dalam euforia sejarah kaum muda. Benar bahwa Sumpah Pemuda, sesuai namanya, digagas oleh Soegondo (Jong Jawa) M Yamin (Jong-Sumatranen Bond), Amir Sjarifuddin (Jong-Batak), Djohan M Tjai (Jong-Islamieten Bond), Katjasoengkono (Pemoeda Indonesia), Senduk (Jong-Celebes), J. Leimena (Jong-Ambon), dan Rohjani (Pemoeda Betawi) yang semua masih tergolong sangat muda.
Benar bahwa para pendiri bangsa ini tergolong muda ketika membentang simpul tali revolusi kemerdekaan. Benar bahwa banyak pemimpin dunia yang menyejarah ketika usianya belum genap tiga puluh tahun. Tapi, semua itu belum cukup untuk menghiasi baju kebesaran politik yang bisa dikenakan kaum muda untuk bisa meyakinkan rakyat Indonesia.
Kini, dengan segala kerendahan hati, harus saya katakan, perdebatan tua-muda berdasar usia harus diakhiri, bila negeri ini masih mendambakan setetes perubahan. Bila tidak, kaum muda Indonesia hanya akan menjadi pemimpin kelas opini, yang hanya sanggup menyesaki pemberitaan dan kolom iklan media, atau paling banter dipampang dalam baliho-baliho ukuran besar di pinggir jalan.
Ide Segar
Untuk mengubah mitos menjadi makna, para pemuda Indonesia perlu bekerja ekstrakeras untuk kemudian menampilkan gagasan-gagasan segar. Seperti Obama, yang memulai kariernya di tempat kumuh di jantung kota AS, memberikan advokasi kepada kaum miskin kota, sebelum akhirnya mengantarkannya menjadi senator dan calon presiden.
Melalui ide-ide segar dalam beberapa buku yang belakangan terungkap menjadi pedoman wajib pendiri bangsa ini pada masa revolusi, Tan Malaka-Sutan Sjahrir pernah diberi wasiat oleh Soekarno-Hatta untuk menjadi pengganti mereka. Bahkan, dalam beberapa pidatonya, Bung Karno berkali-kali menyatakan, berikan aku satu pemuda akan kuguncang Indonesia, dan berikan aku sepuluh pemuda akan kuguncang dunia. Tentu, pemuda-pemuda yang dimaksud Bung Karno adalah pemuda sekaliber Tan Malaka dan Sutan Sjahrir.
Di sinilah peran orang tua, lebih tepatnya generasi yang pernah muda, dibutuhkan. Yakni, bagaimana mereka memiliki kesanggupan untuk menemani kaum muda memasuki dimensi hidup yang lebih kompleks. Bila mereka tidak memiliki kesanggupan, setidaknya jangan mencibir.
Dewan penasihat atau sejenisnya dalam jajaran struktur kepartaian di Indonesia merupakan tempat yang cukup strategis bagi golongan yang pernah muda untuk menjadi pembimbing setia bagi kaum muda menapaki karier politik yang lebih tinggi.
Membimbing bukan menghalangi, mengarahkan dengan tidak menganggap kaum muda sebagai pesaing. Dengan be- gitu, konflik kepartaian tidak akan men- jadi pemandangan keseharian yang memalukan.
Inilah cara baru mengharmonisasikan konflik tua-muda yang kian menghangat. Melalui kerja keras untuk menghadirkan ide segar dan tindakan cepat, kaum muda, tanpa diurut berdasarkan silsilah keluarga, diberi ruang untuk membuktikan jati dirinya sebagai pemuda sesungguhnya.
* Em Lukman Hakim, mahasiswa Program S-3 Ilmu Sosial Unair
Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 28 Oktonber 2009
1 comment:
thank's infonya.
www.kiostiket.com
Post a Comment