Saturday, October 31, 2009

Kita Perlu Humaniora

-- Mikhael Dua

DEPARTEMEN Pendidikan Nasional baru-baru ini menurunkan berita sekitar serah terima jabatan Mendiknas dari Prof Dr Bambang Sudibyo MBA kepada Prof Dr I H Mohammad Nuh DEA. Dalam sambutannya, Mohammad Nuh yang sebelumnya menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika pada Kabinet Indonesia Bersatu periode 2007-2009 mengatakan pendidikan adalah persoalan yang sangat kompleks. Oleh karena itu, diperlukan partisipasi masyarakat. Pendidikan, lanjut dia, juga tidak bisa dilepas dari karakter dan budaya. "Jadikan sekolah sebagai bagian dari membangun karakter dan budaya."

Berita tersebut tidak banyak menjelaskan apa yang diungkapkan Mohammad Nuh mengenai 'karakter dan budaya'. Namun, jika kita memperhatikan apa yang diharapkan banyak ahli di bidang pendidikan gagasan ini menjadi titik krusial yang tidak banyak diperhatikan. Inti persoalannya adalah peserta didik kerapkali dijejali dengan banyak pengetahuan yang orang dewasa pandang penting, tetapi tidak banyak menjadi kebenaran penting untuk konteks hidup peserta didik. Para pendidik pun bahkan tidak menyadari bahwa transfer pengetahuan yang mereka lakukan tidak pernah menjadi sesuatu yang menarik sehingga menggugahnya untuk belajar. Karena itu tidak heran sekolah menjadi sebuah neraka penuh tugas yang melelahkan tanpa ruang sedikit pun untuk berkreasi dalam budaya.

Isi pidato mengenai hal membangun karakter dan budaya ini mengingatkan saya pada saat universitas di mana saya mengajar sekarang didirikan. Ketika hendak merancang sketsa jenis bangunan seperti apa yang bakal didirikan di area Kampus Semanggi Atma Jaya, Presiden Soekarno mengusulkan sebuah skenario bangunan dengan kaki tinggi. Ia menjelaskan struktur bangunan ini perlu agar mahasiswa dapat bertemu satu sama lain dan berkreasi secara kultural di dasarnya. Lantai-lantai bagian atas bangunan tersebut disediakan kelas untuk pengajaran, perpustakaan untuk membaca, dan sekretariat untuk urusan administrasi.

Kiranya bukan kapasitas tulisan ini untuk memperbincangkan filsafat Soekarno berkenaan dengan struktur arsitektur bangunan yang diusulkan itu. Yang perlu dikatakan di sini adalah struktur bangunan ini secara simbolis ingin menjelaskan bahwa ilmu dan teknologi hanya subur dalam lingkup kultural tertentu. Tanpa setiap orang merasa diterima dan berkembang dalam kebudayaannya, pendidikan tidak lebih menjadi sebuah latihan teknis.

Humaniora

Secara khusus apa yang dikemukakan Mohammad Nuh dapat merupakan harapan akan sebuah reorientasi perguruan tinggi kita. Sudah lama dikeluhkan bahwa perguruan tinggi kita cenderung membatasi diri pada tujuan-tujuan profesional. Hal tersebut akan amat sangat jelas jika kita memperhatikan visi dan misi perguruan tinggi kita dewasa ini. Banyak perguruan tinggi merumuskan visinya pada tempat pertama, 'menjadi perguruan tinggi terkemuka yang memiliki keunggulan akademik dan profesional di tingkat nasional maupun internasional'. Gagasan-gagasan lain seperti keindonesiaan atau budaya Indonesia dan karakter berdasarkan iman baru ditempatkan pada bagian kedua, seakan-akan tidak menjadi penting tanpa tujuan pertama.

Rumusan visi seperti ini tidak banyak kita temukan di perguruan tinggi di luar negeri. Yang biasa kita lihat adalah orientasi dasar pendidikannya. Di Amerika Serikat misalnya seluruh pendidikan didasarkan pada asas liberal arts yang menjunjung tinggi martabat manusia dan hak-hak dasarnya. Pada tingkat ini, mahasiswa pada tahun pertama sudah bertemu dengan profesor-profesor agar mereka merasakan realitas sesungguhnya yang dibicarakan ilmu yang mereka geluti. Jika pada perguruan-perguruan tinggi kita para profesor berusaha menyimpan energinya hanya untuk mengajar pada jenjang S2 dan S3, di Amerika Serikat dan juga di beberapa negara lain, mahasiswa pada tingkat pertama sudah harus bertemu dengan profesor untuk memberikan basis yang kuat bagi pertumbuhan individual sang mahasiswa sebagai calon sarjana.

Kita boleh berkeberatan dengan mahalnya seorang profesor untuk mengajar di jenjang S1. Hal tersebut dapat dipahami karena bisa jadi tidak ada seorang profesor pun di sebuah fakultas. Tetapi, persoalannya bukan sekadar ada tidaknya profesor melainkan 'pertemuan' yang menyentuh individualitas mahasiswa. Bayangkan jika sebuah kelas di sebuah fakultas berisi lebih dari 250 mahasiswa. Bagaimana seorang pengajar dapat bertemu dengan mahasiswanya dan memberikan pengaruh yang positif untuk pertumbuhannya sebagai pribadi?

Kita tidak pernah membayangkan bagaimana mahasiswa bertumbuh dan berkembang di perguruan tinggi kita, kalau dosen dan profesor tidak pernah menyentuh mereka. Keluhan ini menjadi sebuah ironi justru ketika perguruan tinggi kita di Indonesia menjanjikan pendidikan yang profesional. Bagaimana mungkin pengangguran akademis meningkat justru terjadi ketika pendidikan profesional menjadi muatan utama? Hampir tidak dapat dipercaya. Tetapi, hal itu dapat dijelaskan karena perguruan tinggi tidak sungguh-sungguh caring pada pertumbuhan mahasiswa. Pengajaran sebagai sebuah momen pertemuan antara guru dan murid bahkan tidak lagi memainkan peranan yang penting.

Pasar Kerja

Presiden Soekarno dan Mohammad Nuh memiliki pemikiran dasar yang sama bahwa pendidikan harus memiliki karakter. Pemikiran ini memiliki orientasi yang berbeda dengan pendidikan profesional. Mari kita menjelaskan pemikiran ini dari segi utilitarian dengan melihat konsekuensi-konsekuensinya. Dengan janji pendidikan profesional, sebuah perguruan tinggi dapat menuai banyak, karena banyak orang tua terjebak dengan janji bahwa anak-anak mereka akan segera mendapatkan pekerjaan. Hal ini mungkin dapat terjadi. Tetapi, jika hal tersebut benar-benar terjadi saya menduga bukan karena ketrampilan profesional yang mereka miliki tetapi karena dunia kerja yang menerima mereka.

Sebaliknya, pendidikan yang berkarakter memiliki orientasi yang berbeda. Banyak pendidik yang punya nama selalu mendidik peserta didiknya untuk pelbagai kemungkinan di masa depan. Biro Pegawai Negeri Sipil Inggris menerima mahasiswa unggul di bidang filsafat karena mereka memiliki kemampuan untuk berpikir dan mengerti persoalan-persoalan sesungguhnya di lapangan, sekali pun mereka tidak memiliki latar belakang apa pun dalam bidang tata kelola kepemerintahan. Bank-bank investasi New York melakukan hal yang sama dengan mencari mahasiswa yang terbaik yang memilik latar belakang studi sejarah dan ekonomi pembangunan.

Memang pendidikan humaniora tampak kuno, karena kembali ke Akademi Plato 2000 tahun yang lalu. Akademi tersebut memiliki keyakinan yang kuat bahwa warga negara yang terdidik dalam sebuah masyarakat yang bebas perlu memiliki pemahaman yang baik dalam bidang filsafat, sejarah, sastra, ilmu pengetahuan, matematika, bahasa, seni dan politik.' Pendidikan humaniora memang tidak masuk ke masalah teknis. Pertanyaan humaniora adalah dari mana kita berasal? Siapa kita? Dan ke mana kita? Pendidikan jenis ini tidak melatih seseorang dalam profesi tertentu, tetapi memberinya fondasi intelektual yang dapat digunakan sepanjang hidupnya, di mana pun ia bekerja: kesehatan, bisnis, hukum, dan rekayasa.

Tetapi apakah Mohammad Nuh benar-benar menyinggung hal ini? Saya benar-benar tidak tahu.

* Mikhael Dua, Kepala Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, Jakarta

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 31 Oktober 2009

No comments: