-- Neli Triana
SEBUAH penampilan tak terduga membuat penonton terperenyak pada pembukaan The Asia Pacific Weeks 2009 di Konzerthaus, Berlin, Jerman, Rabu (7/10). Lampu penerang di tempat duduk penonton meredup, berganti sorotan sinar langsung ke tengah panggung. Tampak berdiri seorang perempuan kulit putih dan intro lagu keroncong ”Di Bawah Sinar Bulan Purnama” terdengar.
Joanna Dudley (KOMPAS/NELI TRIANA)
Dari mulut perempuan itu, Joanna Dudley, lirik lagu ”Di Bawah Sinar Bulan Purnama” disenandungkan. ”Di bawah sinar bulan purnama… air laut berkilauan… berayun-ayun ombak mengalir… ke pantai senda gurauan…”
Penampilan Joanna terbilang unik. Ia mengenakan kimono, pakaian khas Jepang, kontras dengan para pemusik pengiring yang berpakaian formal. Suaranya menggema di ruangan Konzerthaus, berpadu dengan suara berbagai alat musik membuat penonton terpukau.
Memang ada beberapa pengucapan yang ”keseleo lidah”, tetapi cengkok keroncong Joanna terasa pas. Orang teringat penampilan Sundari Soekotjo dan Waldjinah.
Di tengah pertunjukan, seperti tersadar, sebagian penonton buru-buru merekam penampilan Joanna. Tepuk tangan bergemuruh di Konzerthaus saat Joanna mengakhiri lagunya.
Tak kurang Gubernur Negara Bagian Berlin Klaus Wowereit memberi tepukan penghormatan dan menyambut salam Joanna dari atas panggung. Joanna lalu menggeser langkahnya. Ia beringsut pelan-pelan hingga hilang di balik panggung, tanpa pernah memalingkan wajah dari penonton. Senyumnya terus berkembang.
Didikan Waldjinah
”Saya rasa keroncong adalah musik terindah. Pertama kali mendengarnya beberapa tahun lalu, langsung membuat saya jatuh cinta dan ingin belajar menyanyikannya,” kata Joanna.
Joanna mengisahkan, dia mendengar lagu keroncong saat berada di Adelaide, Australia, sekitar lima tahun lalu. Selain sering didendangkan di konser musik lokal di kampus oleh mahasiswa, ternyata banyak penyanyi dan musikus keroncong asal Indonesia yang diundang ke Australia. Mereka menjadi bintang tamu pertunjukan atau sebagai pengajar. Berawal dari sini, Joanna makin tertarik pada keroncong dan berniat belajar dari ahlinya.
Setelah mencari tahu, perempuan kelahiran London, Inggris, ini menemukan nama Waldjinah, maestro keroncong asal Solo, Jawa Tengah. Tanpa berpikir panjang, dia berupaya menghubungi Waldjinah. Gayung bersambut, keinginan Joanna untuk belajar keroncong diterima Waldjinah.
Pada 2005 hingga 2009, perempuan yang tinggal dan bekerja di Australia dan Jerman ini bolak-balik ke Solo untuk berguru keroncong. Seperti perasaannya terhadap keroncong, Joanna pun jatuh cinta pada Kota Solo. Di Solo, aura tradisionalnya masih kental dan mendukung suasana hati Joanna yang bersemangat memperdalam keroncong.
”Sudah 4,5 tahun ini saya belajar. Bagi saya, Waldjinah bukan cuma guru, tetapi seorang master. Ia mengajari saya menjiwai lagu, memahami dan menyelami maknanya, kemudian menyanyikannya dengan lafal bahasa Indonesia yang benar. Tentu saja masih banyak kekurangan dan kesalahan yang saya lakukan. Saya belum akan berhenti belajar,” katanya.
Setelah beberapa waktu berlatih, Joanna sempat berkeringat dingin ketika Waldjinah memintanya menyanyikan sendiri lagu-lagu keroncong yang dipelajarinya di hadapan penonton. Apalagi ketika dia diminta membawakan lagu ”Bengawan Solo” di hadapan Gesang, saat perayaan ulang tahun ke-90 maestro keroncong itu, pada Oktober 2007.
Tidak berhenti
Joanna tidak mau berhenti pada satu titik. Dari awal, ia memiliki ketertarikan pada dunia seni pertunjukan. Ia hidup di Australia dan Jerman sebagai artis, musisi, sekaligus penyanyi. Ia mengasah bakat di bidang musik dengan bersekolah di Adelaide Conservatorium di Australia, kemudian di The Sweelink Conservatorium di Amsterdam, Belanda. Khusus untuk belajar alat musik flute, ia belajar di Tokyo, Jepang.
”Sesuatu yang baru dan kita kuasai sungguh-sungguh bisa dikolaborasikan dengan ilmu yang lebih dulu kita miliki. Kolaborasi ini akan menelurkan karya baru. Karya baru yang berbeda dan bermakna tersendiri. Dalam dunia seni, eksplorasi tidak boleh berhenti,” kata Joanna.
Berbagi ilmu juga menjadi prinsip hidupnya. Ia bukan sosok yang pelit soal ilmu, terbukti pada jadwal mengajar yang selalu terselip di antara segudang kesibukannya. Ia mengajar di akademi seni di Sierre, Swiss; akademi seni di Berlin, Jerman; dan di The Centre for Performing Arts TAFE and Elder Conservatorium di Universitas Adelaide, Australia. Dia mengajarkan berbagai disiplin seni murni, berbagai aliran tari, musik, dan pertunjukan teater.
Aktivitasnya di dunia teater dan imajinasinya yang dibiarkan terus tumbuh liar memunculkan sederet karya berkarakter kuat. Penampilan solo maupun kolaborasi dengan seniman atau artis dari berbagai negara sudah digelar di Australia, di banyak negara di Eropa, Benua Amerika, serta Asia.
Beberapa pementasan Joanna yang memadukan kepiawaiannya berakting, menari, dan menyanyi antara lain muncul lewat pertunjukan berjudul My Dearest My Fairest, The Scorpionfish, dan Who Killed Cock Robin? Karya kolaborasi lainnya, Tom’s Song, yang dipresentasikan di Festival Sonambiente, Berlin, 2006, mendapat penghargaan dari kritikus seni.
Budaya Jawa menjadi hal baru yang dia pelajari. Ia merasa sudah menyatu dengan keroncong. Kelekatan hubungannya dengan Waldjinah juga membawa Joanna mengenal sekaligus terkagum-kagum pada langgam Jawa dan musik gamelan. Penguasaan atas langgam Jawa dan gamelan menjadi obsesi Joanna selanjutnya.
”Saya juga mengenal kebaya dari Waldjinah. Pakaian tradisional ini mengagumkan, bisa menampilkan kesan anggun, feminin, dan cantik. Ini juga sebuah karya seni yang agung, dengan detail model, kain batik, sampai sanggulnya. Duh, saya senang sekali memakai kebaya,” ujarnya.
Di ujung acara pembukaan The Asia Pacific Weeks 2009, Joanna sengaja berkebaya dan kembali bersenandung, ”Bengawan Solo… riwayatmu ini… sedari dulu jadi... perhatian insani...” Joanna, seperti halnya keroncong, kembali menyedot perhatian publik saat itu. Ini salah satu gambaran budaya Indonesia yang mendunia.
***
JOANNA DUDLEY
• Lahir : London, Inggris, 1971
• Pendidikan musik :
- Adelaide Conservatorium, Australia
- The Sweelinck Conservatorium, Belanda
- Seruling dan lagu klasik tradisional Jepang di Tokyo, Jepang
- Gamelan dan keroncong di Solo, Jawa Tengah
• Karier : Dia tinggal dan bekerja di Jerman dan Australia sebagai artis, musisi, dan penyanyi. Ia tengah bekerja di Schaubühne Theatre di Berlin, Jerman
• Karyanya antara lain :
- ”My Dearest My Fairest” (2000), bersama Juan Kruz Diaz Garaio de Esnaol
- ”He Taught Me to Yodel” (2002)
- ”Colours May Fade With Friction Read Instructions Carefully Store In A Cool and Dry Place No Side Effects” (2004)
Sumber: Kompas, Kamis, 29 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment