Judul : Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era
Penulis : Rully Chairul Azwar
Penerbit : Grasindo
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : xiv + 206 Halaman
DALAM pentas sejarah politik bangsa Indonesia, Partai Golongan Karya (Golkar) dikenal sebagai partai terbesar di masa Orde Baru. Hegemoni politiknya tidak hanya melingkupi kader-kader murni Golkar sendiri, tetapi mengikat erat kalangan ABRI dan Birokrasi, atau lebih populer dengan istilah ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar). Dukungan penuh ketiga entitas tersebut mengantarkan Golkar menuju kejayaan.
Kejayaan Partai Golkar berakhir ketika meledaknya bom reformasi 1998, puing-puing kebesaran Golkar di masa lampau setidaknya masih memberikan pengaruh besar terhadap keberadaan Golkar di era reformasi. Hal ini terlihat, di mana Golkar masih kerap menjadi sorotan, bahan tulisan, dan kajian berbagai kalangan baik internal maupun eksternal Golkar.
Melalui buku Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era, Rully Chairul Azwar--waka Sekjend Golkar 2004--2009--mengulas tentang model politik komunikasi Partai Golkar pada tiga era kepemimpinan berbeda. Pertama, era Harmoko (1993--1998). Pada masa kepemimpinan Harmoko, Golkar dikategorikan sebagai partai hegemonik karena tidak otonom dari kekuasaan, tetapi justru menyatu dengan kekuasaan.
Golkar di era kepemimpinan Harmoko ini merupakan fase akhir dari Orba, di mana terjadi transisi perubahan Golkar dari partai hegemonik menjadi partai berorientasi pasar atau MOP (Market Oriented Party). Konsekuensinya politik komunikasi Golkar pada era Harmoko bergeser dari Product Oriented Party (POP) menjadi Sale Oriented Party (SOP). Di mana produk-produk yang akan dijual oleh partai Golkar mesti dikemas terlebih dahulu agar sesuai dengan selera pasar.
Kedua, era Akbar Tandjung (1998--2004). Posisi Golkar pada era ini, berada di luar kekuasaan sehingga lebih leluasa memainkan peran politiknya. Politik komunikasi di era Akbar Tandjung juga tidak menentang pasar, kondisi ini mengindikasikan adanya pergeseran model politik komunikasi Golkar menuju MOP (Market Oriented Party).
Pada era Akbar Tandjung, Golkar mulai melakukan sejumlah riset secara profesional untuk mengetahui pandangan pasar pemilih terhadap Golkar dan bagaimana merancang strategi. Hasil-hasil riset itu digunakan sebagai dasar untuk penyusunan kebijakan-kebijakan dan bahan pertimbangan dalam menentukan sikap-sikap Partai Golkar dalam merespona berbagai isu.
Ketiga, era Jusuf Kalla (2004--2009). Pada masa ini, relasi Golkar dan kekuasaan mengalami perubahan. Hal ini merupakan konsekuensi politik dari posisi Kalla sebagai wakil presiden, secara otomatis Golkar berada dalam kekuasaan meskipun tidak dominan. Dalam kasus Golkar era Kalla, Rully C. Azwar menyimpulkan bahwa ada beberapa kelemahan ketika model MOP Lees-Marshment diterapkan. Karena itu, diperlukan satu pengembangan model MOP baru (alternatif) yang juga memperhatikan faktor survei pasar, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal.
Beberapa pakar politik, sebut saja J. Kristiadi, Lili Romli, dan Effendi Ghazali menganggap buku ini menarik lantaran ditulis seorang politisi aktif partai Golkar di tiga era tersebut. Kajian dalam buku ini, bisa menjadi rujukan dan perspektif baru serta memperkaya wawasan politik, khususnya bahasan memotret metamorfosis partai Golkar dari partai hegemonik menuju partai berorientasi pasar.
R. Andriadi Achmad, mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia
Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment