-- Rohadi Budi Widyatmoko*
SETIAP akhir September negeri ini selalu mengingat kembali tragedi berdarah 1965. Sejarah upaya kudeta setengah sipil-setengah militer pertama yang susah dilupakan oleh pelaku, korban, saksi, dan generasi di zaman yang berbeda.
Mungkin setiap pihak, bahkan orang, memiliki versinya sendiri tentang sejarah itu. Entah menghitamkan atau memutihkan pihak-pihak tertentu yang terlibat dalam tragedi itu. Buku-buku sejarah disusun, indoktrinasi diberikan, pelajaran sekolah diintervensi, untuk menimbulkan kesan sesuai kepentingan rezim. Rezim Orde Baru kita tahu sangat kental dengan penulisan sejarah yang sarat kepentingan, terutama pada momen penting itu.
Namun, kini Orde Baru sudah tamat. Giliran pihak-pihak lain mengeluarkan versi tandingannya. Ada yang merevisi, membenarkan, atau mengungkap sisi gelap yang dahulu selalu disembunyikan rezim Soeharto. Dalam situasi itu, dunia sastra ternyata tak mau ketinggalan.
Sejak masa reformasi, novel, cerpen, dan puisi yang mengandung cerita seputar tragedi 1965 dipulikasikan secara luas dan bebas. Bahkan hingga hal-hal yang belum satu dekade lalu menjadi tabu. Secara jumlah, penerbitan buku sastra bermuatan tragedi 1965 memang belum banyak. Namun, apa yang ada kini telah berhasil membuka kemungkinan untuk perhatian yang lebih besar, baik dari pengarang maupun kritikusnya.
Selama ini kita mengenal beberapa karya sastra dengan muatan tema tragedi 1965, antara lain Pergolakan karya Wildan Yatim, Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, Larung karya Ayu Utami, Menggarami Burung Terbang karya Sitok Srengenge, Jamangilak Tak Pernah Menangis karya Martin Aleida, dan Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma.
Sastra eksil
Sayangnya, semua itu masih tidak diimbangi dengan telaah atau kritik yang cukup kuat dan komprehensif. Apalagi yang mengaitkannya dengan berbagai sudut pandang tentang sejarah politik itu. Memang karya-karya itu seakan sudah ”mengatakan sesuatu”, tetapi belum ada kejelasan posisinya dalam wacana pada kesusastraan Indonesia modern.
Hal lain dalam soal pembahasan soal sastra dan tragedi 1965, belum dilibatkannya secara kuat apa yang disebut ”sastra eksil”. Yakni, sastra eksil yang juga mencerminkan efek dari tragedi 1965, yang dihasilkan oleh para pengarang yang harus meninggalkan negeri ini, atau menjadi eksil, karena berbagai macam tuduhan atau ancaman.
Puisi-puisi karya dari para pengarang eksil pernah dibukukan dengan judul Di Negeri Orang, Puisi Penyair Indonesia Eksil pada tahun 2002. Buku ini mendokumentasikan puisi-puisi dari 15 penyair, yang kesemuanya tidak berlatar belakang penyair pada masa lalunya. Puisi dijadikan ekspresi untuk ikut menyuarakan perih dan kerinduan kepada Tanah Air.
Dalam bab pendahuluan, Asahan Alham mengatakan, ”Sastra eksil bukan satu aliran, tapi suatu kekhususan, ia ujud. Kekhususan itu wajar sebagai akibat peristiwa yang menimbulkan banyak ketidakwajaran terutama bagi sastrawan dan seniman eksil yang hidup di luar tanah airnya, dan terpisah dari masyarakat bangsanya, teman-temannya, dan keluarganya”.
Penyair Agam Wispi
Salah satu penyair yang cukup diperhitungkan dalam buku itu adalah Agam Wispi. Ia adalah penyair ternama sebelum tragedi 1965, tetapi kini kurang mendapatkan tempat dalam mainstream sastra Indonesia. Pada 1959 buku tipis setebal 20 halaman berjudul Sahabat karya Agam Wispi diterbitkan.
Dalam buku itu termuat 12 puisi yang semuanya ditulis di luar negeri (Jerman). Puisi-puisi Agam Wispi liris dan bersahaja. Pembaca mungkin susah menyangka kalau puisi-puisi itu dapat digunakan sebagai propaganda. Secara umum, Sahabat menunjukkan kesungguhan estetis Agam sebagai penyair liris.
Misalnya sebuah puisi berjudul ”Elend” yang antara lain berbunyi: berlagu gadis kecil/ harum dunia di wajahnya, akordeon di tangannya// dan lagunya?/di sini lembah derita/ hanya tinggal nama. Ada gambaran tentang sosok gadis kecil, tanpa ada tendensi mengindah-indahkan. Bersahaja tapi menyentuh perasaan.
Begitu pun puisi ”Sahabat”: dua kali dimamah maut/ oleh cinta hidup tertambat/ baru berarti mereguk hidup/ jika derita duka sahabat. Tampak adanya solidaritas terasa dalam puisi ini, juga masalah eksistensi manusia.
Dalam buku itu juga, penyair Wispi menyertakan puisi, ”Czardas”, yang secara eksplisit keberpihakannya. Atau puisi ”Bucheenwald” yang: mengerang seorang di kamar maut/ jangan harap dia khianat/ sebab di jantungnya internasionale mendegup/ walau mulut tertutup rapat.
Mungkin jenis-jenis seperti inilah yang menjadi alasan mengapa Agam Wispi harus menjadi penyair eksil sejak tragedi 1965.
Bertahun-tahun di negeri orang, Agam Wispi berpindah-pindah dari Vietnam ke Jerman, lalu ke Belanda. Menjadi eksil adalah risiko yang tak terelakkan. Itu bukan hanya karena Wispi telah membuat Soeharto gerah, tetapi juga Soekarno sibuk karena puisi fenomenalnya, ”Matinya Seorang Petani”. Melalui bukunya belakangan, Di Negeri Orang, Agam Wispi hadir kembali, dengan puisi-puisi yang secara estetika tampak jauh berbeda dengan periode 1950-an dan 1960-an.
Puisi-puisi Agam Wispi sebenarnya dapat menjadi cerminan untuk kita menilai nasib penyair dalam dunia estetika dan politik. Penyair boleh jadi kalah oleh permainan politik, tetapi dalam puisi akan terus menang dan bertahan.
* Rohadi Budi Widyatmoko, Aktif di Wedangan Sastra dan Komunitas Cething Ombo. Tinggal di Tegalrayung, Boyolali
Sumber: Kompas, Sabtu, 10 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment