-- Kasijanto Sastrodinono
TIBA-TIBA saya teringat akan Lie Kim Hok, keturunan imigran asal Tiongkok yang datang di Indonesia abad ke-19. Lahir di Bogor, 1853, Lie kemudian dikenal sebagai penulis, penyadur, dan penerjemah cerita (ke) dalam bahasa Melayu dari generasi keturunan Tionghoa sebelum Perang. Dialah penulis bernapas panjang yang mampu berkarya hingga berjilid-jilid. Cerita Tjhit Liap Seng (1886), misalnya, terdiri dari 8 jilid: Kawanan Bangsat (1910) 10 jilid dan Penipoe Besar (1923) 23 jilid yang terbit setelah ia meninggal dunia pada 1912.
Berpendidikan missie, Lie mampu berbahasa Belanda, tetapi tak memahami bahasa Tionghoa. Sekitar 125 tahun lalu, dia menulis buku yang bertajuk amat panjang, Malajoe Batawi: Kitab deri hal perkataän-perkataän Malajoe, hal memetjah oedjar-oedjar Malajoe dan hal pernahkan tanda-tanda batja dan hoeroef-hoeroef besar (1884, ejaan asli). Ternyata, buku itu bukanlah sesuatu yang luar biasa, ”hanya” semacam penuntun praktis pelajaran bahasa Melayu. Menurut CD Grijns, peneliti bahasa Melayu kontemporer, Lie cuma membahas ”varian [bahasa] lain” yang waktu itu banyak digunakan oleh generasi Tionghoa kelahiran Indonesia.
Namun, pada masanya, Lie telah menyumbangkan sesuatu yang luar biasa: buku pelajaran bahasa Melayu lahir pertama kali justru dari non-Melayu. Lie juga menulis dengan sepenuh Melayu karena sepanjang 116 halaman bukunya itu tidak ditemukan satu pun istilah linguistik berbau asing seperti lazimnya sekarang. Dia membagi sepuluh kelas kata dengan istilah pribumi: nama paäda (biasa disebut nomina); pengganti nama ’pronomina’; penerang ’adjektiva’; pemoela ’artikula’; nama bilangan ’numeralia’; nama kerdja ’verba’; penerangan ’adverbia’; pengoendjoek ’preposisi’; pengoeboeng ’konjungsi’; dan oetjap seroe ’interjeksi’.
Sadar menulis untuk pembelajar bahasa Melayu awal, Lie berusaha menyajikan secara sederhana. Mestinya kita malu karena sampai sekarang masih ada yang salah membedakan di sebagai kata depan dan di- sebagai imbuhan. Padahal, lebih dari seabad silam, Lie sudah menjelaskan, ”di djadi satoe perkataän [satu kata], djikalaoe ija ada di depan nama tempat: di Bogor, di roemah, di atas. . .; ija djadi sabagian deri perkataän, djika ija di depan boekan nama tempat: dibatja, diambil, ditanja d.l.”
Bahasa Melayu yang ditulis Lie sering dipandang sebagai Melayu pasar yang berkonotasi merendahkan. Namun, Claudine Salmon (1983), ahli sastra Melayu Tionghoa asal Perancis, melihat Lie mencari jalan tengah antara Melayu tinggi (Melayu Riau yang tak dimengerti di Jawa) dan Melayu pasar.
Lie Kim Hok jelas tak ikut bersumpah, 28 Oktober 1928, dan mungkin tergolong ”orang jang hanya tjoema bisa batja” menurut Medan Prijaji, koran Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Bagaimanapun, dia telah membuka jembatan budaya.
* Kasijanto Sastrodinono, Pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Sumber: Kompas, Jumat, 16 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment