-- Defri Werdiono
PERUBAHAN datang sebagai hukum alam yang kekal. Dalam perubahan itu, Kota Yogyakarta tengah mencari keseimbangan baru. Meskipun bertambah usia, Yogyakarta justru terlihat makin muda karena dinamika yang dibawa oleh pengusungnya: orang muda. Kini, 54,59 persen warga Yogyakarta adalah mereka yang berusia 20 hingga 49 tahun.
Ribuan warga Yogyakarta memadati Jalan Malioboro, Sabtu (17/10) malam, untuk menyaksikan kemeriahan pawai Jogja Java Carnival kedua yang berlangsung dari Taman Parkir Abu Bakar Ali menuju Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Peserta dari Solo Batik Carnival ini ikut memeriahkan acara tersebut. (KOMPAS/DEFRI WERDIONO)
Sebagai kota dengan tiga pilar utama, yakni pendidikan, kebudayaan, dan pariwisata, Yogyakarta memang tengah mencari keseimbangan di antara ketiganya. Kesadaran akan banyaknya perubahan ini membuat Yogyakarta berbenah untuk menata diri dan mengukuhkan tiga pilar utamanya.
Sabtu (17/10) sore hingga malam, puluhan ribu orang memenuhi ruas Jalan Malioboro, Ahmad Yani, Trikora, dan Alun- alun Utara Keraton Yogyakarta untuk menyaksikan pawai Jogja Java Carnival (JJC). Kegiatan yang diikuti sekitar 1.400 peserta itu dilakukan dalam rangka puncak hari ulang tahun ke-253 Yogyakarta.
Pawai dengan tema ”Dahulu, Sekarang, dan Akan Datang” ini bergerak dari Taman Parkir Abu Bakar Ali menuju alun-alun utara yang berjarak sekitar 1,5 kilometer.
Pawai diawali oleh rombongan pelajar berprestasi yang membawa beragam piala dan plakat, di antaranya piala sebagai juara umum Pekan Olahraga Provinsi X tahun 2009 yang baru saja diraih Yogyakarta, sejumlah penghargaan yang menambah predikat Yogyakarta sebagai kota ramah anak, dan 34 prestasi yang diraih Yogyakarta lainnya dalam berbagai bidang.
Berturut-turut di belakangnya, antara lain, prajurit bergada yang merupakan replika dari prajurit Keraton Yogyakarta. Mereka berfungsi sebagai cucuk lampah atau pembuka jalan, diikuti kelompok yang menggambarkan prosesi jumenengan, dengan menampakkan figur sultan, diiringi prajurit dan abdi dalem bedoyo.
Di belakang mereka menyusul kelompok perias pengantin, aneka tari dari Padepokan Bagong Kusudiharjo, angguk dan badui kesenian dari Kabupaten Kulon Progo, perwakilan dari Solo Batik Carnival—dengan kostumnya yang memukau penonton, dan mahasiswa internasional dari Universitas Gadjah Mada, serta tarian dari Korea Selatan.
Selain menampilkan mobil hias yang ikut pawai, JJC juga dimeriahkan tari kreasi baru di bawah koordinasi Didik Nini Thowok.
Tarian yang dibawakan oleh 100 penari itu dilakukan di depan panggung kehormatan, tempat Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X, Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto, dan sejumlah tamu, serta wisatawan mancanegara berada.
Krisis identitas
Dalam sambutanya, Herry Zudianto mengatakan, dalam dinamika perjalanan ke-253 ini, Yogyakarta telah berubah menjadi kota yang maju, dengan aura budaya. Aura ini menjadi magnet bagi wisatawan untuk datang ke Yogyakarta.
”Terkait dengan itu, kita berharap ada suatu ikon yang bisa menjadi predikat sebagai kota pariwisata berbasis budaya. Dan Jogja Java Carnival ini kiranya menjadi jawabannya,” ujar Herry.
Adapun Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, memasuki usia yang ke-253, Yogyakarta telah mengalami interaksi tradisional, modern, lokal, dan mondial. Hadirnya JJC sebagai hiburan spektakuler, membawa banyak simbol, di antaranya paham multikultural yang selalu berkembang sesuai dengan perubahan Yogyakarta.
”Ada dialog imajiner kota yang didirikan 2,5 abad yang lalu. Pawai menunjukkan perubahan kota yang antik dan anggun menjadi kota yang dinamis dan kreatif. Itu semua ditunjukan oleh penjaga martabat kota, yaitu seniman,” katanya.
Di usianya yang ke-253, Yogyakarta, lanjut Sultan, makin mengokohkan diri sebagai kota yang dulunya agraris menjadi kota semiindustri. Sultan menunjuk pada tumbuhnya industri kreatif, dengan perkembangan teknologi informasi yang marak di beragam lini kehidupan.
Sultan berharap Yogyakarta bisa menjadi kota tujuan utama wisatawan dan menjadi kota yang nyaman bagi semua warganya.
Namun, karena tuntutan perubahan yang memunculkan pergerakan pencarian keseimbangan baru, kenyamanan di Yogyakarta perlahan-lahan mulai menghilang. Lamanya wisatawan tinggal di Yogyakarta yang makin pendek telah memberi peringatan.
Oleh Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM Revrisond Baswir, Yogyakarta yang berubah dilihatnya tengah mengalami krisis identitas.
”Kekuatan-kekuatan budaya Yogyakarta seperti sedang ditinggalkan karena sibuk mau menjadi kota pusat perdagangan,” katanya.
Semoga perubahan yang disertai pembenahan ini tidak membuat identitas kota ini justru membingungkan....
Sumber: Kompas, Minggu, 18 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment