Sunday, October 11, 2009

[Urban] Festival: Bangkit dari Serangan

KETIKA bom menghancurkan Legian, 12 Oktober 2002, yang memakan korban tewas lebih dari 200 orang, banyak orang tahu Bali bakal ditinggalkan para wisatawan. Dampaknya bakal terasa bertahun-tahun.

Janet De Neefe bersama sahabatnya, Heather Curnow, menggagas sebuah festival internasional bernama Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) tahun 2004.

Meski pelaksanaannya dua tahun setelah tragedi bom Legian, festival ini, kata Janet, memang dimaksudkan sebagai ajakan untuk bangkit bersama-sama melawan tindakan-tindakan kekerasan. Mengapa sastra? Padahal Ubud selama ini lebih dikenal sebagai kantong awal pengembangan seni rupa ”tradisional” bergaya Ubud.

Janet secara tangkas memberi jawaban, ”Sastra jauh lebih berani melawan dibandingkan seni rupa.”

Keberanian itulah yang dipuji pemenang nobel kesusastraan asal Nigeria, Wole Soyinka, yang hadir dalam UWRF ke-6 tahun ini. ”Kekeraskepalaan Janet yang membuat saya hadir di sini,” tutur Wole.

Janet tergolong perempuan nekat. Pelaksanaan UWRF yang bernaung di bawah Yayasan Mudra Swari Saraswati yang ia dirikan bersama suaminya, Ketut Suardana, hanya mengandalkan para sukarelawan. Padahal, wadah ini tak kurang mempertemukan ratusan penulis dan pembaca dari berbagai belahan dunia.

”Kalau mengundang para penulis terkenal dari luar biasanya saya memakai agen,” kata Janet. Dan asal tahu, Janet membayar sendiri seluruh perongkosan untuk mendatangkan para penulis dari luar itu. ”Mungkin banyak yang lihat ada sponsor, tetapi itu tidak sepadan dengan apa yang telah dikeluarkan. Dan saya akan terus...,” tekad Janet.

Bahkan, ia terus-menerus akan meningkatkan jumlah partisipasi para penulis Tanah Air. ”Ada ide meluaskan gagasan ini tidak hanya di Ubud, mungkin nanti juga Borobudur atau lainnya,” kata perempuan yang bangga mengenakan kebaya Bali ini. Menurut dia, kemasyhuran nama sebuah tempat sangat berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk menghadiri sebuah perhelatan. Dan, lagi-lagi Ubud ibarat tiket tambahan yang menjadi jaminan bagi para penulis untuk hadir dalam UWRF.

”Tentu saja nama Ubud sangat berpengaruh. Dan sesuatu yang penting di sini bagi Bali yang sedang mengalami krisis kepercayaan keamanan setelah bom: orang-orang datang, hadir di sini,” kata Janet.

Ubud memang bukan satu-satunya tempat yang menjadi simpul kebangkitan Bali pascabom. Tetapi, bahwa UWRF begitu banyak memperoleh dukungan itu pertanda ada daya magnet yang begitu kuat sebagai penarik. Mungkin Janet…. (CAN)

Sumber: Kompas, Minggu, 11 Oktober 2009

No comments: