Thursday, October 15, 2009

[Sosok] Suryatati, Sang Perempuan Wali Kota

-- Maria Hartiningsih

DENGAN runut ia menguraikan cita-citanya membangun Tanjung Pinang sebagai kota yang maju, sekaligus sebagai salah satu pusat kebangkitan budaya Melayu di Nusantara. Dengan santun, ia menguraikan kerumitan persoalan, termasuk dinamika politik lokal, yang tahun-tahun terakhir ini bak gelombang pasang.

Suryatati (KOMPAS/MARIA HARTININGSIH)

Seperti permukaan samudra yang tenang. Itulah sosok Suryatati A Manan (56), Wali Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Malam itu ia mengenakan kerudung tipis senada dengan kain dan baju panjangnya, khas busana perempuan Melayu.

Duduk menunggu di bagian yang menjorok ke laut di kawasan kelenteng tua di Senggarang, pandangan Tatik— begitu ia disapa—lurus menatap Kota Tanjung Pinang dan Pulau Penyengat yang tampak berhadapan. Alunan tadarus samar dibawa angin. Bulan penuh. Warnanya semburat jingga ketika bersenyawa dengan siraman cahaya lampu jalan.

Sebagai birokrat karier, Tatik punya jam terbang tinggi mengurusi wilayah seluas 293,50 kilometer persegi itu. Ia kembali memimpin kota otonom Tanjung Pinang—menjadikannya satu dari dua perempuan wali kota di Indonesia—melalui mekanisme pemilihan langsung daerah pertama.

Selama 13 tahun di pucuk pimpinan—sejak Tanjung Pinang menjadi kota administratif—ia membawa Tanjung Pinang ke peringkat cukup tinggi dalam Indeks Pembangunan Manusia Indonesia, dan mendapat berbagai penghargaan dari pemerintah pusat (termasuk lima kali penghargaan Adipura).

Namun, sumber daya manusia tetap menjadi keprihatinannya. ”Kalaupun kita kaya, tetapi kualitas manusianya dalam arti luas tidak baik, semua akan habis,” tegas Tatik.

Penuh tantangan

Meski mendapat dukungan penuh dari rakyat—ia dipilih oleh 84,25 persen warga—berbagai persoalan mengepungnya. Beberapa di antaranya merupakan persoalan lama, seperti soal infrastruktur, yang sebagian berada di luar kewenangannya.

Di sisi lain, mekanisme demokrasi (prosedural) belum menghasilkan oposisi yang konstruktif. Tak banyak yang paham bahwa substansi demokrasi adalah kepercayaan pada kemampuan sistem untuk menyelenggarakan percakapan negosiasi di antara pandangan-pandangan yang berbeda dan tidak final.

Dalam kondisi seperti itu, prasangka mendapat tempat terhormat. Para patriarkh, atas nama ”demokrasi” juga, tak segan melancarkan tuduhan dan penghinaan. Tatik yang tak pernah membayangkan ”hal-hal tak masuk akal” dalam politik tidak menanggapi debat di media massa. Ia memilih jalur hukum.

”Yang terjadi saat ini jauh sekali dari yang dituturkan Raja Ali Haji dalam Gurindam Dua Belas,” tutur Tatik.

Raja Ali Haji (1808-1873) adalah bangsawan Kerajaan Riau, cendekiawan, ahli sejarah, sastra, agama, ’Bapak Bahasa Indonesia’ yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional tahun 2004.

Menurut Tatik, kemajuan Tanjung Pinang ditentukan oleh perubahan pola pikir dan cara pandang tentang kota itu. Namun, ketika dia mewujudkan gagasan untuk kembali menggelorakan pantun Melayu dan mencanangkan Tanjung Pinang sebagai ’Kota Gurindam, Negeri Pantun’, orang menanggapi dengan skeptis, bahkan sinis.

”Ada yang bilang, ’wali kota jago pantun, berpantun terus… apa lagi yang ndak dibuat Ibu tu… kan begini saja turis datang,’” Tatik mengutip komentar itu.

”Kalau mau mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan, mana mungkin bergantung sama turis. Kita ingin pariwisata maju, tetapi harus berbasis budaya. Interaksi dengan masyarakat harus terpelihara.”

Ia ingin Tanjung Pinang maju dan berbudaya. Ia ciptakan kondisi agar seni dan budaya Melayu berkembang di sekolah dan komunitas. Ia membangun ruang agar sanggar seni bisa tampil. Ia memprakarsai pekan seni setiap tahun. Ia tahu perjalanan masih panjang, tetapi, ”Sekarang sanggar seni berkembang. Ada gairah,” ujarnya.

Meski pendapatan asli daerah naik delapan kali menjadi Rp 49 miliar, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dari Rp 157 miliar menjadi lebih Rp 400 miliar, dengan persoalan begitu banyak, ”Kalau kita mengeluarkan uang untuk hal-hal yang menyangkut kebudayaan, dianggap pemborosan.”

Padahal, banyak tapak sejarah Melayu di Nusantara harus diselamatkan, seperti situs Kesultanan Kota Piring yang kawasan cagar budayanya terisi rumah penduduk, atau situs Istana Kota Rebah yang sudah dijual oleh ahli warisnya.

Meski begitu, bagi Tatik, kebudayaan tak hanya mencakup hal-hal yang tangible (seni, peninggalan lama, dan lain-lain), tetapi terutama yang intangible, khususnya moralitas yang terwujud dalam sikap dan tingkah laku. ”Nilai-nilai filosofis budaya Melayu itu luar biasa. Melayu punya sifat Melayu, menjaga marwah, tetapi nyatanya...”

Ucapannya terpotong, tetapi terjelaskan dalam pantun yang ditulisnya tanggal 10 Januari 2008: Di kota gurindam/ ada pengantin tak berandam… Yang pandai membodoh-bodohi/yang bodoh memandai-mandai/ yang lugu yang tertipu/ yang licik dianggap cerdik....

Dari bawah

Tatik memulai kariernya sebagai tenaga honorer di Kantor Bupati Kabupaten Riau, sebelum diangkat menjadi pegawai negeri sipil. Bayangan tertinggi kariernya adalah menjadi sekretaris wilayah daerah.

Waktu kecil, cita-citanya berubah-ubah. ”Mulanya mau jadi guru. Ayah menyuruh saya jadi guru agama. Saya memilih SMA,” kenangnya. Kemudian ia ingin menjadi dokter, tetapi ayahnya tak melepas bungsu dari dua putrinya itu ke Jawa. Tatik juga sempat ”kesasar” ke fakultas peternakan.

Keinginan jadi dokter ”terwariskan” pada dua putrinya yang menyelesaikan studinya di fakultas kedokteran. Keinginan mengajar terwujud karena pernah jadi dosen paruh waktu.

Tatik suka membaca puisi dan pantun, tetapi baru menulis pada penghujung tahun 2006 setelah sang suami berpulang awal tahun itu.

Dalam heningnya, ia tuangkan berbagai fenomena melalui pantun dan puisi. Paradoks pun terjadi: Hiruk pikuk di luar terserap, tetapi tak menyentuh damai terdalam di ruang jiwanya.…

BIODATA

• Nama: Dra Hj Suryatati A Manan • Lahir: Tanjung Pinang, 14 April 1953 • Status: Ibu empat anak, nenek empat cucu • Pendidikan: Institut Ilmu Pemerintahan di Jakarta (lulus, 1985), Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (1976) • Karier: PNS sejak tahun 1978, Camat Tanjung Pinang Barat (1993-1995), Kepala Dispenda Kepulauan Riau (1995-1996), Wali Kota Administratif Tanjung Pinang (1996-2001), Pejabat Wali Kota Tanjung Pinang (2001-2003), Wali Kota Tanjung Pinang pilihan DPRD (2003-2008), dan melalui Pilkada (2008-2013) • Aktivitas lain: Pembicara berbagai seminar, khususnya terkait dengan Bahasa Indonesia dan kebudayaan Melayu • Karya puisi dan pantun yang diterbitkan: Perempuan Walikota (2008), Surat untuk Suami (2009), Perempuan dalam Makna (2009) bersama penulis Martha Sinaga. • Penghargaan: Pembina Bahasa dan Sastra di Daerah dari Departemen Pendidikan Nasional (2008), dan ‘Empu Pantun’ dari Museum Rekor Dunia Indonesia (2008)

Sumber: Kompas, Kamis, 15 Oktober 2009

No comments: