Sunday, October 18, 2009

Festival: Jalan Sastra dan Wisata Menuju Ubud

-- Putu Fajar Arcana

HALAMAN depan Puri Ubud, Rabu (7/10) sore, penuh sesak. Ratusan turis asing bergerombol-gerombol mengunyah ”sandwich” lalu meneguk bergelas-gelas ”wine”. Tak mudah memasuki areal Puri. Selain harus melewati ”metal detector”, para tamu juga harus membayar Rp 500.000-Rp 750.000 per orang.

Suasana itu barangkali bisa menjadi representasi dari seluruh pelaksanaan Ubud Writers and Readers Festival (UWRF), 7-12 Oktober 2009, yang tersebar di beberapa tempat. Di situ mungkin realitas hidup sebagian besar penulis Indonesia, yang cenderung bersahaja karena honorariumnya juga kecil misalnya, untuk sementara harus ditinggalkan. Jika tidak begitu, yakin Anda tidak akan bisa larut dalam pergaulan internasional bersama penulis-penulis dari berbagai bangsa dengan beragam latar belakang kebudayaannya.

Malam harinya seusai acara Tribute Night to WS Rendra, yang juga sebagian besar dihadiri orang asing, seluruh penulis dijamu oleh penggagas UWRF, Janet De Neefe, di Casa Luna, restoran bercita rasa Spanyol-Bali miliknya. Di situ musik blues mengalir mengiringi malam menuju puncak, saat jalan-jalan seputar Ubud benar-benar kembali ke asal mulanya sebagai jalan desa yang sepi dan mungkin agak-agak ”menyeramkan”, kalau kita jalan sendirian.

Ketika UWRF dimulai tahun 2004, ia seolah dilahirkan untuk meneruskan ”tradisi” ”kebegawanan” orang asing di Ubud. Kita tentu masih ingat, para seniman seperti Rudolf Bonnet (Belanda), Walter Spies (Jerman), dan Arie Smit (Belanda, kemudian menjadi warga Indonesia), yang benar-benar menjadi penebar modernisme dalam lukisan-lukisan tradisional seniman Ubud. Tebaran nilai-nilai itu sampai sekarang masih diwariskan dalam lukisan bergaya Ubud dan young artist. Sementara Walter Spies membuat komposisi baru tari sanghyang bersama Wayan Limbak menjadi suguhan teatrikal Cak, sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.

Mengapa Ubud? Janet memberi alasan, seni rupa tak pernah melahirkan perlawanan dalam sejarah keberadaan seni di Ubud. Sementara dengan UWRF ia bermaksud melawan terhadap tindakan kekerasan terhadap kemanusiaan, terutama pascatragedi bom Legian, 12 Oktober 2002, yang menelan korban 202 orang dan 88 di antaranya adalah warga negara Australia. Itulah kemudian soalnya mengapa dari ratusan peserta festival, 90 persen di antaranya berasal dari Australia.

Di luar soal perlawanan itu, sesungguhnya UWRF tak beranjak jauh dari semangat nilai yang dipacakkan oleh Spies dan Bonnet. Pada awal tahun 1930-an, selain mengajarkan teknik melukis modern, mereka berdua juga berlaku sebagai broker yang memasarkan karya-karya perupa yang tergabung dalam kelompok Pita Maha kepada kawan-kawan asingnya. Bonnet bahkan sampai membawa karya-karya perupa itu untuk dipamerkan dalam ekspo-ekspo dagang di Eropa. Sementara Spies mengundang para turis untuk menyaksikan koreografi garapannya di open stage di sekitar obyek wisata Goa Gajah, Gianyar.

Wisata

Pada akhirnya memang kesadarannya bagaimana mendatangkan para turis di Ubud. Jika di zaman Bonnet dan Spies terdapat usaha memperkenalkan Ubud sebagai wilayah yang memiliki aura pariwisata yang kuat, di zaman UWRF dengan Janet sebagai penarik gerbongnya, terlihat upaya-upaya menjaga Ubud sebagai daerah tujuan yang tetap romantik. Dan Janet sadar benar bahwa romantika lebih mengena jika ditebarkan lewat seni, terutama oleh narasi-narasi sastra.

Harus diakui kemudian UWRF memiliki kemampuan kuat di dalam membentuk jaringan internasional. Mereka mendatangkan penulis-penulis sekaliber Wole Soyinka (Nigeria) yang pernah memenangkan hadiah Nobel dan Andrew McMilan (Australia) yang hidup dan menulis banyak buku tentang masyarakat Aborigin. Selain itu, tahun ini UWRF mengundang 15 penulis muda Tanah Air dan lima penulis Bali untuk dipertemukan dengan para penulis asing. UWRF juga menerbitkan antologi para penulis lokal dalam dua bahasa dengan dana dari HIVOS, sebuah lembaga pendonor dari Belanda.

Sampai di situ UWRF memang kelihatan menjadi perhelatan yang besar dan berkelas internasional. Dan di situ pulalah festival tampak justru terlalu membebani diri. Mereka ingin segala sesuatunya bergema internasional dengan mendatangkan sebanyak-banyaknya peserta (dan itu tidak gratis), tetapi hanya mengandalkan kemampuan manajerial para sukarelawan yang sangat terbatas. Banyak sesi diskusi yang dihadiri oleh lima sampai enam orang. Sesi diskusi yang menampilkan Andrew McMilan misalnya, pada awalnya dihadiri puluhan orang, tetapi seiring materi yang mungkin dianggap ”membosankan” tentang daya tahan masyarakat Aborigin, satu per satu para peserta meninggalkan ruang diskusi.

Jumat (9/10) siang itu sebagian besar peserta memilih duduk-duduk makan dan minum bir di halaman depan Gedung Left Bank Lounge yang disulap menjadi semacam food court dadakan. Sementara Andrew berceloteh menuturkan betapa masyarakat Aborigin terus-menerus memperjuangkan hak-haknya sebagai minoritas, di halaman puluhan peserta asyik bercerita dan bercanda sembari meneguk orange juice yang segar.

Kultur yang dibangun oleh para maecenas terhadap Ubud dengan jalan apa pun sesungguhnya senantiasa bermuara pada industri manusia modern yang disebut turisme. Secara sadar Janet mengatakan bahwa pascabom Legian, para wisatawan tak ada yang berani datang ke Bali, termasuk Ubud. Oleh sebab itu, ia mengunjungi beberapa festival penulis di Australia dan Selandia Baru untuk mencari model sebuah festival yang bisa mendatangkan turis. Dan kemudian lahirlah UWRF tahun 2004, yang waktu itu bahkan mendatangkan Brigjen Mangku Pastika (sekarang Gubernur Bali) sebagai komandan yang berhasil menangkap para teroris. Jelas bahwa para penulis dan pembaca yang hadir di Ubud ”ditahbiskan” sebagai agen yang akan menyebarkan keberhasilan Indonesia mengungkap jaringan terorisme internasional.

Tak salah memang memasukkan pesan-pesan keamanan di dalam sebuah festival para penulis. Toh pembicaraan-pembicaraan soal keamanan dalam skala yang paling makro bergayut dengan soal-soal kultural di Ubud dan Bali. Tahun ini misalnya, dengan tema ”Suka-Duka, Compassion & Solidarity”, UWRF terlihat sangat ingin segala pembicaraan mengarah pada kondisi-kondisi yang membangun semangat kebersamaan di dalam suka dan duka. Dan tetap terorisme adalah musuh bersama yang harus dilawan dengan cara apa pun.

Citra

Sejak kehadiran Bonnet, Spies, Arie Smit, dan juga Antonio Blanco, Ubud telah menjelma menjadi situs wisata tidak dalam pengertian yang sangat fisik. Ungkapan-ungkapan seperti desa internasional, desa budaya, back to nature with Ubud, adalah program pencitraan yang dibangun sejak bertahun-tahun silam. Dan UWRF sebenarnya memanfaatkan bangunan citraan itu sebagai penarik para peserta. Anehnya, pencitraan itu benar-benar merasuk ke dalam diri para pengunjung, sampai-sampai mereka seperti mengalami amnesia. Padahal, realitas yang ada di Ubud tidaklah seindah dan senyaman sebagaimana yang dicitrakan. Cobalah susuri jalan-jalan utama sejak depan Pasar Ubud, Monkey Forrest, sampai ke Kedewatan, Anda akan bertemu dengan keruwetan pengaturan lalu lintas. Selain macet karena jalan-jalan dipenuhi kendaraan yang parkir, Anda juga akan dicegat oleh berbagai billboard dan plang-plang nama jasa wisata.

Itulah kenyataan Ubud yang jarang disadari. Brosur-brosur wisata dan buku-buku yang ditulis dengan maksud dagang telah membius para pengunjung. Saya tidak heran jika UWRF sejak awal memiliki misi yang paralel dengan brosur-brosur wisata itu…

Sumber: Kompas, Minggu, 18 Oktober 2009

No comments: