-- Rosihan Anwar
LAGU Indonesia Raya pertama kali diperdengarkan oleh komponis Wage Rudolf Supratman pada 28 Oktober 1928 di Gedung Kramat Raya No 10, Jakarta. Ketika itu diucapkan Sumpah Pemuda: Satu Bangsa, Tanah Air, dan Bahasa, yakni Indonesia. Menurut cerita dr Abu Hanifah, lirik lagu itu dinyanyikan oleh Dol, putri Haji Agus Salim. Kata-katanya berbeda dari yang lazim kita nyanyikan dewasa ini.
Pada peluncuran buku Tan Malaka Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Julid 2 (Penerbit Yayasan Obor Indonesia) 25 Agustus yang lalu, Harry A Poeze, pengarang buku Tan Malaka Verguisd en Vergetan memperdengarkan DVD yang merekam lagu Indonesia Raya yang asli. Jika sekarang ada bait berbunyi "Indonesia Raya, Merdeka, Merdeka / Tanahku Negeri yang kucinta/, maka pada awalnya terdengar kata-kata berikut: Indones, Mulya, Mulya / Tanahku Negeriku yang kucinta.
Sehubungan dengan situasi penjajahan Belanda, pada masa itu, maka alih-alih Indonesia Raya digunakan kata Indones dan sebagai ganti kata merdeka dipakai kata mulya, supaya tidak dilarang lagu itu. Itulah nasib bangsa Indonesia tahun 1928 yang mengalami penjajahan politik.
Mendengar kata Indones, asosiasi pikiran saya tersambung dengan kata Indon di Malaysia sekarang. Teringat saya akan kunjungan ke Kuala Lumpur pada Januari 2008 untuk menghadiri upacara penyerahan Anugerah Wartawan Tokoh Melayu yang diberikan oleh Persatuan Bekas Wartawan Berita Harian Malaysia. Penerima award itu wartawan-wartawan dari Malayia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Indonesia yang berbahasa Melayu. Di antaranya, Tan Sri Samad Ismail dan Datuk Mazlan Noordin dari Malaysia, Othman Wok dari Singapura, Tarman Azzam dan Rosihan Anwar dari Indonesia.
Ketika check-out dari hotel di Petaling Jaya, seorang karyawan yang mengurus koper menghampiri saya lalu berkata "Saya Indon". Saya kaget bercampur sedih. Kenapa dia tidak bilang Indonesia? Putri saya, dr Ella, mendapat informasi bahwa kata Indon di Malaysia berarti kecoak. Penggunaan kata Indon bisa diartikan memburukkan nama orang lain. Saya kira laki-laki Indonesia itu, karena TKI (tenaga kerja Indonesia) di Malaysia harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan lingkungannya, untuk hidup dia tidak punya pilihan lain.
Jika masyarakat dan pers Malaysia bilang "Indon", lantas TKI mau berbuat apa ? Di Malaysia terdapat sekitar dua juta TKI dan TKW (tenaga kerja wanita). Mereka datang secara legal dan ilegal. Banyak cerita kurang sedap mengenai perlakuan terhadap Indon. Tapi, mau bilang apa, kalau berada di bawah "penjajahan ekonomi".
Waktu menerima Anugerah Tokoh Wartawan Dunia Melayu saya diminta mengucapkan syarahan (pidato). Jujur saja, saya sebutkan contoh yang menciptakan disharmoni antara Indonesia dan Malaysia. Ambil peristiwa wasit karate Indonesia Donald Luther Colopita (Agustus 2007). Kasus pembantu rumah tangga Ceriyati Dapin, yang melarikan diri dari jendela apartemen tingkat 15, meluncur ke bawah dengan potongan kain yang disambung, karena tak tahan perlakuan kasar majikannya (Juni 2007).
Karmiasih, TKI asal Demak, yang diduga tewas karena dianiaya majikannya. Ambil high politics yang melibatkan sengketa mengenai Sipadan, Ligatan, dan Ambalat. Catat pencaplokan hak cipta terhadap produk kebudayaan Indonesia, seperti lagu Rasa Sayange, Terang Bulan, musing angklung Sunda, tari Reog Ponorogo. Menteri P dan K Dr Daoed Joesoef dulu khusus membahas soal ini.
Berpikir Positif
Saya dinamakan Wartawan Tertua Dunia Melayu oleh pers negeri jiran itu. Maka saya berpidato dengan berpikir secara positif, dengan pendirian bahwa wartawan dunia Melayu patutlah berperan sebagai penjaga dan juru kunci media massa dan pendapat umum. Karena elite politik Malaysia suka ngomong Inggris saya tegaskan dalam bahasa Inggris custodians of the mass media and public opinion. Kita memerlukan wartawan yang berpikir, thingking journalist, Akal sehat harus berjaya, reason must prevail. Kearifan harus berlangsung terus, wisdom must endure, kata saya di Kuala Lumpur.
Itu awal tahun yang lalu. Setelah itu, timbul lagi peristiwa dan heboh baru. Soal tari Pendet dari Bali. Setelah saling komentar baik di sini maupun di sana, soalnya reda kembali. Di masa datang marilah kita sama-sama bersikap lebih bijaksana. Kita harus mencegah jangan sampai situasi tergelicir di luar kontrol dan hubungan Indonesia dan Malaysia menjadi sangat tergantung.
Dalam pada itu, sebagai Wartawan Tokoh Melayu Tertua (penamaan di Malaysia) yang masih aktif menulis pada usia 87 tahun, saya mengimbau: "Wahai saudaraku, Indon, Indon. Ingatlah lagu Indonesia Raya. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya. Ingat pula semboyan, "sekali merdeka, tetap merdeka." Semoga Tuhan Melindungi Indon.
* Rosihan Anwar, wartawan senior
Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 28 Oktonber 2009
No comments:
Post a Comment