Sunday, October 11, 2009

[Kehidupan] Kisah Buruh:Orang-orang Terlupakan

--Budi Suwarna

KEHIDUPAN buruh ilegal asal Indonesia di AS cukup keras dan berbahaya. Namun, sebagaimana buruh ilegal lainnya, mereka tidak memiliki perlindungan sama sekali. Mereka hidup di balik bayang-bayang dan menjadi orang-orang yang terlupakan.

Salah satu toko swalayan yang menjual makanan dan produk asal Indonesia, seperti rokok, mi, dan jamu antimasuk angin di Philadelphia, Minggu (12/7) (KOMPAS/BUDI SUWARNA)

Udin (32) belum pernah menginjakkan kaki di Jakarta. Namun, dari kampungnya di Makassar, laki-laki tegap itu langsung merantau ke kota kosmopolitan New York tahun 1996. Ketika itu usianya 19 tahun, tidak bisa berbahasa Inggris, dan hanya berbekal ijazah SD.

Tujuannya hanya satu: mencari pekerjaan. Dia mendengar dari teman-temannya yang lebih dulu merantau ke Amerika Serikat, pekerjaan kasar cukup banyak tersedia bagi pendatang.

”Waktu itu saya modal nekat saja. Di Indonesia saya tidak punya pekerjaan,” ujarnya, pertengahan Juli lalu.

Udin mengaku berasal dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan. Ayahnya hanya pegawai negeri rendahan, ibunya tidak bekerja, dan ketujuh adiknya masih kecil-kecil. ”Kalau saya tidak merantau ke AS, siapa yang akan membiayai sekolah mereka,” kata Udin.

Beruntung, sesampai di New York, Udin langsung mendapat pekerjaan sebagai pembantu di sebuah restoran. Di salah satu pusat ekonomi dunia itu, Udin bertahan lima tahun. Tahun 2001, dia hijrah ke Philadelphia dan bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah restoran. Kemudian, dia pindah kerja ke sebuah perusahaan konstruksi sebagai tukang cat.

Tidak terasa 13 tahun sudah Udin tinggal di AS. Sejak saat itu, dia tidak pernah pulang ke Makassar. Setiap bulan, dia mengirimkan uang untuk keluarganya rata-rata 1.000 dollar AS. Dari keringat pemuda itu, lima dari tujuh adiknya berhasil jadi sarjana.

Sama seperti Udin, Binbin mengadu nasib ke AS tahun 2001. Di Indonesia, dia sebenarnya sudah berstatus PNS dengan gaji Rp 1,2 juta per bulan. ”Tapi, penghasilan segitu tidak cukup untuk membiayai kuliah anak-anak,” katanya.

Awalnya, Binbin mengadu nasib di Indianapolis dengan bekal uang 900 dollar AS. Namun, 500 dollar di antaranya disetor ke agen penyalur kerja. Di sana, dia bekerja sebagai tukang cuci piring. ”Tapi karena tidak bisa bahasa Inggris dan belum terampil, saya diberhentikan. Begitu terus. Kerja... berhenti... kerja... berhenti.”

Karena sering kehilangan pekerjaan, Binbin sempat menggelandang tiga hari di AS. Untung ada teman dan saudara yang menolongnya.

Nasib Binbin membaik setelah hijrah ke Philadelphia. Di kota itu, dia bertahan hingga sekarang. Dia bekerja sebagai buruh kasar di sebuah gudang.

Setahun kemudian istri Binbin, Siti, menyusul ke AS. ”Saya ingin berkumpul dengan suami dan bantu kerja,” ujar Siti yang rela menanggalkan status PNS.

Di Philadelphia, Siti bekerja di sebuah perusahaan pos dan jasa pengiriman. Tugasnya memilah ribuan surat atau dokumen yang masuk ke perusahaannya. ”Sebenarnya saya tidak pernah kerja kasar di Indonesia. Makanya, waktu mulai kerja di sini, saya sampai nangis. Badan saya pegal semua.”

Siti dan Binbin rata-rata menerima upah 7,5 dollar AS per jam. Sebelum krisis, mereka rata-rata bekerja 50 jam per minggu dengan penghasilan sekitar 375 dollar AS per minggu atau 1.500 dollar AS per bulan. Dari situ, suami-istri itu bisa mengirim uang untuk anak-anaknya sekitar 1.000 dollar AS per bulan.

”Tapi itu dulu, sekarang bisa kerja 40 jam per minggu saja sudah bagus,” ujar Siti.

Di Philadelphia, suami-istri itu tinggal di sebuah flat sederhana dan kusam bersama empat buruh migran asal Indonesia lainnya. Flat itu terdiri dari sebuah ruang tamu merangkap ruang keluarga, dapur, satu ruang bawah tanah, sebuah kamar mandi, dan tiga kamar tidur. Ruangan itu serba sempit. Kamar tidur, misalnya, ukurannya tidak lebih dari 2,5 meter x 3 meter.

”Flat ini kami sewa 700 dollar AS per bulan dan ditanggung lima orang. Kadang kami masak bareng agar bisa lebih hemat,” kata Siti.

Untuk mengurangi kejenuhan, para buruh asal Indonesia ini kerap berkumpul. ”Kadang kami makan bakso bareng sekadar untuk mengobati kangen pada Indonesia atau nongkrong di kafe,” kata Dino (bukan nama sebenarnya).

Minggu sore, pertengahan Juli lalu, mereka janjian untuk nonton konser grup band Superman Is Dead asal Bali di Philadelphia. ”Meski saya tidak tahu musiknya, yang penting bandnya asal Indonesia,” kata Dino.

Keras

Di permukaan, kehidupan para buruh asal Indonesia itu tampak bersahaja dan tenang-tenang saja. Namun, sesungguhnya mereka menjalani kehidupan yang tergolong keras dan berbahaya.

Mereka, misalnya, harus siap kucing-kucingan dengan petugas imigrasi AS. ”Terus terang hidup kami tidak tenang karena sewaktu-waktu bisa ditangkap. Tapi mau apa lagi. Di Indonesia saya enggak punya pekerjaan. Kalau di sini tertangkap dan dideportasi, itu sudah nasib,” kata operator alat berat yang masuk ke AS sejak 1996.

Udin menambahkan, sejak serangan teroris 11 September 2001, ruang gerak buruh ilegal di AS juga kian dibatasi. Penggerebekan dan penangkapan terhadap pekerja ilegal sering terjadi.

”Teman saya ada yang ditangkap dan disuruh milih: didenda 5.000 dollar atau dipenjara. Dia pilih dipenjara kemudian dideportasi. Apa mau dikata, daripada buat bayar denda, mending uangnya dikirim ke kampung,” kata Udin.

Meski penggerebekan makin sering terjadi, Udin menegaskan tidak akan pulang ke Indonesia. ”Kalau modal saya sudah cukup, saya pasti pulang,” ujarnya.

Selain jadi target penggerebekan, buruh ilegal juga sering jadi korban pemerasan dan kekerasan warga AS. ”Tapi mereka enggak akan berani lapor ke polisi karena mereka ilegal,” ujar Enche Tjin, pengelola newsletter Dunia Kita.

Yang lebih menyesakkan, lanjut Enche, banyak buruh ilegal asal Indonesia yang dieksploitasi orang Indonesia sendiri.

Begitulah kehidupan buruh ilegal di AS. Mereka hidup tanpa perlindungan sama sekali. Ini tidak hanya berlaku bagi buruh ilegal Indonesia, tapi juga terjadi pada buruh ilegal negara lain di AS yang jumlahnya, menurut Mark J Penn dalam buku Microtrends (2007), sekitar 12 juta orang.

”Mereka harus diam dan hidup di balik bayang-bayang. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar terlupakan di Amerika,” catat Penn mengutip dokumen Edward R Murrow.

Sumber: Kompas, Minggu, 11 Oktober 2009

No comments: