Wednesday, October 28, 2009

[Sumpah Pemuda] Pengangguran Kikis Kebangsaan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Sumpah Pemuda, yang digelorakan pertama kali pada 28 Oktober 1928, sudah berlalu 81 tahun. Peristiwa yang menandai lahirnya rasa kebangsaan untuk membangun "rumah bersama" Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Seiring perjalanan waktu, dapatkah Indonesia terus menjadi "rumah bersama" bagi seluruh rakyatnya? Padahal Indonesia yang terdiri dari keanekaragaman adat, budaya, suku, dan agama, dibangun dan disatukan dengan berlandaskan nilai-nilai kebangsaan. Apakah rasa kebangsaan itu terus melekat di hati setiap rakyat?

Hal-hal tersebut mengemuka dalam Diskusi Kepemudaan yang digelar di Kantor Redaksi Lampung Post, Selasa (27-10).

Pengajar ekonomi dari Universitas Lampung (Unila) Marselina Djayasinga mengatakan dari perspektif ekonomi rasa kebangsaan bisa terkikis oleh pengangguran. "Bila perut kosong, maka tidak bisa berpikir rasional. Bicara perut kosong adalah membicarakan masyarakat yang tidak memiliki penghasilan. Orang yang tidak punya penghasilan, tentu karena tidak punya pekerjaan. Pengangguran akan merusak sendi-sendi pembangunan, termasuk rasa kebangsaan dan degradasi moral," kata Marselina.

Namun, angka pengangguran yang mencapai 9,4 juta jiwa dari total 113 juta angka pekerja, tidak membuat pemerintah menjadi waspada. "Secara teori ekonomi, rasio pengangguran ini menunjukkan ekonomi yang tidak sehat. Pemerintah semestinya resah. Tetapi ternyata tidak. Malah negara-negara Asia lainnya yang resah, dan Indonesia tenang-tenang saja. Pemerintah terutama daerah masih asyik dengan kegiatan dan program yang copy paste,"ujar Marselina.

Menurut Marselina, pemerintah semestinya melakukan penyelamatan dengan melakukan program yang extraordinary.

Strategi dilakukan melalui kegiatan pemerintah yang extraordinary, kedua, mengatasi PHK (pemutusan hubungan kerja), serta merevisi kurikulum pendidikan dengan orientasi kewirausahaan. Marselina mengatakan dengan mengentaskan satu pengangguran menjadi bekerja maka menyumbang Rp4 juta kepada negara. "Target pertumbuhan yang dipatok pemerintah adalah tujuh persen. Padahal setiap persen pertumbuhan akan menyerap 350 ribu tenaga kerja. Jadi angka tujuh persen pertumbuhan itu belum sepenuhnya menyerap pengangguran," kata dia.

Pemuda, menurut Marselina, harus mendapat perhatian serius dalam hal pemberian kredit. Demikian juga dari kalangan pemuda sendiri harus mampu mandiri. "Organisasi kepemudaan selama ini orientasinya hanya sebatas politik dan minta proyek. Belum ada yang orientasinya pada kewirausahaan," ujar Marselina.

Dalam situasi yang buruk sekalipun, menurut Marselina, ada peluang. "Setiap bicara krisis, pasti ada hikmah. Ada blessing in disguise," kata dia. Menutup pemaparannya, secara tegas Marselina mengatakan jika keanekaragaman di Indonesia dan rasa kebangsaan itu bisa tercabik-cabik oleh pengangguran. n KIS/U-1

Sumber: Lampung Post, Rabu, 28 Oktober 2009

No comments: