Jakarta, Kompas - Rembuk nasional mengancam keselamatan rakyat karena rakyat lokal, termasuk masyarakat adat, tidak diikutsertakan. Di sisi lain rembuk nasional dinilai mengutamakan kepentingan minoritas elite yang bisa mengancam keselamatan lingkungan dan sumber daya alam.
Hal itu mengemuka dalam pernyataan bertajuk Skandal National Summit dan Rakyat yang Selalu Terjepit, Jumat (30/10) di Jakarta. Pernyataan tersebut disampaikan oleh sejumlah aktivis prolingkungan dari beberapa organisasi nonpemerintah, yaitu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Koalisi Anti-Utang (KAU), Institut Indonesia Hijau (IHI), Reform Institute, dan Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima).
”Ini merupakan skandal jorok karena dengan mengatasnamakan demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan rakyat, ternyata rakyat malah tidak mendapatkan akses. Seharusnya akses diberikan kepada rakyat. Para pelaku bisnis, birokrat, ekonom, dan NGO (organisasi nonpemerintah) tidak dapat menjadi representasi rakyat,” ujar Teguh Surya dari Walhi.
Rembuk nasional yang digelar 29-31 Oktober 2009 di Gedung Bidakara, Jakarta, seperti dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bertujuan untuk mencapai sasaran 2014, target pertumbuhan ekonomi 7 persen, pengangguran turun 5-6 persen, dan kemiskinan turun 8-10 persen. Untuk itu, perlu investasi tinggi guna menggerakkan ekonomi (Kompas, 30/10).
Menurut Sekretaris Jenderal Kiara Riza Damanik, ”Pertemuan ini melibatkan individu yang salah, seharusnya melibatkan masyarakat karena mereka yang memberi mandat kepada Presiden.” Koordinator IHI Chalid Muhammad menyatakan, ”National summit menunjukkan bahwa pemerintah telah takluk kepada korporatokrasi.” National summit dikoordinasi pihak Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Yudi Latif dari Lima mengingatkan, ”Republik ini bukan urusan pemerintah dan investor saja. Jika hanya itu, kepentingan privat dan investor yang terpenuhi saja.”
Koordinator Jatam Siti Maemunah menyoroti keinginan Presiden untuk menghilangkan regulasi yang menghambat investasi. ”Jika peraturan lingkungan hidup, sumber daya alam, diperlemah, rakyat akan menuai bencana,” ujarnya. Dia menggambarkan, 40 persen rakyat miskin di Kalimantan Timur justru di sekitar daerah pertambangan besar.
Menurut Chalid, jika investasi didorong dengan melemahkan peraturan lingkungan dan mengabaikan kontrol dari masyarakat lokal, justru akan meningkatkan jumlah kemiskinan dan konflik. ”Saat ini ada sekitar 4.000 konflik di masyarakat antara rakyat dan pengusaha,” ujarnya. (ISW)
Sumber: Kompas, Sabtu, 31 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment