Judul: Masa Kanak-kanak
Judul asli: Kinderjaren
Penulis: Jona Oberski
Penerjemah: Laurens Sipahelut
Penerbit: Pena Wormer 2009, Jakarta
Tebal: 96 halaman
MASA kanak-kanak seharusnya masa yang sangat menyenangkan, tak mudah dilupakan, dan selalu indah untuk dikenang. Penuh kasih sayang dari orangtua, banyak bermain, serta selalu senang karena banyak teman. Namun, dalam kenyataannya, tidak selalu demikian. Sebagian besar anak-anak di berbagai penjuru dunia, hidupnya malah sebaliknya, penuh penderitaan, baik karena ekonomi, ditinggal maupun ditelantarkan orangtua, menjadi korban rasisme dan politik, keserakahan, peperangan, dan sebagainya.
Penulis buku ini lahir di Amsterdam menjelang Perang Dunia (PD) II, tepat-nya 20 Maret 1938. Kedua orangtuanya adalah pengungsi Yahudi dari Jerman, yang menceritakan pengalamannya dalam buku Kinderjaren yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Dari usia 3 tahun sampai usia 8 tahun Jona bersama orangtuanya hidup di dalam kamp konsentrasi Jerman. Kedua orangtuanya di sana sangat menderita dan akhirnya meninggal dunia.
Kebahagiaan dan kerukunan dalam keluarga seorang bocah laki-laki kecil dalam kisah ini tiba-tba berubah sejak mereka dipaksa oleh serdadu pendudukan Jerman untuk segera berkemas dan berangkat ke Stasiun Muiderpoort, Amsterdam Timur.
Stasiun ini dibuka tahun 1939 dan semasa PD II dipakai sebagai tempat pemberangkatan para tawanan Yahudi dari berbagai tempat di Amsterdam dan sekitarnya menuju kamp konsentrasi di Westerbork.
Dr Lilie Suratminto, pengajar Bahasa dan Sejarah Sosial Budaya Belanda Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dalam pengantarnya mengatakan, buku ini ditulis menggunakan bahasa anak usia 8 tahun dengan kalimat yang pendek-pendek, seperti Ibu berkata... Aku berkata... Aku berseru..., yang penuh kepolosan tanpa pretensi dan apa adanya. Gaya bahasa sederhana dalam gemas, geram, sedih, dan haru, semuanya menjadi satu dalam menyikapi situasi pada waktu itu.
Keadaan demikian dapat menimbulkan traumatis bagi korban kekejaman yang masih hidup, yang telah ditinggalkan oleh keluarga tercintanya. Dia yang tertinggal bak rumput yang tumbuh, berbunga, dan hidup dalam kesepian. Tentu saja, buku ini memiliki pesan dan harapan, agar peristiwa genosida dan holocaust semacam kamp konsentrasi itu tidak terulang lagi. [Cindy Lavina, mahasiswa FIB Jurusan Sastra Belanda UI].
Sumber: Suara Pembaruan, Minggu, 1 November 2009
No comments:
Post a Comment